PAPUA ibarat kitab besar dengan ribuan halaman. Bagi yang terbiasa membaca (Papua), tentu tidak masalah. Dan tak sekadar membaca. Perlu lebih dari itu: memahami. Apalagi siapa saja yang bersentuhan langsung dengan Papua.
Paskalis Kossay, putra asli Papua menulis buku itu: “Dinamika Politik Indonesia Dibaca dari Papua”. Terbit dua bulan sebelum pecah peristiwa rasial medio Agustus lalu di Surabaya, Jawa Timur. Buku Paskalis, politisi dan anak koteka menulis buku di atas. Saya mengenal penulis sejak 2009, saat membantu rekan Diaz Gwijangge, anggota DPR Dapil Papua di Senayan.
Paskalis hemat saya tak sekadar politisi nasional dari tanah Papua, nun di timur Indonesia, tanah Melanesia. Ia pun bukan getol menyuarakan soal-soal Papua untuk mendapat respon Pemerintah Pusat.
Jauh sebelum ia didapuk jadi anggota DPR RI periode 2009-2014, ia concern menyuarakan soal-soal Papua. Termasuk merekamnya dalam bentuk buku. Salah satu buku Paskalis yang saya koleksi, “Jalan Panjang yang Berliku: Refleksi 50 Tahun Integrasi Papua ke Dalam NKRI”, yang terbit tahun 2013. Selain beberapa buku yang ia terbitkan sebagai sumbangannya bagi publik, terutama di tanah kelahirannya.
Lebih dari itu, ia cukup banyak menghasilkan buku-buku berkualitas yang kerap jadi rujukan pengambil kebijakan tak hanya di pusaran kekuasaan: Jakarta, tetapi khusus di Papua, tempat tali pusarnya ditanam.
Ahad ini, seorang sahabat menghadiai saya buku Paskalis Kossay di atas. Buku tersebut diberi kata pengantar Cahyo Pamungkas, peneliti yang concern dengan isu-isu Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Paskalis Kossay menulis dengan hati, sebagai anak asli yang lahir di honai di tanah Papua. Buku itu sepintas mengingatkan elite di pusaran kekuasaan bahwa politik pembangunan Papua mesti dipahami juga dalam konteks lokal jika mau merindukan Papua maju setara dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Papua dengan kebijakan otonomi khusus tak mulus dalam implementasi jika membayangkan gelontoran dana miliaran atau triliunan ke sana ampuh mengejar berbagai program yang disiapkan pemerintah daerah melalui Perdasi maupun Perdasus. Butuh lebih dari itu.
Kadang membaca Papua tak mudah jika sekadar menggunakan cara pandang pusat. Lebih penting yaitu mau bersedia membaca dari kacamata pengambil kebijakan di Papua. Saya kira ini salah satu cara efektif ikut membantu Papua hari ini dan di masa akan datang.
Nah, buku ini menarik dan boleh jadi perlu dibaca elite dan pengambil kebijakan dari Jakarta. Paling kurang lebih memahami Papua dalam artian sesungguhnya. Membangun Papua dengan hati. Adik-adik mahasiswa asal Papua, utamanya, perlu membaca buku ini. Buku ini bisa membantu melawan lupa. Selamat malam. Hormat dibri tuk Pace Paskalis Kossay. Wa wa wa…..
Ansel Deri