” Kemampuan puisi, bukanlah membuat kita lebih pintar, atau lebih hebat, tetapi puisi mengukuhkan ikatan batin kita dengan hidup”
—-Goenawan Muhamad, dalam Catatan Pinggir, Tempo 16 November 1985—
” Untuk apa orang menulis dan membaca puisi”? sebuah pertanyaan yang menghentakan telinga yang keluar dari Eka Budianta pada acara peluncuran Buku PUISI ” KERETA dan PENYAIRNYA” karya Julia Daniel Kotan. Eka Budianta, penulis puisi “Sejuta Milyar Satu” yang juga pernah menjadi wartawan Tempo itu lebih jauh menjelaskan bahwa manusia menulis dan membaca Puisi untuk —-MERAYAKAN KEHIDUPAN—–.Motivasi orang untuk menulis puisi bermacam-macam. Ada yang sekedar iseng, ada yang mengisi kekosongan waktunya dengan menulis puisi dan bahkan ada orang yang secara intens menulis puisi.
Dalam bingkai pemikiran Eka “menulis dan membaca puisi di saman modern masih penting. Puisi pada saman modern ini masih mempunyai ruang dalam kehidupan publik. Dengan menulis puisi sang penyair memperjuangkan dunia ‘makna’. Sang penyair melemparkan karyanya ke ruang publik agar karyanya di baca dan direnungkan orang. Manusia selalu berikhtiar mencari dan memberi nama kepada apa yang selalu menggetarkan dan membakar hatinya. Ruang ini yang akan menjadi ruang orang menulis dan membaca puisi, tegas Eka Budianta.
Puisi – Merawat Kehidupan
Tampil sebagai pembicara ke dua adalah Bara Pattyradja. Pria kelahiran Lamahala, Flores ini, sedang bergiat menghidupkan Sastra Laut di Flores Timur dan Lembata. Menurut Bara puisi ditulis orang tidak sekedar untuk “Merayakan Kehidupan” puisi ditulis orang juga untuk “MERAWAT KEHIDUPAN”. Orang menulis puisi karena orang merasa heran dengan apa saja yang ia jumpai dalam hidup. Bara, Penulis Buku Pacargelap Puisi, lebih jauh menegaskan sajak-sajak Julia Daniel Kotan adalah sajak “Tubuh Kota”. Julia menggunakan sarana ‘Kereta” untk meneropong kehidupan orang-orang kota. Kata -Tubuh- menjadi menarik, ia mengalami perdebatan panjang dari saman filsafat antik hingga sekarang. Persoalan yang di perdebatkan adalah apakah —Tubuh lebih Penting dari Jiwa?—soal ini juga dapat merangsang orang untuk menulis apa saja tentang Tubuh dan Jiwa. Termasuk menulis puisi. Bara memberi contoh bagaimana seorang sastrawan Jerman —RAINER MARIA RILKE—-menggunakan daya kreatifnya dalam melihat tubuh dan menjadikannya puisi. Kita lihat sajak Rilke,
PADAMKAN MATAKU
Padamkan mataku ! Kau sannggup kupandangi,
sumbatlah telingaku, kau sanggup kusimak,
tanpa kaki, kau samggup kusambangi,
tanpa mulut, padamu kusanggup tetap teriak.
Tebaslah lenganku, kau kugapai
dengan jiwaku menjelma tangan,
remaslah jantungku, otak kan berdenyut,
dan jika otak kau ledakkan,
dengan darah kau kupagut
Rilke, 1899.
“Penyair jangan membuat sirkus kata-kata. Ia, penyair, mesti mampu menyelami makna dan menemukan daya ucap baru dalam berpuisi”, tegas Bara dalam mengakiri paparannya.
Selamat Berpuisi
P a s k a l I s B a t a o n a