Oleh : Goenawan Mohamad
Yang ditampik, yang berdosa, yang sifilis, yang perempuan, yang tak punya apa-apa, adalah Maria Zaitun. Kita tak mudah melupakan tokoh dalam sajak Rendra itu. Dalam kesakitan ia memperkenalkan diri dengan lurus: “Maria Zaitun namaku/Pelacur yang sengsara/Kurang cantik dan agak tua”.
Kita akan selalu teringat adegan dalam sajak “Nyanyian Angsa” ketika pelacur lapuk itu diusir dari bordil. Sang germo menilai pekerja seks ini (komoditas ini) sudah tak akan menghasilkan uang lagi. Perempuan itu pun melangkah ke jalan, tak tahu akan ke mana:
Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Maria Zaitun tak hanya sakit parah; ia sampah. Ketika ia pergi ke dokter langganannya, ia hanya diinjeksi vitamin C. Tuan dokter tahu pasien itu tak bisa bayar, dan “sudah jelas” hampir mati. Kemudian, ketika ia datang ke pastoran (“Saya perlu Tuhan atau apa saja/untuk menemani saya”), ia dihadapi seorang rohaniwan yang kenyang dan tak peduli. Dengan bau anggur di mulutnya sang pastor menyatakan tak bersedia menerimanya.
Dan Maria Zaitun pun angkat kaki ketika bapa pastor memutuskan bahwa pendosa yang setengah sekarat itu adalah orang yang setengah gila. Ia perlu psikiater, ujarnya, bukan pastor.
Sajak “Nyanyian Angsa” memang menusuk di sini: kalkulasi laba-rugi dalam perdagangan seks dan ketabiban telah membuang Maria Zaitun; kini di tempat di mana kasih Tuhan dikutip dengan takzim ia juga persona non grata. Agama telah jadi tembok.
Andai masih hidup hari ini, Rendra mungkin akan dihukum; “Nyanyian Angsa” jelas “melecehkan agama”meskipun dengan alasan yang adil. Sajak ini dengan lugas memperlihatkan bagaimana agama telah jadi Orde yang dijaga hakim-hakim, bukan lingkungan yang menemani yang daif dan luka. Para hakim inilah yang membagi siapa yang di dalam dan siapa yang harus di luar. Di sana vonis pastor (atau ulama) berkuasa: “Kamu telah tergoda dosa”. Dan keputusan itu didukung lambang-lambang keabadian.
Ada sosok penting dalam “Nyanyian Angsa”, meskipun tak di pusat adegan: “malaikat penjaga firdaus”. Dalam tiga refrain sajak ini, makhluk surga itu kadang-kadang tampak tampan, dingin, atau jahat. Tapi selamanya “dengki”.
Dengki adalah sikap penuh cemburu, curiga, dan benci. “Nyanyian Angsa” memperlihatkan bahwa firdaus yang sering digambarkan secara hiperbolik sebagai karunia nikmat dan suciadalah wilayah diskriminasi yang bengis. Malaikat, makhluk yang murni itu, akan mengusir mereka yang najis, yang tak murni.
Siapa? Maria Zaitun, tentu. Tapi jika memang ada ukuran keadilan yang universal jika ada keadilan Tuhan si germo, si dokter, bahkan si pastor juga berdosa; mereka keji. Tapi dengki tak pernah adil.
Dengki menyusun tembok, dan tembok dikukuhkan kekuasaan, dan kekuasaan jadi Sang Penampik. Dengan Kitab yang tak dibantah, dengan suara berwibawa atau memekik, Sang Penampik (ia bisa juga polisi, atau suara keras mayoritas) menyusun secara sepihak ukuran yang diberlakukan kepada siapa saja. Dengan itu seseorang atau sekelompok manusia diterima atau diusirsebuah “politik pengakuan”, politics of recognition, yang selektif. Sasarannya bukan hanya seorang Maria Zaitun, tapi juga (tergantung di mana kebencian diletakkan): yang hitam, yang cina, yang arab, muslim, kristen, yahudi, syiah, ahmadiyah, liberal, komunis, LGBT…. Pendeknya “yang-lain”.
Sekilas tampak, kezaliman Sang Penampik untuk meniadakan “yang-lain” itu berbeda dengan ketakpedulian (bahkan pengisapan) si kaya terhadap si miskin. Sekilas tampak, tak adanya keadilan dalam “politik pengakuan”dengan memberlakukan diskriminasi rasial, agama, atau gendertak berkaitan dengan tak adanya keadilan sosial.
Tapi lihat baik-baik: dalam hidup yang mengalir, perbedaan yang ditetapkan Sang Penampik, yang membuat seseorang atau sekelompok manusia dipojokkan, tak pernah jadi klasifikasi sosial yang beku. Maria Zaitun tak cuma pelacur yang diperas; ia juga si sifilis yang ingin ditemani Tuhan, “pendosa” yang dianggap layak disumpahi laki-laki. Sang Penampik memproduksi si lemah, dan si lemah berakhir sebagai korbandalam pelbagai versi.
Dan pembebasan? “Nyanyian Angsa” bercerita, akhirnya hanya korban lain yang mampu membebaskandengan menerima si najis sebagai sesama dan melepaskannya dari eksploitasi. Setidaknya dalam imajinasi. Sang pembebas, yang memeluknya dengan penuh cinta di saat ajal, adalah sebuah kehadiran yang pernah difitnah, dicerca, disalibkan.
Diambil dari “Catatan Pinggir”, Tempo, 4 Desember 2014