“Apabila kehidupan sehari-hari terasa miskin, jangan kita keluhkan, tetapi sesalilah dirimu karena tidak cukup tabah untuk menggali kekayaannya”. ——Rainer Maria Rilke—–
Pater Dupont, begitulah sapaan akrab pemilik nama Arnoldus Dopunt, SVD. Pater Dupont mulai menapaki jalan panjang sebagai imam di keuskupan Larantuka, berawal dari Wureh 1953, Lite Adonara dan kemudian ke Paroki Lamalera dan berakhir di rumah jompo untuk imam-imam SVD di Rumah Sakit Bukit Lewoleba pada 2005.
Saya pertama kali mengenal Pater Arnoldus Dupont, SVD sekitar tahun 1985, ketika itu saya belajar di SMP APPIS Lamalera. Perlahan saya mulai menyadari bahwa Pater Dupont adalah sosok yang sangat peduli dengan orang kecil. Masih segar dalam ingatan saya bagaimana Pater Dupont dengan setia berkunjung dari rumah ke rumah untuk melihat dan mendengar langsung segala keluh-kesah umat parokinya. Pastoran saat itu juga berfungsi sebagai poliklinik. Pater Dupont dengan cuma-cuma memberikan obat bagi siapa saja yang membutuhkan.
Perhatian dan cinta Pater Dupont bagi orang kecil dengan sangat bagus digambarkan oleh filsuf Emmanuel Levinas. Menurut Levinas “orang lain hadir lewat wajah mereka. Wajah orang lain itu menyapa kita. Wajah itu tampil apa adanya dan luhur. Wajah itu sebuah imbauan. Berhadapan dengan wajah itu kita tak dapat mengelak. Kita bertanggung jawab atas wajah itu, atas keselamatannya”.
Di tengah-tengah masyarakat yang umumnya berorientasi pada harta, pada prestasi atau kursi, gengsi dan popularitas, hidup Pater Dupont yang berorientasi pada ‘wajah orang lain’ menjadi sangat bermakna. Wajah orang lain yang muncul dalam figur orang-orang kecil yang terlupakan, tertindas, terbelenggu, miskin dan papa, itulah yang selalu memanggil Pater Dupont untuk berbuat sesuatu dan bertanggung jawab atas mereka.
Meskipun Pater Dupont telah direnggut maut, ia tidak mati, dan ia tak akan pernah mati, karena karyanya terus menafasi kita. Dan kita pun terpanggil untuk meneruskan karya-karyanya yang belum seluruhnya selesai. Kini dalam sukacita abadi Pater Dopunt telah menatap “Wajah Tak Terhingga”.
Paskalis Bataona