Oleh Albino Luciani*
Kepada Goethe
Penyair yang sangat saya hormati.
Festival film terakhir, yang sudah mendapat pujian sampai ke tingkat yang tingi-tinggi, saya tidak tahu bagaimana, mengingatkan saya akan Anda. Mungkin disebabkan oleh kesan-kesan yang timbul dari bawah sadarku. Ketika membaca tulisan-tulisan dalam surat-surat kabar pada waktu itu, saya harus berpikir tentang Anda, tentang para pencinta keindahan, para seniman dan para kritikus bidang kesenian. Anda adalah pencinta ulung keindahan, yang sanggup secara mendalam dan dengan hati yang luas mengangkat “keindahan alamiah” yang tersebar di seluruh jagad, mulai dari peristiwa-peristiwa alam sampai kepada gejolak nafsu hati seorang manusia. Anda adalah seniman yang besar, yang sanggup menyajikan dengan penuh wibawa kepada orang-orang lain, bukan saja keindahan yang dilihat melainkan juga suasana batin dengan mana Anda sendiri menyaksikannya. Anda adalah seorang kritikus yang hebat di bidang kesenian, sebab dengan pengetahuan tentang persoalannya dan dengan penuh semangat Anda menghadapi karya-karya seni orang lain.
Bukankah negeri Jerman mengagumi Anda sebagai direktur teater banyak tahun lamanya di Weimar? Bukankah Anda menamai peristiwa itu suatu kelahiran Anda kedua, ketika Anda menginjakan kaki di Roma yang antik itu? Bukankah Anda nyaris jatuh pingsan karena sedemikian merasa bahagia pada menyaksikan patung Apolo di Belvedere? Sayang bahwa Anda tidak menonton film mengenai festival itu – dan dengan demikian saya pun sudah mengetahui reaksi Anda. Karena itu saya hanya bisa membayangkan saja. Sebagai pencinta keindahan Anda sebenarnya sudah menemukan banyak hal-hal yang lebih indah, yang Anda belum kenal.
Film itu sendiri yang terdiri dari tata cahaya, gerak, warna-warni, musik dan perbuatan, adalah sesuatu yang indah. Anda duduk menghadapi layar putih, dan kalau montase film itu dibuat dengan baik, maka Anda akan terseret sedemikian rupa oleh peristiwa-peristiwa, sehingga rasanya jam-jam sebagai menit-menit saja. Gambar-gambar yang besar, yang memenuhi layar dengan satu wajah manusia saja, mendekatkan Anda kepada gambar-gambar itu secara amat memukau; manusia-manusia yang hatinya digugah oleh perasaan-perasaan yang mendalam. Antara Anda dan para sutradara timbul suatu hubungan yang akrab. Bagian-bagian yang singkat yang Anda kagumi pada Mantegna dan Carveggio, dapat Anda saksikan berkat teknik pengambilan yang memperbesar dengan ukuran raksasa. Misalnya seseorang penjahat diambil gambarnya dari bawah dan dengan bantuan baying-bayang dari sisi kiri bentuk badannya dibikin begitu jelek, sehingga Anda merasa ngeri dan takut melihatnya. Ini saja untuk menunjukkana kepada Anda beberapa unsurnya.
Entah pada menyaksikan sebuah film Anda juga menemukan ‘keindahan seni’? Saya kira begitu. Sebagai seorang kritikus karya seni Anda pasti siap menghadapi hal-hal yang menakjubkan. Anda sudah biasa dengan dengan renungan-renungan yang menembus lebih jauh dari pada latar depan, juga dengan kecenderungan-kecenderungan klasik, dengan suatu bahasa yang berbicara kepada Anda dari dalam karya-karya bangunan, dari karya-karya marmer dan fresko atau dari miniature-miniatur karya tulisan. Anda memberikan pertimbangan mengenai masing-masingnya, ahli bangunan, pelukis, pelakon. Sebaliknya dalam sebuah film beberapa senimsn bekerjasama: produsen, penata pentas, sutradara, pelakon. Tiap-tiapnya bekerja sesuai dan bersama dengan yang lain, untuk membuat hanya satu film. Dengan demikian sulitlah mengetahui momen kreatif yang sebenarnya di dalam karya itu: pada tiap film hal itu terletak pada suatu bidang yang lain. Boleh jadi ada nilai seni di dalamnya, saya ulangi, mungkin nilai seni yang tinggi sekali, namun hal itu tidak dapat ditangkap pada salahsatu segi, melainkan tersebar dan terpencardi seluruh bidang. Jadi suatu karya seni yang lain dari yang lain; orang menamakannya ‘dewi seni kesepuluh’.
Mengenai pengaruhnya, orang menyebutnya sebagai ‘kekuatan kelima’, sesudah parlemen, pemerintah, kekuasaan dan pers. Sehubungan dengan penyebarannya, orang sering menyebutnya sebagai ‘kekuatan pertama’, karena orang memperhitungkan bahwa sesudah beberapa tahun ada film-film yang sudah mempengaruhi penonton yang bermilyar-milyar jumlahnya. Sebaliknya dari pihak lain film ditujukan kepada industri dan perdagangan, jadi kepada uang. Para sutradara dan pelakon sering menginginkan produksi dari karya-karya yang bertaraf seni yang tinggi, yang memberikan kemungkinan kepada mereka, untuk mempertahankan kebolehan mereka. Akan tetapi sang produsen, yang harus mengambil uang dari padanya, mempunyai perhitungan lain. Ia menghendaki film-film yang membawa hasil dan mengisi kas. Andaikata ada seorang seniman gila misalnya Doktor Faust atau bahkan Mephisto dari karya Anda, yang dengan perantaraan Antipe dengan tongkat sulap menjamin lebih dahulu sukses dari film yang bermutu karya seni, maka sang produsen akan membuat film yang bermutu seni, karena tak ada seniman gila itu maka sang produsen dengan susah payah harus mencari jalan lain.
Pada waktu hidupnya Terens harus menelan kepahitan, ketika ia melihat para penonton meninggalkannya dan pergi menonton pemain-pemain yang berjalan di atas tali dan pemain-pemain sandiwara yang memberikan pertunjukan dalam sebuah teater tidak jauh dari situ. Gejala ini sekarang berulang lagi: para produsen film cenderung untuk membuat fil-film yang disesuaikan dengan cita rasa yang kurang luhur para penonton. Sebab biasanya mereka tidak mengunjungi kino, untuk menambah pegetahuannya, melainkan untuk bersantai. Jadi kiranya inilah sesuatu yang dapat menimbulkan rasa prihatin pada kritikus kesenian seorang Goethe dalam festival film: yakni kenyataan bahwa walaupun tersedia sarana dan personil untuk menciptakan karya-karya seni yang ulung, namun mereka sering hanya mempertunjukan hasil yang sedang-sedang saja, oleh karena orang mementingkan keuntungan-keuntungan bagi perusahan.
Sesuatu yang lain lagi kiranya dapat Anda ketemukan: bahwa pada beberapa film memang terdapat nilai kesenian sejati, akan tetapi toh berhubungan dengan soal-soal tak susila. Barangkali Anda heran kalau saya berbicara mengenai karya-karya yan bersifat tak susila dan sekaligus bernilai seni. Kata ajektif ‘bersifat seni’ dihubungkan dengan karya itu sendiri, sedangkan kata adjektif ‘tak susila’ mengenai hubungan antara manusia-seniman dan seniman-kristen. Beberapa novel tertentu yang bersifat tak susila dari Boccacio memang bernilai seni sastra yang indah, tapi Boccacio sendiri berlaku buruk secara moril, ketika ia menulis buku-buku itu, sehingga berakibat merugikan banyak pembaca. Anda kenal beberapa di antaranya, sebab ketika Anda menulis Leiden des jungen Wether, Anda merasa gelisah dan kacau menghadapi akibat negatif yang ditimbulkan oleh buku itu pada para remaja Jerman dalam gejolak semangatnya.
Tapi, mengapa saya bisa hanya mengkritik seorang Goethe, yang menulis mengenai satu dari antara para pengeritiknya: “Sebagaimana halnya tiap mawar, demikianpun setiap seniman mempunyai serangga: saya punya Tieck”. Baik, kalau begitu kini Anda telah menulis juga tentang saya, yang walaupun mengagumi keunggulan Anda. Misalnya begini: oleh karena bidang kesenian meliputi seluruh alam yang nyata, maka seorang seniman dapat secara sah dan bebas menceritakan semuanya, menjelaskan semuanya, termasuk hal-hal yang tak senonoh. Tentu saja sang seniman dapat memperlihatkan juga hal-hal yang buruk, akan tetapi atas cara sedemikian rupa, sehingga orang mengenal yang buruk itu sebagai sesuatu yang patut dihindarkan. Hal itu janganlah diperindah ataupun jangan sampai menggoda orang lain untuk menirunya. Tema sentral dalam buku Sophekles Raja Oedipus ialah zinah. Tetapi perbuatan itu dibeberkan secara kasar dengan kata-kata yang jelas, sehingga dari mula sampai akhir nampak jelas rasa muak. Hukuman-hukuman bagi orang-orang yang bersalah dilukiskan secara mengerikan, sehingga pada akhirnya para pembaca lebih terpikat oleh perbuatan zinah itu daripada oleh hal-hal lain. Saya katakana: ‘dari mula sampai akhir’. Sebab ada saudara-saudara dan kritikus-kritikus yang berpendapat, bahwa dengan satu catatan dari segi moral atau dengan satu aksen penutup orang dapat meloloskan sebuah film porno. Seolah-olah dengan satu semprotan air suci orang mengusir roh-roh jahat atau perbuatan guna-guna. Kiranya inilah yang masih kurang pada kita!
Satu pendapat Anda yang lain tidak dapat saya setujui: bahwa seorang genius itu hampir seperti dewa. Jadi satu tokoh bintang yang berada di atas moral umum. Anda telah mengungkapkan pemikiran ini terutama pada jaman ketika Anda belajar bersama nyonya von Stein Spinoza dan mencari Allah di di dalam alam jagat. Anda mengira, bila seorang cendikiawan terus-menerus nengangkat dirinya dengan dibantu oleh kebudayaannya maka dia dapat di telan sedikit demi sedikit oleh Allah, dan akhirnya bersatu dengan-Nya dan dengan demikian menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dewasa ini tidak sedikit orang yang menganut gagasan ini, sekurang-kurangnya dalam praktek. Sayang! Tujuan yang luhur dan kemungkinan-kemungkinan yang luar biasa pada manusia berlaku untuk tiap manusia, juga bagi yang miskin, yang bodoh dan yang menderita. Allah menghendaki agar semua orang menjadi anak-anakn-Nya, dan agar mereka semua dengan salah satu cara mencapai tujuan yang sama dengan Dia. Akan tetapi yang menjadi persoalan manusia harus meningkatkan diri dengan bantuan Allah dengan mengindahkan hukum-hukum-Nya yang wajib ditaati semua orang yang besar dan kecil, juga para seniman. Anda sendiri sebagai penyair yang ulung, para seniman yang diwakili dalam festival oleh karya-karya mereka, dan kami, orang-orang kecil di pinggir-pinggir jalan, yang kurang berbakat. Dalam pandangan ini kita semua sama rata di hadapan Allah. Jadi jika seseorang memeperoleh anugerah keahlian di bidang kesenian, atau anugerah kemasyhuran atau kekayaan, maka ia semaikn mempunyai kewajiban untuk berterimakasih kepada Allah oleh suatu cara hidup yang layak. Untuk digolongkan bersama orang-orang besar, ada;ah suatu anugerah Allah. Hal itu hendaknya tidak menjadi alasan bagi manusia untuk menyombongkan diri, melainkan mengajaknya untuk berlaku sederhana dan berbudi baik. Sekali lagi: Noblesse obdige! Kehormatan adalah kewajiban.
*Albino Luciani, adalah Paus Yohanes Paulus I, hanya 34 hari saja beliau memangku jabatan pimpinan tertinggi Gereja Katolik. Pada tanggal 25 September 1978 seluruh dunia dikejutkan oleh berita duka cita dari Vatikan bahwa Paus Yohanes Paulus I telah tutup usia secara mendadak. Artikel di atas, “Kehormatan Memberi Kewajiban” adalah salah satu artikel yang ditulis oleh Albino Luciani kepada Goethe, yang dibukukan dalam buku berjudul Illustrissimi (Kepada yang Terhormat). Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh P. Alex Beding, SVD, dengan judul Kepada yang Terhormat, 1982, Penerbit Nusa Indah, Ende-Flores.