Oleh Helena Beraf
Ketenagakerjaan di NTT kini jadi perdebatan panjang dan seolah menjadi pekerjaan rumah untuk kita semua. Berbicara soal ketenagakerjaan tentunya tidak bisa dipisahkan dengan sumber daya manusia. Jika dilihat dari karakteristik lapangan kerja yang dualistik (formal maupun informal) menunjukan tingkat pengangguran yang sangat tinggi juga kualitas tenaga kerja yang rendah.
Kualitas tenaga kerja dicerminkan oleh tingkat pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki seseorang. Kualitas yang tinggi jika dipadukan dengan penggunaan teknologi yang sesuai akan mengarah pada produktivitas yang tinggi pula. Dalam pasar tenaga kerja di NTT sendiri, tingkat partisipasi angkatan kerja tidak cukup tinggi dan berfluktuasi.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja serta kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Keadaan yang demikian menyebabkan banyak penduduk NTT memilih untuk bekerja di sektor informal dibandingkan sektor formal. Kondisi rendahnya tingkat pendidikan dan keahlian angkatan kerja ini berpengaruh terhadap lambatnya penyerapan tenaga kerja dari Sektor pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan ke sektor-sektor lainnya. Sebagian besar tenaga kerja yang terserap hanya merupakan tenaga kerja informal dengan keahlian yang rendah.
Upaya pemerintah dan masyarakat sudah banyak dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Namun belum dapat menekan tingginya tingkat pengangguran. Rendahnya kualitas tenaga kerja masih menjadi hal penting yang harus dibenahi. Keadaan ketidaksesuaian antara kualifikasi pencari kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan penyedia kerja dan rendahnya keahlian akan berdampak pada lambannya peningkatan produktivitas kerja. Perusahaan mempunyai tujuan optimalisasi produksi sedangkan tenaga kerjanya tidak dapat mendukung kebijakan perusahaan menyebabkan perusahaan tidak dapat mengembangkan dirinya.
Pemerintah misalnya, perlu memberikan investasi di bidang pendidikan dan pelatihan guna peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Pemerintah harus lebih menekankan pencapaian di bidang pendidikan formal, sebab pendidikan dan pelatihan akan meningkatkan keterampilan pekerja, sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya akan meningkatkan pula pendapatan pekerja.
Banyak hasil penelitian yang menunjukkan hubungan korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dengan produktivitas kerja. Melalui data dari BPS menunjukkan ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan pekerja dengan produktivitas yang dihasilkannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula produktivitasnya.
Selain peningkatan pendidikan dan keterampilan, pemberian kesempatan kerja juga perlu dilakukan agar pekerja dapat meningkatkan rasa percaya diri dalam bekerja. Dengan kesempatan kerja yang terbuka luas, seseorang dapat menggunakan seluruh kemampuan yang dimilikinya secara maksimal. Dengan demikian, rasa percaya diri dengan sendirinya akan tumbuh karena pengalaman kerja tersebut. Semakin tinggi pengalaman kerja maka tingkat keahliannya pun semakin baik. Dan pada akhirnya, meningkatkan produktivitas kerja.

Kondisi ketenagakerjaan di NTT masih sangat memprihatinkan, dilihat dari tingginya tingkat pengangguran karena ketidaksesuaian tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan perusahaan dan rendahnya upah akibat minimnya produktivitas.
Pendidikan dan keterampilan merupakan human capital dalam pasar kerja, oleh karena itu tenaga kerja di NTT perlu mengembangkan kemampuan yang dimilikinya melalui peningkatan pendidikan dan keterampilan. Selain pendidikan dan keterampilan, produktivitas tenaga kerja juga didukung oleh tingkat gizi dan kesehatan, serta etos kerja. Dan secara teori di NTT sudah menyalahi aturan yaitu salah satunya mereka mempunyai pekerja dibawah umur padahal anak – anak dibawah umur itu seharusnya dibekali oleh ilmu pengetahuan dan keterampilan. Terbatasnya kesempatan kerja membuat belum tertampungnya seluruh pencari kerja yang ada, baik yang baru menyelesaikan pendidikan, pengangguran dan yang ingin bekerja kembali.
Adapun rendahnya kualitas angkatan kerja terlihat dari sensus yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada 2014 di mana tenaga kerja yang pendidikan terakhirnya Sekolah Dasar masih dominan mencapai mencapai 46,9%. Berdasarkan pengalaman yang ditemui banyak tenaga kerja yang sekolah setinggi mungkin namun begitu tamat tidak bekerja dan pada akhirnya bekerja apa saja.
Faktor Ekonomi sebagai Imbas dari Masalah Ketenagakerjaan
Dari penjabaran di atas dapat ditarik benang merah antara ketenagakerjaan dan perihal ekonomi. Karena keterbatasan sumber daya manusia sehingga orang sulit mendapatkan pekerjaan, ditambah lagi dengan sempitnya lapangan pekerjaan jika dibadingkan dengan pencari kerja. Ini berimbas pada kondisi ekonomi yang buruk. Sementara kebutuhan sehari hari terus bertambah dan mengharuskan seorang kepala keluarga harus bekerja. Dalam kondisi seperti ini tak jarang iming – iming bekerja di luar negeri dengan gaji yang besar dapat menjadi solusi.
Hal ini sangat irasional karena orang cenderung memilih pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa perlindungan sosial dibandingkan dengan pekerjaan yang produktif dan dengan jaminan sosial yang memadai. Hingga tak jarang kita dengar banyak tenaga kerja Indonesia yang disiksa di luar negeri. Terakhir kita menjemput TKI asal NTT yang diduga menjadi korban Human Trafficking. Ini jelas karena tingkat penegetahuan yang masih sangat rendah ditambah beban dan kebutuhan hidup yang mau tidak mau harus dipenuhi.
Naasnya adalah banyak calon TKI asal NTT yang nekat bekerja di luar negeri tanpa mengikuti alur secara prosedural karena terdesak oleh keadaan ekonomi. Meskipun ada variable-variable penyertanya seperti iming-iming mendapatkan uang dolar. Orang desa mana pernah lihat uang dolar. Inilah yang mendorong mereka nekat tanpa memperdulikan resiko yang akan diterima selama bekerja di luar negeri secara illegal. Karena itu pemerintah perlu bekerja sama dengan tokoh-tokoh agama untuk memberikan pemahaman mengenai menjadi TKI dan tidak boleh tergiur dengan iming-iming para calo TKI yang memberikan janji janji manis tetapi setelah itu dibiarkan untuk menanggung resiko sendiri jika sudah terkena razia atau mengalami penyiksaan yang kejam oleh majikan seperti kisah kisah pilu yang akhir akhir ini sering kita dengar.

Inilah relitanya. Potret kasus Human Trafficking di NTT sungguh gawat. Berdasarkan laporan BP3TKI kupang menyajikan berita yang memilukan semua rakyat NTT. Putra putri daerag silih berganti menempati list kematian TKI/TKW di negeri orang. Dalam bulan pertama di tahun 2018 sudah terdapat 9 jenasah TKI asal NTT yang dipulangkan dari luar negeri. Masih ingat dengan Angelina Sau? Gadis kelahiran Oenino, Timor Tengah Selatan yang disiksa oleh majikan. Yah., singkat kata pergi dengan pesawat, pulang dengan peti.Berbicara soal NTT dengan kompleksitas persoalan membuat masyarakat NTT harus menggandeng sterotipe yang sangat beragam. Ada yang mengatakan NTT: Nasib Tergantung Tetangga, Nasib Tidak Tentu, Nanti Tuhan Tolong. Setiap predikat ini disematkan ketika berkaca pada persoalan yang melilit masyarakat NTT. Kemiskinan, korupsi, Human Trafficking, degradasi moral dan lain sebagainya. Ini menjadi sebuah fenomena baru bagi Provinsi NTT yang kini memasuki usia 58 tahun.

Kasus Human Trafficking diamini disebabkan oleh berbagai macam faktor dan kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor, antara lain: Pertama, kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban. Kedua, kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut. Ketiga, kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua. Keempat, lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas. Kelima, lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking.
Terlepas dari batas wilayah. NTT secara potensial yang ada tidaklah pantas diurutkan sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia. Sebut saja potensi pertanian sebagai basis ekonomi dengan potensi lahan basah 127.271 ha, potensi lahan kering 1.528.306 ha, padang untuk usaha peternakan seluas 1.939.801 ha. Perarian laut yang diperkirakan seluas 200.00 km2 (80,86%) dari luas wilayah yang memiliki sumber daya hayati laut multi spesies dengan potensi 240.000 ton/tahun belum termaksud nener 680.000.000 ekor/tahun. Potensi wisata diantarnya danau Kelimutu, kawasan wisata Komodo, wisata bahari dan wisata budaya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, juga potensi tambang antaranya marmer, beji besi, batu aji, dan potensi tambang lainnya. Ini belum dikalkulasi dengan modal sosial budaya yang berlimpah di Flobamora ini (Isiodorus Lilijawa:267-268).
Kembali lagi, bahwa soal pendidikan dan pelatihan adalah solusi terbaik untuk menghasilkan tenaga kerja yang kompeten dengan SDM yang handal di bidangnya. Masyarakat pesisir perlu dibekali dengan pengetahuan tentang perairan, masyarakat pegungungan perlu dibekali dengan latihan berkebun, bercocok tanam dan beternak, dan sedapat mungkin megusahakan segala aspek yang menunjang itu.
Pariwisata Berbasis Lokal Menjaring Tenaga Kerja dan Percepatan Ekonomi?
Seperti yang diuraikan di atas. Sejarah geografis NTT memiliki sektor pariwisata yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Sebut saja danau K elimutu, Taman Komodo, pantai Lasiana, pulau Padar, air terjun Oehala, pantai Nembrala, sawah Lodok, pulau Ruing, dan juga tradisi penagkapan ikan Paus Lamalera.

Untuk menunjang pariwisata, pemerintah perlu membenahi banyak hal seperti akses ke tempat wisata dan juga pemugaran pada objek – objek wisata yang sudah mulai terkikis zaman. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari peran masyarakat setempat. Masyarakat setempat haruslah menjadi pelaku pariwisata karena mereka lebih mengenal tempat dan juga budaya. Wisata penangkapan ikan Paus desa Lamalera, misalnya adalah sebuah objek wisata yang ramai dikunjungi. Tak hanya memiliki keunikan cara penangkapan ikan hanya dengan peledang (perahu yang dipakai oleh nelayan Lamalera untuk menangkap ikan Paus) tetapi lebih dari itu ada budaya dan historis juga agama di dalamnya. Hal ini yang menjadi ciri khas tersendiri yang menarik minat wisatawan untuk datang. Dan ini harus diceritakan atau dipromosikan keluar tidak hanya oleh pemerintah tapi juga masyarakat.

Tentu banyak sekali objek wisata bisa dipakai untuk percepatan ekonomi kita. Pemerintah akhir akhir ini mencanagkan banyak sekali program pariwista. Ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat NTT. Bagaimana tidak NTT semakin dikenal di luar, karena alamnya yang masih perawan dan juga budaya adat istiadat serta kondisi sosial kultur yang unik, ini tidak hanya isapan jempol belaka. Masyarakat pun harus tanggap dengan program yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat dituntut untuk kreatif dalam hal ini adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat .Secara tidak langsung bahwa pendidikan dan pelatihan kepariwisataan lokal perlu diberikan pada masyarakat setempat.

Dengan keterlibatan masyarakat dalam sektor pariwisata diharapkan dapat mengikis perlahan angka pengangguran dan juga memperbaiki ekonomi masyarakat akar rumput sehingga sejahtera mulai dari bawah untuk kokoh ke atas.
Helena Beraf, Peminat Sastra, Penulis Opini, sedang menyelesaiakn studi kebidanan di Jakarta