Oleh Stephie Kleden-Beetz
TEMPATNYA di Reykyavik (Islandia, negeri api dan es). Di restoran yang modern dan canggih itu saya mendapat hidangan makan saing ini: kentang kukus, sayur brokoli dan ikan salmon. Ya kisah itu sudah bertahun-tahun yang lalu.
Kali ini saya bukan mau bercerita tentang pulau gunung api di utara, di mana musim dingin yang beku selama 9 bulan dan musim panas (Juni, Juli, Agustus yang hangat dengan matahari yang bersinar di tengah malam) melainkan yang mau saya suguhkan ialah tentang ikan salmon.
Ikan salmon (salamonidae) ada bermacam-macam jenis. Ada salmon Atlantik yang disebut Salmon Salar, ada salmon Pasifik yang bernama Oncorhynchus. Mereka adalah ikan pemburu yang tangguh. Lahir di sungai-sungai. Dalam umur 2-3 tahun dengan panjang 15 cm mereka mulai melanglang buana menuju lautan lepas. Di samudera raya mereka tumbuh sangat cepat dan bertemu dengan sesama jenisnya dari berbagai tempat di seuruh dunia, ada yang dari Kanada, Skotlandia, Rusia, Skandinavia, Jerman dan sebagainya.
Keistimewaan ikan-ikan salmon ialah: ketika masa kawin tiba mereka kembali ke tempat lahirnya. Secara instinktif mereka tahu di mana mereka lahir dan halangan apapun tak akan pernah mungkin bisa menahannya untuk kembali. Maka mulailah sebuah perjalanan pulang yang penuh dengan tantangan dan petualangan yang luar biasa. Dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, mereka hampir tidak punya waktu untuk makan. Hal ini sudah mereka atur jauh-jauh hari sebelumnya dengan sangat teliti yaitu dengan makan sebanyaknya-banyaknya sehingga tubuhnya penuh dengan lemak dan energi.
Rintangan dalam perjalanan ke tempat lahir pertama ialah: melawan arus yang begitu deras. Tak kurang air-air terjun yang tidak sedikit yang harus mereka lewati. Tetapi apalah rtinya? Mereka lampaui dengan perkasa air terjun yang tingginya tiga sampai lima meter, mereka lampaui dengan perkasa yaitu dengan sekali loncat. Bila loncatan pertama gagal, jangan kira mereka putus asa. Mereka akan mencoba dan terus mencoba sampai berhasil. Sering sekali dalam usaha ini mereka jatuh terpelanting di batu-batu yang tajam dan runcing, ada yang luka da nada pula yang mati. Acap kali untuk menghemat tenaga mereka berusaha melompat jauh dan siapa sangka mereka bisa melompat sejauh 5 meter. Kesulitan yang tidak kala besarnya ialah manusia yang memburunya dan ahu tepat di mana rombongan ikan salmon ini bisa di tangkap. Jangan lupa di dunia ini tidak sedikit manusia yang menyukai ikan salmon yang lezat dan mahal itu.
Perjalanan panjang yang ribuan kilo meter itu mereka tempuh antara 6 bulan sampai satu tahun. Bagaimana ikan salmon itu bisa menemukan jalan kembali ke tempat lahirnya tetap merupakan rahasia alam pun bagi para ahli yang bertahun-tahun menyelidikinya. Mereka (para ilmuwan) hanya berkesimpulan bahwa untuk dapat kembali atau daya orientasi itu diperoleh dari penciuman. Dengan ketahanan tubuh yang luar biasa mereka bisa berenang sekitar 54 km dalam sehari. Berhubung mereka tidak ada lagi waktu untuk makan dalam petualangan hidup mati itu, maka persedian lemak dalam tubuhnya diubah menjadi otot dan energi. Ekornya yang kokoh amat membantu untuk laju perjalanannya.
Semakin mendekat ke tempat lahir terjadilah perubahan yang luar biasa pada diri ikan-ikan salmon itu. Sang jantan berubah warna dan siap memakai pakain ‘pengatin’ yang amat indah. Kebalikan dari dunia manusia di mana mempelai wanita lebih dominan dan heboh dan meriah dalam berdandan. Maka bersoleklah mempelai pria dengan punggung yang agak gelap, perut dihiasi dengan warna yang merah menyala dan seluruh tubuh ditaburi bintik-bintik coklat atau putih yang membuat dandanan semakin sempurna. Sirip dan ekor indah jelita seolah ditaburi mutiara dan berlian. Sang betina sedikit saja berubah tetapi tidak semewah mempelai pria.
Akhirnya tibalah mereka di tempat yang dituju, di kampong halaman. Dari ribuan yang menempuh perjalanan panjang hanya sedikit saja yang terengah-engah tiba ditempat. Kini sang betina mulai bekerja dengan semangat yang luar biasa dan mengagumkan: dengan mulut, dibantu ekor dan sirip ia mulai menggali untuk tempat bertelur. ‘Kamar pengantin’ ini rata-rata 10 sampai 20 cm dalamnya tetapi dengan lebar dan luas sampai 1 (satu) meter atau lebih. Nelayan-nelayan Ceko bahkan pernah mengintip ‘kamar pengantin’ itu yang menurut mereka begitu luas sehingga seekor kuda pun bisa berbaring di dalamnya.
Yang luar biasa adalah ini: Selama sang betina bekerja membanting tulang dan bercucur keringat, banyak jantan yang menunggu dengan penuh birahi di samping situ. Mereka tidak sama sekali menolong tetapi hanya melotot! Bayangkan! Dasar jantan. Sesudah betina selesai, majulah para jantan itu dan mau nerebut betina tersebut. Terjadilah pergumulan yang hebat di samping kamar pengantin untuk memperebutkan pengantin putri. Jantan yang kalah mundur, ada pula yang tewas. Jantan yang menang mulai ‘making love’ dengan sang betina. Ada tarian menarik hati, seremoni itu dan itu, barulah terjadi upacara perkawinan dan telur-telur yang puluhan ribu yang sudah tersedia di kamar pengantin pun dibuahi. Sesudah itu sang betina menutupi telur-telur itu dengan pasir.
Dan pasangan yang baru saja bercinta itu kehabisan tenaga lalu menghembuskan nafas terakhir. Suatu kematian yang bahagia setelah menempuh jalan panjang penuh sengsara dan bahaya. Mereka telah pergi sesudah memberikan kehidupan baru kepada keturunannya yang dalam waktu 70-20 hari akan lahir dan terjadilah lagi proses kehidupan dari awal.
***
Stephie Kleden-Beetz, pernah menjadi korespenden Deutsche-Welle, radio nasional Jerman. Menulis buku antara lain Cerita Kecil Saja, Merajut Kata-Kata, Tanda Mata.
Sumber Tulisan: Majalah Warta Flobamora, Edisi 41 Juni 2016