Oleh Alexander Aur, Penikmat Sastra dan Pengajar Filsafat di Universitas Pelita Harapan
- Catatan Kecil tentang Novel Lamafa
“… penangkapan ikan paus di Lamalera berkaitan erat dengan pelbagai aspek kehidupan masyarakatnya, sehingga kalau orang mengenal Lamalera berarti orang mengenali hubungannya dengan menangkap ikan paus. … pada saat seorang juru tikam atau lamafa memperhatikan gerak-gerik ikan yang akan ditikamnya, dia sendiri mengucapkan harapannya dengan kata-kata seperti ditujukan kepada mangsanya supaya tenang terapung untuk ditikam untuk memberi makan kepada warga kampung, terutama kaum miskin dan janda-janda yang menaruh harapan mereka pada pekerjaan di laut itu.” – Alex Beding, SVD.
Pengantar
Novel Lamafa merupakan sastra etnografis. Ciri etnografis itu tampak dalam tema, latar tempat,dan narasi tentang lamafa dan budaya menangkap paus dalam novel ini. Kata lamafa yang oleh digunakan oleh pengarang sebagai judul novel ini merupakan sebuah istilah yang berlaku dalam masyarakat nelayan Lamalera. Kata itu digunakan sebagai predikat yang dilekatkan pada seseorang yang menjalankan peran sebagai pemimpin kelompok penangkap paus. Salah satu tugas utama pemimpin tersebut adalah menikam mamalia laut tersebut. Dengan demikian, lamafa dikenal khalayak sebagai penombak/penikam paus.
Kata lamafa selanjutnya bermetamorfosis dari predikat menjadi identitas yang melekat pada seseorang dalam sistem sosial masyarakat nelayan Lamalera. Metamorfosis itu sekaligus sebagai penetapan dan penegasan terhadap eksistensi lamafa. Seorang lamafa tidak semata-mata penombak/penikam paus, tetapi lebih dari itu, ia adalah pemimpin, yang mengemban tugas sakral, yakni menjaga kehidupan dan sekaligus menghubungkan kehidupan dunia laut dan kehidupan dunia darat. Itulah tesis pokok catatan kecil tentang novel ini.
Mengingat novel Lamafa merupakan sastra etnografis, maka novel ini mesti dibaca dengan sudut pandang geografi budaya dan sosiologi budaya kampung nelayan Lamalera. Dengan sudut pandang pembacaan yang demikian, pembaca dapat menyadap dan menyerap filsafat kehidupan yang berada di balik peran lamafa (pemimpin kelompok penangkap paus). Tulisan ini merupakan paparan tentang pembacaan atas novel Lamafa dengan sudut pandang geografi budaya dan sosiologi budaya. Meski demikian, pembingkaian ini bukan bermaksud untuk memasung kebebasan para pembaca. Para pembaca tetap mempunyai kebebasan untuk menafsirkan dan menangkap kekayaan isi novel ini.
Catatan kecil ini terbagi dalam beberapa bagian. Pertama, mengenal konteks geografis dan sosiologis masyarakat nelayan Lamalera. Dua konteks itu berada dalam selubung kebudayaan. Mengenal dua konteks itu amat penting karena di keberadaan lamafa justru terbangun dari konteks itu. Kedua, semesta kehidupan lamafa dan warga kampung nelayan Lamalera. Dengan menggali semesta kehidupan lamafa, siapapun dapat menyadap darinya semangat atau spirit sosial lamafa dan orang-orang Lamalera. Ketiga, lamafa dalam novel Lamafa. Sosok lamafa dalam novel ini berada dalam empat situasi penting. Keempat situasi yang diuraikan dalam bagian akhir tulisan ini merupakan situasi-situasi yang di dalamnya tokoh Saya dididik agar tumbuh dan berkembang sebagai lamafa. Artinya, selain bakat alam dalam diri, seseorang yang menjadi lamafa harus menjalani proses “pendidikan”.
Mengenal Lamalera: Sebuah Konteks Geografi Budaya dan Sosiologi Budaya Novel Lamafa
Boleh jadi pembaca atau siapapun, khususnya orang di dan dari luar Lembata akan bingung dan bertanya-tanya, saat membaca kata (istilah) lamafa, yang menjadi judul novel ini. Boleh jadi pula kata tersebut sangat asing di telinga dan asing dalam pikiran para pembaca. Tetapi jika membaca kata “Lamalera”, para pembaca atau siapapun, baik orang di maupun dari luar Lembata, segera mempunyai persepsi tertentu. Persepsi yang paling cepat mengemuka adalah “penangkapan paus secara tradisional.”
Lamalera sudah diketahui dan dikenal publik jauh sebelum novel ini ada. Lamalera dikenal publik karena tradisi penangkapan ikan paus secara trasidional. Bahkan, karena sangat terkenal, sehingga Lamalera lebih dikenal oleh publik di luar Lembata dan NTT daripada daripada Lembata, yang di dalamnya Lamalera berada. Dengan gaya humor filosofis, suatu saat di masa lalu seorang pewaris roh lamafa yang bernama Bona Beding, pernah menyatakan, “Lembata berada dalam Lamalera, bukan Lamalera berada Lembata.”
Pernyataan Bona Beding tersebut bukan sebuah pemujaan terhadap Lamalera. Bukan pula sebuah olok-olok terhadap Lembata. Humor yang dinyatakan Bona Beding tersebut bertumpu pada filsafat kehidupan yang terkandung dalam dan terungkap dari kata “Lamalera”. Secara etimologis, kata “Lamalera” terdiri dari dua kata, “lama” dan “lera”. “Lama” berarti “piring”. “Lera” berarti “matahari”. Secara sederhana “Lamalera” berarti “piring matahari”. Baik secara etimologis maupun secara fenomenologis, kata “Lamalera” menyimbolkan dan menyingkapkan semesta kehidupan (makrokosmos dan mikrokosmos) orang-orang Lamalera.
Sebelum mengudar secara lebih komprehensif semesta kehidupan lamafa dan orang-orang Lamalera, terlebih dahulu diperkenalkan secara ringkas seluk-beluk Lamalera. Pater Alex Beding, SVD dalam Pater Bernhard Bode, SVD, menyebut Lamalera sebagai “bumi berbatu yang memiliki daya tarik sendiri”. Pater Alex mendeskripsikan Lamalera sebagai berikut ini:
Di pantai selatan pulau Lembata, pada sebuah teluk kecil dengan pantai berpasir kira-kira 300 m panjangnya, di situlah terletak kampung Lamalera. Di latar belakang tampak puncak sebuah gunung yang tinggi, yakni gunung Labalekang (tingginya 1.644 mdpl), sehingga kampung ini terletak di kaki gunung itu. Suatu wilayah pantai yang panjangnya mencapai puluhan kilometer dan terdiri dari wadas hitam dan tebing-tebing batu yang tertanam dalam laut. Dan kampung Lamalera sendiri bagaikan terletak di atas batu-batu. Setiap tamu yang tiba di Lamalera bisa bertanya dalam hati: bagaimana orang bisa hidup di tempat ini? Bagaimana kiranya pencarian nafkah mereka? Dan ada apa yang menarik di sini? Pantai kampung Lamalera adalah sesuatu yang khas. Yang (paling) pertama tampak ialah satu deretan bangsal-bangsal (disebut naje) beratap daun lontar terpajang sepanjang pantai. Itulah rumah-rumah tempat perahu-perahu nelayan disimpan. Selurunya mirip sebuah kompleks bengkel kerja.[1]
Deskripsi ringkas tersebut menujukkan secara terang benderang bahwa kampung Lamalera adalah kampung nalayan. Keberadaan diri orang-orang Lamalera bertautan erat dengan keberadaan laut, perahu, dan aktivitas kenelayanan. Mereka mengakarkan diri dan aktivitas kehidupannya pada laut. Laut merupakan hal istimewa bagi orang-orang Lamalera. Laut bukan semata-mata tempat mencari ikan. Lebih dari itu, laut merupakan rumah dan energi kehidupan, bahkan ibu kehidupan bagi mereka.
Dalam konteks keberadaan masyarakat adat, Lamalera merupakan sebuah kelompok masyarakat adat. Bila sebagian besar masyarakat adat di Indonesia memiliki hak ulayat atas tanah (darat) dan segala isi yang terkandung di dalamnya, demikian pula bagi masyarakat adat Lamalera, laut adalah hak ulayatnya. Mereka berhak atas laut dan segala isi yang terkandung di dalamnya. Laut adalah ibuorang-orang Lamalera. Ibu yang mengandung knato (kiriman) Tuhan, yakni paus dan ikan-ikan lainnya. Laut pulalah yang melahirkan knato Tuhan untuk mereka. Bagi seluruh warga kampung nelayan Lamalera, paus bukanlah satwa buruan yang harus diburu demi mempertahankan hidup dari ancaman kematian. Sebaliknya, paus – yang mereka sebut ketekelema – dan ikan-ikan lainnya adalah knato atau kiriman dari Tuhan untuk mereka. Sebagai knato, paus adalah rejeki dari Tuhan untuk mereka.
Kampung nelayan Lamalera, terbagi menjadi dua kampung, yakni Lamalera A dan Lamalera B. Pembagian dua kampung nelayan ini dilakukan oleh pemerintah, sebagai bentuk respon terhadap perkambangan jumlah orang-orang Lamalera yang semakin banyak. Tetapi ada hal yang menarik yang terjadi di sana, sebagai dampak dari pembagian itu. Hal menarik itu adalah gerak pergi-pulang orang-orang Lamalera A yang terletak lebih di atas pantai dan ke dan dari Lamalera B yang terletak di pinggir pantai. Pater Alex Beding menggambarkan hal itu sebagai berikut:
Orang dari kampung Lamalera B di pantai yang hendak pergi ke Lamalera A, harus melalui satu tempat bertebing curam yang disebut Gripe. Di situ terdapat satu-satunya jalan yang hanya berupa batu-batu di mana orang dapat meletakkan kaki untuk mendaki atau menurun. Itupun harus dilakukan dengan hati-hati karena di sampingnya terdapat jurang. Untuk penduduk setempat yang sudah terbiasa tidak ada kesulitan, lain halnya bagi pendatang asing. … Baru pada 1998 tangga itu dibongkar dan dibangun sebuah “Gripe” yang baru berupa jalan yang kini dapat dilewati dengan kendaraan beroda dua atau empat.
... Dahulu Lamalera mempunyai seorang kakang (kepala haminte/gemeentehoofd – bahasa Belanda). Sejak 1950 Lamalera yang sudah berkembang lebih luas dan dimekarkan menjadi dua kampung, yakni Kampung Lamalera A (Atas), yang dalam Bahasa Lamalera disebut Tétilefo dan Kampung Lamalera B yang disebut Lalifatan, yang satu letaknya lebih tinggi sedangkan yang lain lebih rendah di pinggir laut. Kedua kampung itu dipisahkan oleh sebuah bukit yang mereka sebut Fung, satu areal yang ditutupi batu-batu besar, tetapi di situ juga terdapat sejumlah rumah penduduk.
Nama kampung Lamalera dewasa ini sudah terkenal di mana-mana sebagai kampung ikan paus, sebab rupanya kampung ini satu-satunya di Indonesia yang biasa menangkap ikan paus selain ikan-ikan jenis lumba-lumba, pari, hiu dan lain-lain. Tetapi penangkapan ikan paus di Lamalera berkaitan erat dengan pelbagai aspek kehidupan masyarakatnya, sehingga kalau orang mengenal Lamalera berarti orang mengenali hubungannya dengan menangkap ikan paus.
Mengapa penangkapan ikan paus di Lamalera begitu menarik perhatian? Nelayan-nelayan Lamalera menangkap ikan-ikan sebagai mata pencarian utama mereka. Tetapi mereka memburu dan menikam juga ikan yang besar seperti ikan paus yang panjangnya bisa mencapai 10 meter atau lebih, dengan menggunakan perahu-perahu dan dengan alat-alat tradisional sederhana seperti tempuling (kafé). Ikan paus (kotekelema) yang besar yang ditangkap itu dianggap sebagai rezeki untuk seluruh masyarakat. Jadi bukan hanya untuk dibagi kepada awak perahu, pemilik perahu, atau pembuat perahu, yang disebut ata molang, atau satu kelompok eksklusif. Tentu saja orang bebas berusaha mendapat bagian dari ikan besar itu. (Tetapi) ikan paus yang ditangkap itu seolah-olah menjadi milik bersama karena dalam hal pembagian ikan itu, kelompok miskin dan para janda dalam masyarakat harus diperhatikan. Hal ini merupakan suatu peraturan turun-temurun.
Orang Lamalera berdiam di suatu wilayah yang kering dan berbatu dan tidak layak untuk pertanian. Hanya pada musim hujan mereka menanam jagung di mana terdapat sedikit tanah, jadi mereka tidak bisa berkebun. Untuk mendapat hasil kebun mereka mesti menukarkan dengan ikan. Mereka mempunyai ukuran-ukuran untuk jagung, padi, sayur dan buah-buah dan lain-lain dan di pihak lain ukuran ikan berapa besar dan berapa potong.
Terutama ikan paus, yang sangat digemari tentu merupakan kekuatan ekonomi bagi orang-orang miskin supaya mereka bisa mempertahankan kehidupan. Maklumlah, pada saat seorang juru tikam atau lamafa memperhatikan gerak-gerik ikan yang akan ditikamnya, dia sendiri mengucapkan harapannya dengan kata-kata seperti ditujukan kepada mangsanya supaya tenang terapung untuk ditikam untuk memberi makan kepada warga kampung, terutama kaum miskin dan janda-janda yang menaruh harapan mereka pada pekerjaan di laut itu. Lalu dengan satu salto yang kuat dia menghujamkan tikamannya ke badan ikan. Jelas bahwa pembagian ikan yang ditangkap itu untuk orang-orang miskin merupakan suatu kewajiban moril yang selalu diperhatikan dengan sungguh-sungguh.[2]
Deskripsi tentang Lamalera yang dipaparkan oleh Pater Alex Beding tersebut menyingkapkan situasi geografi budaya dan sosiologi budaya masyarakat Lamalera. Geografi budaya kampung nelayan Lamalera adalah bumi berbatu. Di atas bumi yang demikian, mereka membangun rumah-rumah tinggal. Dan sudah barang tentu, situasi yang demikian turut pula menumbuhkan dalam diri orang-orang Lamalera semangat yang tangguh dan pantang menyerah. Keteguhan hati dan kepantangan menyerah diri mereka sekuat dan seteguh batu-batu dan tebing-tebing kokoh.
Semesta Kehidupan Lamafa dan Warga Kampung Nelayan Lamalera
Orang-orang Lamalera adalah pribadi-pribadi tangguh dan penuh daya hidup serta daya juang. Elan vital – meminjam istilah Henry Bergson – orang-orang Lamalera memampukan mereka untuk mengarungi dan menyelami laut Sawu yang bergelora untuk mendapat ikan dari rahim laut Sawu. Dalam situasi geografis yang demikianlah orang-orang Lamalera sebagai suatu kelompok masyarakat adat membangun dan mengembangkan hidupnya.
Dalam situasi geografis yang demikian pula, seseorang – dari sekian banyak laki-laki Lamalera – tumbuh dan ditempa dalam kesenyapan dan deru laut di halaman kampung nelayan Lamalera, sehingga kelak ia menjadi lamafa yang mengemban tugas sakral sebagai salah satu simpul penting dari seluruh simpul dan semesta kehidupan kampung nelayan Lamalera.
Bona Beding menuturkan bahwa tidak semua lelaki Lalamera dapat menjadi lamafa. Seseorang yang kelak adalah lamafa dan bertindak sebagai lamafa dalam kosmologi hidup kampung nelayan Lamalera, harus melewati proses formasi dalam kesenyapan dan ketekunan seorang lamafa. Bahkan orang yang kelak adalah lamafa tersebut tidak sadar bila ia sedang dididik menjadi lamafa. Seorang lamafa mendidik calon lamafa melalui ketekunan kerja dan sikap hidupnya.[3]
Lamafa adalah salah satu simpul penting dalam tradisi ola nuá masyarakat Lamalera. Ola nuá merupakan aktivitas melaut secara tradisional sebagai mata pencarian utama orang-orang Lamalera. Mereka menyelenggarakan ola nuá pada musim léfa, yakni masa resmi untuk turun ke laut, yang berlangsung dari bulan Mei-September. Musim léfa disebut juga mussi lerâ atau léfa nuang, yang berarti musim kemarau.Pada musim itu gerombolan ikan paus dan berbagai jenis ikan lainnya muncul di perairan laut Sawu.[4]
Sepanjang musim itu, apabila warga kampung melihat ada semburan air di tengah laut, segeralah berkumandang teriakan, “Baleo … baleo … baleoooo…”. Teriakan itu sambung-menyambung dari satu orang ke orang lain dan bergema di seluruh kampung. Teriakan itu sebagai penanda ada paus yang berenang tak jauh dari pantai. Teriakan itu merupakan kelanjutan dari doa yang didaraskan oleh lamafa dan seluruh warga kampung nelayan di pesisir pantai saat-saat sebelum lamafa dan para awak pelédang melaut. “Sedo basa hari lolo/ jaji pulo boi lema ropong/ hode one sare, yang berarti,“Oh ibunda lautan/ engkau mengandung, melahirkan/ memelihara dan meyimpan segala-galanya untuk kami,” demikianlah syair mantra laut nan magis orang-orang Lamalera.[5]
Teriakan “Baleo … baleo … baleo …” para warga kampung memacu semangat lamafa memimpin sekelompok nelayan untuk mendayungkan peledang[6] ke tengah laut. Gerak mengarah ke tengah laut berlangsung dalam keheningan batin dan deru-gemuruh laut. Dalam suasana demikian, lamafa berbisik, “Huro…” yang artinya “dayung lebih cepat” karena paus sudah dekat. Lamafa – yang berdiri diburitan depan peledang – mengemban tugas sakral untuk membawa pulang knato ke darat. Sementara itu, di darat (di tepi pantai), para janda, orang-orang miskin, para orang tua, perempuan, dan anak-anak menanti knato kehidupan dengan harapan yang membuncah dan doa yang menggemuruh.
Saat lamafa berhasil menancapkan tempuling (mata tombak) dan paus berontak, warga kampung berteriak, “Hirrkae …hir … hir ke, levo hiiir kae,” yang berarti, “Puji dia, seluruh isi kampung puji dia.”[7] Dalam mendayung pulang pelèdang ke pantai sambil menarik paus, sang lamafa beryair dengan suara merdu bersama para awak, “Sora taran bala tala lefo rai tai/Tuba bera rai nai ribu lefo gole/Kide ina-fai tuba bera rai nai,” yang berarti “Kerbau yang bertanduk gading/ Mari kita beranjak menuju kampung nun di sana/ Seluruh masyarakat merindukan kehadiranmu. Ayo, segeralah kita ke sana.”[8]
Seorang lamafa adalah pribadi yang sakral. Kesakralan dirinya terkandung dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya. Dari peran lamafa yang memimpin awak pelédang untuk menyambut knato Tuhan di tengah laut, tersingkap suatu makna, yakni kepada lamafa para warga kampung mendapukkan harapan agar lamafa dan rekan-rekan seperahu kembali ke darat sambil membaya paus. Mamalia laut itu adalah penanda bahwa warga kampung nelayan Lamalera terus hidup selama satu musim ke depan.
Supaya bisa membawa pulang paus, lamafa harus mempurifikasikan dirinya dengan mengosongkan dirinya dari berbagai anasir buruk. Ia harus menyucikan diri supaya bisa mengemban tugas sakral sebagai lamafa, yakni menjaga kehidupan dan sekaligus menghubungkan kehidupan dunia laut dan kehidupan dunia darat. Untuk itu, ia tidak boleh berprasangka buruk dengan semua warga kampung, tak berkonflik dengan istri dan anak-anak, dan tak berseteru dengan semua orang. Bahkan, ia harus berpantang secara seksual saat menjalankan tugasnya selama musim lefa. Dengan demikian, ia mengemban amanah kehidupan, baik kehidupan dunia laut maupun kehidupan dunia darat.[9]
Lamafa dalam Novel Lamafa
Dalam novel Lamafa, keberadaan lamafa tetap sebagai sosok diri yang sakral. Sakral di sini bukan berarti orang suci sebagaimana yang dimengerti dalam dunia agama-agama. Bukan itu. Kesakralan diri lamafa terletak pada konsistensi dan kesetiaan menjalankan panggilan hidup sebagai lamafa dalam sistem sosial masyarakat nelayan Lamalera. Bahkan keberadaan lamafa dalam novel ini hadir secara unik.
Keunikan lamafa dalam novel Lamafa, tampak pada karakter tokoh Saya. Tokoh Saya ditampilkan oleh narator sebagai sosok yang memilih panggilan hidup sebagai lamafa. Berbeda dengan sebagian besar lamafa yang menjadi lamafa setelah melalui proses formasi diam-diam sesuai dengan tradisi dan kebiasaan masyarakat Lamalera, justru sebaliknya tokoh Saya menjadi lamafa atas dasar kehendaknya sendiri.
Tokoh Saya adalah seorang sarjana sosial lulusan Universitas Nusa Cendana, Kupang. Setelah diwisuda, ia memilih menjalani hidup sebagai lamafa di kampungnya. Sudah barang tentu, pilihannya itu melahirkan konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia pun siap menghadapi dan menyelesaikan setiap konsekuensinya. Misalnya, ia harus berpisah dengan kekasihnya. Tokoh Saya baru saja menjalin hubungan dengan temannya sebagai sepasang kekasih pada saat wisuda berlangsung. Tokoh Saya juga kelak harus menghadapi konflik dengan adik kandungnya dan menghadapi pengkhianatan oleh teman-teman seperahu penangkap ikan paus.
Hal yang paling menarik dari novel tersebut adalah narator menempatkan tokoh Saya sebagai lamafa dalam 4 situasi besar. Pertama, situasi formasi ke-lamafa-an melalui bermain. Kedua, situasi formasi etis. Ketiga, situasi sebagai lamafa dan menghadapi konflik. Keempat, situasi rekonsiliasi. Empat situasi tersebut menunjukkan ketersituasian tokoh Saya dalam kerangka waktu. Seperti manusia pada umumnya yang tersituasikan oleh waktu dan manusia mensituasikan diri dalam waktu, demikian pula tokoh Saya. Ia tersituasikan dan menyituasikan dirinya dalam waktu.
Ketersituasian dan menyituasikan diri dalam waktu merupakan salah satu aspek dari ontologi (hakekat dan cara berada) diri tokoh Saya sebagai manusia dan sebagai lamafa. Bagan sederhana berikut ini merupakan visualisasi ketersituasian dan penyituasikan diri tokoh Saya.
Situasi Pertama: Formasi Ke-lamafa-an melalui Bermain
Dalam situasi pertama, tokoh Saya masih kanak-kanak. Aktivitas yang dilakukan adalah bermain. Narator menggambarkan tokoh Saya kecil bukan sebagai “manusia bermain” melainkan “manusia yang bermain”. Bermain yang diperagakan oleh “manusia bermain” merupakan aktivitas fisiologis dan psikologis, yang berlangsung secara mekanistik. Bermain yang ditunjukkan oleh “manusia bermain” merupakan fenomena yang darinya tersingkap gairah/hasrat yang bersifat biologis berpadu dengan dorongan psikologis. Bermain merupakan aktivitas tanpa intensi tertentu. Dengan demikian, bermain yang ditunjukkan oleh “manusia bermain” bukanlah sebuah aktivitas kultural.
Meski demikian, narator tidak membiarkan “manusia bermain” sebagai sesuatu yang tak bermakna. Sebaliknya, narator memformulasikan “manusia bermain” menjadi “manusia yang bermain.” Tokoh Saya kecil adalah “manusia yang bermain”. Saya kecil bermain dalam sebuah skema formasi sebagai lamafa. Skema formasi itu dilakukan oleh ayah (saat masih hidup), Tengah, dan kakak, dan mamanya. Ayah, Tengah, dan kakak adalah formator dalam hal penanaman nilai keutamaan dan ketrampilan lamafa. Keberadaan lamafa sebagai diri sakral sudah ditanamkan ke dalam tokoh Saya dalam situasi ini. Demikian pula tokoh Saya sudah berlatih menombak paus sebagai keterampilan utama lamafa dalam situasi ini, meskipun keberlangsungan formasi (penanaman nilai keutamaan lamafa dan latihan menombak) dengan pola bermain.
Tokoh Saya kecil sebagai “manusia yang bermain” sejajar dengan pemikiran J. Huizinga tentang manusia sebagai homo ludens. “Manusia yang bermain” adalah homo ludens. Dalam “manusia yang bermain” atau homo ludens, permainan merupakan fenomena yang berada dalam konteks kultural tertentu, yang darinya tersingkap watak kultural manusia. Bermain sebagai bentuk kegiatan khusus, sebagai suatu “bentuk penting” yang mengandung fungsi sosial tertentu. Bermain merupakan konstruksi sosial.[10] Dengan demikian, permainan menombak ikan paus yang diperagakan oleh tokoh Saya kecil saat bermain merupakan suatu aktivitas kultural dan sebagai momen formasi ke-lamafa-an dalam dirinya.
Situasi Kedua: Formasi Etis
Dalam situasi kedua, tokoh Saya kecil, masih terus berada dalam skema formasi. Selain formasi ke-lamafa-an tetap berlangsung, formasi etis pun berlangsung. Dalam formasi etis inilah peran mama janda Moni sangat penting. Bahkan mama janda Moni adalah tokoh sentral dalam formasi etis. Oleh mama janda Monilah, tokoh Saya kecil dididik dalam hal kepedulian dan tanggungjawab terhadap orang lain, khususnya terhadap orang yang harus ditolong. Dalam sistem sosial masyarakat nelayan Lamalera, orang-orang yang wajib ditolong adalah para janda dan orang-orang miskin.
Dalam perspektif Emmanuel Levinas, para janda dan orang-orang miskin dengan seluruh diri dan kehidupannya adalah “wajah” yang “menyandera”lamafa secara etis agar terus-menerus bertanggung jawab terhadap hidup mereka.[11] “Penyanderaan” itu merupakan tuntutan etis dan lamafa tak dapat mengelak darinya. Lamafa mewujudkan tanggung jawab etis melalui pemurnian motivasi menjadi lamafa: menjadi lamafa untuk menolong sesama dan memprioritaskan para janda dan orang-orang miskin dalam pembagian daging paus.
Aspek lain dari formasi etis yang diintrusikan ke dalam diri tokoh Saya dalam situasi kedua adalah sikap mengampuni dan memahami orang lain. Sikap ini, kelak diwujudkan oleh tokoh Saya saat berkonflik dengan sang adik, yakni Yohanes yang menantang kedirian tokoh Saya sebagai lamafa. Sikap mengampuni dan memahami tersebut terwujud secara terang-benderang manakala tokoh Saya menghadapi sang adik yang menderita sakit karena sudah menantang dan mau mengubah tradisi penangkapan paus.
Kedudukan tokoh Yohanes cukup menarik dalam novel ini. Narator mendudukan Yohanes sebagai penantang tokoh Saya. Dengan kedudukannya yang demikian, hubungan tokoh Saya dengan Yohanes berlangsung secara konfliktual. Tetapi dengan kedudukannya yang demikian, Yohanes justru memainkan sebuah peran yang penting dalam formasi etis. Dimensi etis dalam diri tokoh Saya diuji melalui tokoh Yohanes. Tidak tanggung-tanggung, ujian itu datang dari adik kandungnya.
Keberadaan tokoh Yohanes – dengan seluruh sepak terjangnya – dalam novel ini akan lebih mudah dipahami bila kita menggunakan kerangka berpikir (logika) dialektika Hegelian: tesis-antitesis-sintesis. Tokoh Saya adalah tesis. Tokoh Yohanes sebagai antitesis. Pada bagian akhir novel, narator menempatkan rekonsiliasi sebagai sintesis. Sintesis itu berlangsung dalam Misa Lefa. Itu berarti Misa Lefa adalahjantung rekonsiliasi. Sebagai jantung rekonsiliasi, Misa Lefa adalah momen dan tindakan rekonsiliasi. Dengan demikian, tampak sisi lain sakralitas diri lamafa, yakni mengampuni atau memaafkan. Tindakan mengampuni bukan terletak pada kapasitas manusia sebagai makhluk sosial yang dapat saling mengampuni, melainkan bertumpu pada dan bersumber dari Misa Lefa.
Formasi etis tersebut diperkuat lagi dengan formasi sosiologis melalui pembelajaran dan pergaulan akademik, perjumpaan dengan banyak pihak semasa tokoh Saya kuliah, dan aktivitas menjual koran untuk membiayai kuliah. Semua itu merupakan formasi sosiologis, yang menguatkan tokoh Saya untuk memutuskan menjadi lamafa setelah lulus kuliah.
Situasi Ketiga: Sebagai Lamafa dan Menghadapi Konflik
Dalam situasi ketiga, tokoh Saya menjalani pilihan/panggilan hidupnya sebagai lamafa. Inilah situasi yang menjadi batu uji atas pilihan yang sudah ditetapkan tokoh Saya. Situasi ini juga menjadi acuan untuk memastikan keberhasilan proses formasi atas diri tokoh Saya pada situasi-situasi sebelumnya.
Ujian yang paling nyata termaktub dalam struktur dan situasi konfliktual antara tokoh Saya dengan Yohanes, dan teman-teman seperahu penangkap paus. Konflik antara tokoh Saya dengan Yohanes yang adalah adik kandungnya, terkait erat dengan karakter penantang dalam diri Yohanes. Karakter itu terbentuk sejak ayah mereka meninggal dunia. Yohanes masih bayi ketika ayah mereka meninggal dunia.
Setelah ayah mereka meninggal dunia, Yohanes dibesarkan oleh nenek. Sebagai cucu yang paling kecil dan sudah ditinggal mati oleh ayah, Yohanes sangat disayang oleh nenek dan ia memperoleh segala hal secara gampang. Ia dimanja oleh nenek. Yohanes dididik dengan cara dimanjakan oleh nenek. Pemanjaan itu membuat Yohanes tumbuh sebagai sosok yang harus selalu dituruti oleh siapapun. Oleh karena itu, ia tampil sebagai sosok yang keras kepala dan keinginannya harus terpenuhi. Jika tidak terpenuhi, ia akan mengamuk dan marah.
Karakter Yohanes yang demikian berpengaruh terhadap pola relasi antara dirinya dengan tokoh Saya. Relasi mereka berlangsung secara konfliktual. Bahkan sejak kecil pola relasi seperti itu. Di sini tampak jelas bahwa narator membangun struktur konflik dalam novel ini. Struktur konflik itu tampak dalam relasi konfliktual antara tokoh Saya sebagai kakak dengan Yohanes sebagai adik. Relasi konfliktual juga terjadi antara tokoh Saya dengan rekan-rekan satu perahu penangkap ikan paus.
Puncak konflik dengan Yohanes ketika pemerintah mendesakkan program mengonservasi paus. Untuk itu, Yohanes dipakai sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Mengonservasi paus yang diprogramkan oleh pemerintah dan difasilitasi oleh Yohanes merupakan tantangan yang paling pelik. Mengapa? Tantangan itu tertuju secara jitu pada kesakralan diri tokoh Saya sebagai lamafa.
Untuk memastikan pelaksanaan program pemerintah itu, Yohanes sudah menjadi sarjana hukum tampil sebagai juru kampanye pihak pemerintah. Ia dengan lantang menyerukan agar para nelayan dan lamafa wajib menggunakan alat tangkap modern agar dapat menangkap jenis ikan lain yang polulasinya masih banyak. Sebaliknya, lamafa dan para nelayan tidak boleh lagi menangkap paus dan ikan-ikan lain karena populasinya semakin berkurang.
Bagi tokoh Saya dan sebagian besar warga nelayan Lamalera, konservasi paus adalah sejenis teror terhadap tradisi dan keberadaan mereka. Bila konservasi dilaksanakan, maka hal itu adalah “pembunuhan” terhadap eksistensi lamafa dan warga nelayan Lamalera sebagai penangkap paus secara tradisional. Apalagi, penangkapan paus merupakan budaya, yang di dalamnya mengandung semesta kehidupan dan keberadaan orang-orang Lamalera yang memilki, memelihara dan terus mempraktikkan tradisi lefa.
Konflik juga terjadi antara tokoh Saya dengan rekan-rekan satu perahu penangkap paus. Diam-diam, rekan-rekannya menerima uang dari Yohanes karena mereka telah mendukung program pemerintah. Bagi tokoh Saya, sikap rekan-rekannya itu merupakan pengkhianatan terhadap dirinya sebagai lamafa dan pengkhinatan terhadap tradisi lefa.
Konflik antara tokoh Saya dengan Yohanes, mengakibatkan Johanes sakit. Derita Johanes terkait dengan tindakannya melawan tradisi leluhur, yang tunjukkan melalui dukungan terhadap program pemerintah. Yohanes yang menderita sakit, justru mengundang empati dari tokoh Saya dan mendorongnya bersikap etis terhadap adik kandungnya tersebut. Sikap etis dalam situasi ini merupakan buah dari formasi etis yang telah dijalani tokoh Saya pada masa formasi etis. Sikap etis terwujud dalam Misa Lefa di tepi pantai Lamalera.
Situasi Keempat: Misa Lefa sebagai Momen dan Tindakan Rekonsiliasi
Situasi keempat merupakan situasi puncak dari seluruh situasi yang dinarasikan narator dalam novel ini. Inilah situasi rekonsiliasi. Penanda situasi rekonsiliasi adalah Misa lefa, yakni ritus Ekaristi yang diselenggarakan di tepi pantai Lamalera. Misa merupakan perayaan kudus utama dalam tradisi Gereja Katolik untuk mengenangkan (memoria) sesangsara, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus dan ucapan syukur atas berkat Allah. Misa dipimpin oleh seorang imam (pastor/pater/romo).
Misa Lefa merupakan momen bagi orang-orang Lamalera untuk mengenangkan sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus, sekaligus sebagai penanda musim lefa (musim menangkap ikan paus) dimulai. Misa Lefa diselenggarakan pada awal bulan Mei. Biasanya musim lefa berlangsung dari bulan Mei sampai bulan September setiap tahun.
Dalam novel ini, Misa Lefa menjadi momen tindakan rekonsoliasi antara tokoh Saya, Yohanes, dan teman-reman seperahu penangkap ikan paus. Seluruh konflik yang terjadi sebelumnya luruh dalam misa lefa. Narasi tentang misa lefa pada akhir novel ini, menyingkapkan suatu nilai etis, yakni bahwa konflik akan menjadi berkat apabila konflik berakhir pada rekonsoliasi. Konflik yang reda tanpa rekonsiliasi antar para pihak yang berkonflik hanyalah penundaan atas konflik lebih lanjut. Sebaliknya, konflik yang berakhir dengan rekonsiliasi adalah suatu momen – yang dalam teologi disebut kairos – yakni saat penuh rahmat Allah.
Saat Misa Lefa, segala konflik luruh dan itulah momen kairos, momen Allah yang penuh belas kasih meluruhkan segala amarah dan dengki dalam hati manusia, dan mendorong manusia untuk saling mengampuni. Rekonsiliasi yang berlangsung dalam Misa Lefa, “menandai akhir dari ketegangan dan konflik dan permulaan suatu proses baru. Rekonsiliasi adalah humanisasi dan peradaban penyelesaian konflik. … Rekonsiliasi adalah jalan menuju kebaikan dan kebenaran baru, yang lebih tinggi dan bermutu.”[12]
Rekonsiliasi itu memukau pembaca melalui tuturan tokoh Saya pada akhir novel ini:
Semuanya selesai siang ini. Sore ini kita bertiga ikut misa Lefa. Saya mau seperti dulu. Kau, ema, saya dan kaka Teus menyalakan lilin-lilin kecil di pinggir pantai sambil terus menyebut nama bapa dalam doa-doa untuk laut kita. Lainnya kita buatkan tempat lilin dari tripleks, menyelipkan beberapa tangkai bunga lalu lilin kita nyalakan dan kita arungkan di lautan sambil menyebut nama bapa. Berharap bapa mengambil nyala lilin di seberang lautan lain. Ketika itulah dia tahu kita sangat merindukannya.
Novel Lamafa merupakan sebuah prosa yang mampu mengangkat masalah tradisi ola nuá warga kampung nelayan Lamalera. Sejak tahun 2007, tradisi ini dirong-rong oleh berbagai pihak, yakni lembaga swadaya masyarakat internasional dan pemerintah (pusat dan daerah). Pihak-pihak ini begitu bernapsu untuk menghilangkan tradisi itu. Para pihak itu berdalih bahwa paus adalah satwa yang populasinya semakin sedikit. Oleh karena itu, harus dihentikan penangkapannya.
Sudah barang tentu, para pihak itu lupa dan tidak sadar (paham) bahwa tradisi ola nuá bukan perburuan paus seperti yang berlangsung di beberapa negara yang sangat rakus memburu paus. Tradisi itu adalah aktivitas budaya menjemput kiriman rejeki dari Tuhan demi menghormati kehidupan yang ditanamkan Tuhan dalam diri orang-orang Lamalera.
Penutup
Dalam tradisi ola nuá terkandung nilai etis, yakni tanggung jawab terhadap keberlangsungan populasi paus dan jenis ikan yang lain serta tanggung jawab terhadap kehidupan orang-orang Lamalera. Mereka tidak rakus menangkap paus dan ikan-ikan lain. Paus dan ikan-ikan lain yang ditangkap pun bukan untuk diperdagangkan sebagaimana layaknya bisnis perikanan, melainkan dibagikan kepada seluruh warga kampung dan selanjutnya ditukarkan dengan makanan. Dengan demikian mereka melanjutkan kehidupannya.
Adalah benar bila berpihak pada semesta kehidupan orang-orang Lamalera dan tradisi ola nuá. Menulis sastra, khususnya novel, merupakan salah satu wujud keberpihakan terhadap hal itu. Fince Bataona melakukannya melalui novel Lamafa.
Fince – demikian ia biasa dipanggil – lahir di Lamalera, Lembata, NTT 9 Maret 1970. Usai menyelesaikan pendidikan di SD Inpres Lamalera dan SMPK APPIS (Aksi Putera Puteri Ikan Sembur) Lamalera, ia melanjutkan pendidikan ke SMA Santu Gregorius di Reo Manggarai. Menuntaskan diploma tiga Pendidikan Kimia di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang.
Ia terjun di dunia kewartawanan sebagai jurnalis Harian Umum Pos Kupang. Karir jurnalistik dijalankan di berbagai tempat, yakni Kupang, Flores Timur, Lembata, Sikka dan Dili (Timor Leste). Sambil menjalani hidup sebagai ibu dari empat orang anaknya, Fince tetap menulis sebagai jurnalis untuk Majalah Kabar NTT dan mengelola sekaligus menulis untuk media online Aksiterkini.com, yang didirikan bersama suaminya Fredy Wahon. Fince memasuki dunia sastra dengan menulis novel Lamafa. Novel ini merupakan karya sastranya yang pertama yang dibukukan.
Medang Lestari, Tangerang,
akhir Mei 2017
[1] Alex Beding, SVD., (2008), Pater Bernhard Bode, SVD – Rasul Pulau Lembata, Yogyakarta, Penerbit Lamalera, hal. 65-70.
[2] Alex Beding, Op.Cit., hal. 69, 89-93.
[3] Anastasia Ika, “Mantra Syair Laut”, http://indo.wsj.com/posts/2014/10/27/mantra-syair-laut-lamalera-2/. Diakses pada 23 April 2017, pkl. 18.26.
[4] Ambrosius Oleona dan Pieter Tedu Bataona, (2001), Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus, Depok, Lembaga Gelekat Lefo Tanah, hal. 79.
[5] Anastasia Ika, Op.Cit.
[6] Pelédang atau téna laja memiliki struktur yang kompleks dan filsafat yang mendalam. Mengenai hal itu dapat dibaca dalam Ambrosius Oleona dan Pieter Tedu Bataona, Op.Cit., hal. 44-68. Dapat pula dibaca dalam artikel Charles Beraf, berjudul “Mengendus Cinta dari Tena-Laja Lamalera” dalam Maria D. Andriana, dkk., (2008), Merayakan Cinta, Yogyakarta, Penerbit Lamalera, hal. 67-73.
[7] Pius Kia Tapoona, “Warisan yang Nyaris Punah” dalam Ambrosius Oleona dan Pieter Tedu Bataona, Op.Cit., hal. xii.
[8] Anastasia Ika, Op.Cit.
[9] Alexander Aur, “Pergulatan tentang Budaya Lokal dalam Puisi-Sikap Budaya Penyair dalam Nusa Puisi” Epilog dalam Julia Daniel Kotan (Editor), (2016), Nusa Puisi-Antologi Penyair NTT, Bekasi, Penerbit Kandil Semesta, hal. 161.
[10] J. Huizinga, 1949, Homo Ludens – A Study of the Play-Element in Culture, Routledge & Kegan Paul, London, hal. 3-4.
[11] Para janda dan orang-orang miskin, dalam kehidupan sehari-hari sering kali dipandang dan diperlakukan oleh banyak orang sebagai “orang lain” atau “yang lain” dalam sistem sosial. Tetapi “orang lain” atau “yang lain” ini bernada buruk atau negatif. Oleh karena mereka adalah “orang lain” atau “yang lain” maka sering kali pula dianggap atau diperlakukan sebagai tidak ada dan ditolak oleh banyak orang. Anggapan dan penolakan terhadap “orang lain” atau “yang lain” seperti itu menunjukkan bahwa banyak orang lebih berkehendak terhadap “yang sama.” Menolak dan menganggap para janda dan orang-orang miskin tidak ada, menunjukkan bahwa pihak yang menolak mereka menghendaki keberadaan orang-orang yang sama atau selevel.
Cara memandang dan memperlakukan para janda dan orang-orang miskin seperti itu tidak ada dalam sistem sosial masyarakat nelayan Lamalera. Dalam sistem sosial masyarakat nelayan Lamalera, para janda dan orang-orang miskin mendapat kedudukan utama dan penting secara etis. Mereka dipandang dan diperlakukan sebagai pihak yang harus mendapat perhatian etis tanpa syarat apapun dari pihak yang memberi perhatian etis (lamafa dan para nelayan).
Pemandangan dan perlakuan etis itu bukan bertujuan untuk membuat mereka menjadi sama dengan pihak yang memberi perhatian etis. Tidak. Mengapa? Karena apabila membuat mereka menjadi sama berarti mengobjekkan mereka sesuai dengan kehendak lamafa dan para nelayan. Sebaliknya, memandang dan memperlakukan mereka secara etis berarti membiarkan mereka dengan seluruh keadaannya, membiarkan mereka tetap dengan “keberlainannya”. Keberadaan para janda dan orang-orang miskin adalah sungguh-sungguh lain dengan segala keberlainannya. Dengan keberadaanya yang demikian, mereka tetap dan selalu hadir menjadi penggugah dan penyandera lamafa dan para nelayan, agar terus-menerus memberi perhatian etis tanpa syarat apapun kepada mereka.
Hal tersebut bukan berarti menciptakan ketergantungan hidup para janda dan orang-orang miskin pada lamafa dan para nelayan, melainkan untuk memastikan bahwa momen-momen etis dan tindakan-tindakan etis tetap berlangsung dalam sistem sosial masyarakat nelayan Lamalera. Mengapa? Karena semesta kehidupan orang-orang Lamalera tidak semata-mata bersifat biologis dan ekonomis, melainkan pula etis. Bdk., David Tobing, 2017, Keadilan Etis & Keadilan Politis-Pandangan Levinas tentang Keadilan, Kedai Buku Sinau, hal. 119-127.
[12] Amatus Woi, “Konflik dan Rekonsiliasi – Suatu Tinjauan Teologis” dalam Guido Tisera (Ed.), 2002, Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian, Maumere, LPBAJ, hal. 100.