Selain kaya akan keragaman seni dan budaya, Indonesia juga dianugerahi kekayaan hasil alam yang sangat beragam, salah satunya adalah rempah-rempah. Sebagai negeri penghasil rempah-rempah terbesar di dunia, nama Indonesia tidak asing lagi dimata para pemburu komoditi yang termahsyur antara abad ke-16 hingga abad ke-17. Rempah menjadi komoditas penting dalam jalur perdagangan dunia dan memainkan peranan penting dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia.
Rempah memiliki daya jual yang tinggi menjadikan alasan utama bangsa asing untuk datang mencari jalan sendiri ke daerah produksi rempah-rempah demi mendapatkan harga yang murah. Selain digunakan untuk bahan pengawet makanan, pengharum ruangan, dan bahan untuk obat-obatan, rempah juga digunakan untuk ramuan penghangat tubuh bagi masyarakat Eropa.
Dari berbagai catatan para penjelajah dunia, Maluku merupakan sentra penghasil pala, lada, cengkeh, dan kayu manis yang pada masa itu merupakan jenis rempah-rempah yang paling dicari di dunia. Dalam perkembangannya kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia tidak hanya untuk kegiatan perdagangan, tetapi juga melakukan kolonisasi. Tujuan awalnya yang semula hanya mencari rempah-rempah melalui daerah asal agar dapat mendapatkan komoditi tersebut dengan harga yang murah, berubah menjadi keinginan untuk megeksploitasi kekayaan alam Indonesia demi kepentingan negarannya sendiri.
Sejarah mencatat beberapa bangunan peninggalan kolonialisme di Maluku beberapa diantaranya ialah Benteng Nieuw Victoria yang dibangun di pusat kota Ambon pada tahun 1575 M. Pada awalnya benteng ini diberi nama Nossa Sendora Da Anuciada oleh Portugis, namun setelah jatuh ke tangan Belanda melalui kongsi dagangnya VOC benteng ini berubah nama menjadi Nieuw Victoria. Didalam benteng, VOC membangun beberapa bangunan yang dimanfaatkan untuk kepentingan militer, diantaranya adalah barak, gudang senjata, gudang peluru, dan lainnya. Diantara bangunan-bangunan tersebut ada yang masih berdiri meski banyak diantaranya telah roboh. Bangunan yang masih ada hingga kini misalnya adalah pos prajurit penjaga dan gudang senjata. Pada bagian atas dinding gerbang terdapat gambar kapal bertuliskan Ita Relinquenda Ut Accepta yang merupakan tulisan pada koin Belanda yang beredar sekitar tahun 1792 M. Selain itu terdapat gambar singa dan lambang VOC yang diapit oleh tulisan anno.c yang berarti “sejak” dan MDCCLXXV yang merupakan angka tahun 1775 yang ditulis dalam huruf Romawi yang merupakan tahun benteng diperbaiki dan diperbesar dan juga sekaligus pergantian nama menjadi Benteng Nieuw Victoria.[1]
Selain itu juga terdapat Benteng Amsterdam yang dibangun oleh VOC sejak abad ke-17 di pesisir utara Pulau Ambon. Benteng ini dibuat berhubungan dengan kebijakan monopoli cengkeh di Nusantara. Benteng lainnya yang terdapat di Provinsi Maluku ialah Benteng Belgica dan Benteng Nassau yang berfungsi untuk melindungi kepulauan penghasil pala dari kekuatan asing yang berpotensi mengganggu monopoli.[2] Selain itu juga terdapat Benteng Duurstede yang menjadi saksi akan perlawanan Kapitan Pattimura dan rakyat Saparua terhadap VOC.
Pembangunan benteng merupakan usaha awal bangsa Eropa untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Pada awalnya, benteng-benteng yang dibangun difungsikan sebagai pos perdagangan untuk menyimpan berbagai komoditi, pusat pertahanan, sekaligus pula dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman dan pemerintahan.[3] Keberdaan benteng-benteng peninggalan penjajahan bangsa Eropa menjadikan sepenggal cerita bahwa Maluku pernah menjadi pusat kejayaan rempah-rempah di Nusantara. (Wanti Hidayah)
kebudayaan.kemdikbud.go.id