Ajip Rosidi, lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Ia tidak menyelesaikan pendidikannya hingga di Taman Madya (setingkat SMA) di Taman Siswa Jakarta. Dalam jagad sastra Indonesia namanya mulai dikenal sejak 1952. Ia menulis puisi, cerita pendek dan roman. Tak hanya dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis dalam bahasa Sunda. Ketika berumur 17 tahun, 1955, ia menerbitkan bukunya yang pertama dengan judul Tahun-tahun Kematian.
Ajip Rosidi tidak saja terkenal piawi menulis sajak, cerpen, roman, tetapi ia juga penulis obituari yang mumpuni. Dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain, Sejumlah Obituari, Kepustakaan Populer Gramedia, Ajip Rosdi, sastrawan yang menulis sejak berusia 12 tahun ini, menulis dengan sangat indah dan berbagi kenangan tentang orang-orang yang pernah ia kenal dari orang-orang sederhana hingga orang-orang terkemuka. Dalam buku itu Ajip merefleksikan hidup dan sisi unik para sahabatnya seperti Pram, Rendra, Asrul Sani, Sobron Aidit, Ramadhan K.H., Utoy T. Sontani, Ali Sadikin, Moh. Gozali (seorang penjaga museum). Sikap kerendahan hati dan keakraban Ajip memampukannya menulis sisi humanis para sahabat yang ditulisnya.
Dengan gaya bahasanya yang memikat Ajip menggambarkan para tokoh yang ditulisnya menjadi tokoh yang istimewa. Tentang Pram misalnya, ia menulis:
“Pram adalah individualis yang keras mempertahankan hak-haknya dalam setiap kesempatan. Untuk itu dia tidak mengenal basa-basi. Pada tahun 1976 ketika para tahanan politik Pulau Buru akan dibebaskan karena tekanan dunia internasioanal, nama Pram termasuk yang pertama akan dibebaskan, karena dialah yang paling dikenal di dunia internasional. Sebelum pembebasan dilakasanakan, Panglima Kodam Maluku berkunjung dari Ambon ke Pulau Buru dan diantaranya mengambil kesempatan untuk beramah-tamah dengan para tapol, antaranya dengan Pram. Ketika Panglima bertanya kepada Pram , “Bagaimana Pak Pram, selama di sini baik-baik saja, kan?”
Pram tidak menjawab pertanyaan basa-basi itu dengan basa-basi lagi, melainkan dengan tegas menunjukkan kenyataan bahwa sebagai tahanan politik dia bersama-sama dengan orang lain dirampas hak-hak sipilnya dan bahwa selama itu mereka tidak diperlakukan tidak sebagai warga negara merdeka. Tentu saja jawaban itu di luar dugaan Panglima, sehingga Panglima marah dan memerintahkan agar Pram jangan dulu dibebaskan. Karena itulah Pram baru dibebaskan dua setengah tahun kemudian.” ( “Pramoedya Ananta Toer Individualis Tulen”).
Pada tulisan yang lain “R. Satjadibrata, Penyusun Kamus Sunda Pertama” Ajip mengisahkan:
“Ketika S. Takdir Alisjahbana sedang berceramah dalam Pekan Buku Balai Pustaka di gedung Balai Pustaka Jl. Wahidin Jakarta, tanggal 26 Agustus 1969, seorang tua yang usianya sudah lanjut benar dengan langkah-langkah goyah dan tangan gemetar, maju ke depan memotong pembicaraan penceramah, meminta waktu untuk menyampaikan isi hatinya. S. Takdir Alisjahbana yang mengenal orang tua tersebut, memberikan kelapangan waktu. Dia turun dari mimbar dan orang tua yang sudah lanjut itu berdiri menggigil di depan mimbar kemudian ditolong naik mimbar. Ia meminta maaf karena telah memotong pembicaraan penceramah, tetapi tak bisa berbuat lain karena ia merasa takkan sanggup mengikuti ceramah itu sampai habis lantaran uzur.
Kemudian ia mengungkapkan isi hatinya, yaitu pentingnya Balai Pustaka menerbitkan buku-buku bacaan. Kalau tidak dapat menjalankan fungsinya itu, dia menyarankan agar Balai Pustaka lebih baik ditutup saja. Dia juga menyinggung nasib cetak ulang Kamus Bahasa Sunda yang disusunnya dan sudah direvisi oleh Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat namun keburu meninggal sebelum pekerjaan itu selesai namun demikian kamus revisi itu tidak juga dicetak ulang. Orang tua tersebut tidak lain R. Satjadibrata, pengarang kenamaan dalam bahasa Sunda, pernah lama menjadi redaktur Balai Pustaka.”
Ajip, penulis Mengenang Hidup Orang Lain, Sejumlah Obituari, itu kini telah berpulang. Ia telah bersua dengan para sahabatnya yang pernah ia tulisi obituari mereka.
Paskalis Bataona