NUSA Tenggara Timur mengenal dua sosok orang baik. Satu Prof Dr Cornelis Lay MA (61) dan lainnya, Pastor Nikolaus Duli Lolon Pr. Baik amatana Cony maupun ama tuan Niko sama-sama mengabdi di jalur pendidikan. Bedanya, satu awam, lainnya imam (pastor) dalam Gereja Katolik. Mengabdi di tempat berlainan berjarak ribuan kilometer, saya yakin dua sosok warga NTT di rantau ini bisa saja tak saling kenal. Cony dari Kupang. Sedang tuan Niko dari Mulankera, sebuah kampung kecil di bibir pantai selatan Pulau Lembata, menghadap ke Laut Sawu. Ama tuan Niko mengabdi di Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung (Babel), provinsi di tapal batas perairan Semenanjung Malaka menghadap negeri tetangga, Singapura. Mereka mungkin bersua dalam buku atau artikel-artikel di jurnal atau koran.
Bu Cony -kalau lidah saya manjakan dengan dialek Kupang- adalah Profesor pada Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Hiruk pikuk urusan politik nasional, bu Cony, salah seorang intelektual dan ahli politik adalah orang yang selalu (di)jadi(kan) rujukan. Selain tentu banyak ilmuwan dan ahli politik lainnya dari kompleks Bulaksumur atau kampus-kampus lainnya di Indonesia. Dari namanya, meski saya orang udik yang baru mengenal beliau dari membaca dan sedikit diskusi dengan saudara-saudari sesama orang kampung dari tanah Flobamora, saya bisa pastikan ia berdarah Sabu.
Beberapa kali saya inbox beliau via jejaring maya Facebook, amatana Cony baru respon. Senang, tentu. Demi pendidikan, amatana Cony rela pigi melarat (dalam dialek kampung saya), meninggalkan orangtua dan kerabatnya di Kupang. Ia menuju Yogyakarta. “Bu Cony baru saja meninggal tadi pagi di Rumah Sakit Panti Rapih. Saya kehilangan sahabat baik. Seorang intelektual, ahli di bidang pemikiran politik. Orangnya rendah hati dan suka berbagi ilmu,” kata Frans Maniagasi, intelektual Papua lulusan UGM kepada saya pagi ini. “Baru bu Cony ko kenal k tida? Pele….. Itu laki-laki sunggu mati. De pintar sampe…..,” kata Maniagasi. Maniagasi, analis politik asli Papua kagum pada Cony, memuji kehebatan dan kemampuan koleganya. Ia menyarankan agar kalau diskusi mendapat ilmu dan nasehat, saya bisa bertanya pada Cony, sesama orang kampung dari NTT. “Siyap dan hormat dibri, kaka tuan,” kata saya menimpali usulan Maniagasi gaya Papua.
Kabar Cony pukul 05.00 WIB membuat mata Maniagasi sembab. Air matanya gugur mengenal Cony, seniornya di jurusan Politik dan Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Anak Kupang dan Papua itu bersahabat sejak 30 tahun lalu tatkala Maniagasi diterima di Fisipol UGM tahun 1981. “Cuma saya satu-satunya mahasiswa dari Irian Jaya saat itu. Sehingga dia jadi abang saya di kampus. Ada teman-teman lain dari NTT yang seangkatan tapi Cony jadi jangkar buat kami-kami. Ada uang 200 ribu dia panggil dan tanya saya. ‘Sudah makan?’ Kalau saya bilang belum, dia kasih 15 atau 20 ribu saya beli makan. Sampai hal-hal seperti itu. Selain bicara dan diskusi tentang ilmu-ilmu sosial dan politik,” kata Maniagasi pada saya.
Tuan Acong
Sosok lain adalah Romo Diosesan (RD) Nikolaus Duli Lolon Pr. Di kampung sapaan sopan adalah tuan/bapa tuan Niko. Tuan Niko saat dipercaya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bentara Persada Batam, Keuskupan Pangkalpinang. Kemarin ia pamit ke rumah-Nya di Rumah Sakit St Carolus, Jalan Salemba Raya Jakarta Pusat. “Romo Niko Duli adalah imam diosesan Keuskupan Pangkalpinang. Ia sosok imam yang potensial bagi umat, terutama orang muda Katolik. Selama ini ia mempunyai kontribusi besar membangun metode pemberdayaan OMK di Keuskupan Pangkalpinang dengan membentuk lembaga out bond La Vita. Istilah kata bahasa Latin yang berarti hidup dan bertumbuh,” kata ama tuan Stefan Kelen Pr, Ketua Komsos Keuskupan Pangkalpinang.
Badan tuan Niko Duli tinggi. Ia ramah, cerdas dan mudah bergaul. Ia membangun La Vita dan membentuk tim pastoral kaum muda untuk menjadi trainner atau pelatulih di La Vita. Keuskupan Pangkalpinang tugaskan beliau masuk Jakarta untuk kuliah hukum di Universitas Atmajaya. Ia lulus dengan predikat summa cum laude. Ia langsung disuruh lagi studi S-2 bidang ator sumber daya manusia di kampus di bilangan Semanggi itu. Ia raih S-2 Magister Manajemen. Usai rampungkan S-1 dan S-2 tuan Niko balik Pangkalpinang. Uskup Hilarius Moa Nurak SVD (Alm) kasi anak nelayan ini jadi Ketua Yayasan Tunas Karya (YTK), Pangkapinang. Yayasan ini tangani 44 sekolah Katolik di Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Selama menjadi Ketua YTK ia bangun sistem dan manajemen SDM di lingkungan yayasan. “Beliau sangat akrab dengan para tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah-sekolah di lingkungan YTK. Ia sosok yang humoris, tidak menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang harus disembah. Tidak mengkomunikasikan kultur feodalistik dari gayanya memimpin. Ia selalu membuat kajian sebelum menetapkan suatu kebikakan umum berkaitan dengan YTK sebagai lembaga publik. Ada transparansi dan akuntabilitas yang ia tunjukkan,” kata tuan Stefan Kelen, pastor dari kampung di Flores Timur, ujung timur Pulau Flores.
Tuan Niko Duli juga peduli dengan masyarakat kecil tak berdaya. Selain turun ke tengah masyarakat, ia juga menulis gagasan-gagasan profetisnya di Bangka Pos, koran lokal. Ia adalah Imam Projo pertama Pangkalpinang yang ikuti seleksi jadi anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Bangka Belitung. Namun, ia tidak lolos seleksi, hanya berada di urutan ke 6. Pesentasi makalah di hadapan tim seleksi, ia sangat mampu kasi argumentasi. Ia sungguh menguasai materi. Di luar itu, tuan Niko adalah sosok humoris. “Kami menyapanya ‘Romo Acong’. Setiap ia berkesempatan memimpin Misa selama ia kuliah di Jakarta, Acong adalah nama rekaan pedagang yang diangkat dalam kotbah. Karena itu kami menyapa dengan nama nama ‘Romo Acong’. Romo Niko suka melucu dan mengundang tawa,” kata Petrus Bala Pattyona, praktisi hukum asal kampung Kluang, Desa Belabaja, Lembata.
Tuan Niko lahir di Mulankera, Desa Atakera, Lembata, 15 Agustus 1965. Ia lahir dari ayah-ibu Matias Laba-Juliana Barek Koban. Dibaptis di Mulankera pada 26 Agustus 1967 dan ditahbiskan jadi imam di Lekebai, Flores pada 19 September 1999. Alm menyelesaikan SD di SD Katolik Bersubsidi Labala, Wulandoni tahun 1975 -1980. Ia kemudian masuk SMP St. Pius X di Lewoleba tahun 1980-1983. Ia kemudian masuk SMA Kawula Karya Lewoleba, Lembata tahun 1983-1986. Masuk Tahun Orientasi Rohani di Seminari Tinggi St. Petrus, Sinaksak, Pematangsiantar dari Tahun 1986 s/d. 1994. Kemudian Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Regina Pacis, Tanjungpandan, Belitung Agustus 1995-1996. Ia lalu kuliah di STFT Widya Sasana, Malang September 1996-April 1999.
Ia pernah membantu Paroki Pangkalpinang mulai 1 November 1999-2022. Berturut-turut ia Delegatus Komisi Kepemudaan, 1 April 2002s-2006; Ketua Pengurus Asrama St. Theresia mulai 1 Juni 2002 – 30 Juli 2005; Pastor Pembantu Paroki Pangkalpinang mulai 1 Juni 1998-Oktober 1999. Lalu Anggota Dewan Imam Keuskupan Pangkalpinang & Perangkat Tribunal & Hakim Keuskupan Pangkalpinang mulai 1-Jun-2005-1-Jun-2008; Ketua Badan Penyelenggara Seminari Menengah Mario John Boen Keuskupan Pangkalpinang per 1 April 2011; Ketua Yayasan Tunas Karya Pangkalpinag 2011-2015; Anggota Tim Penyusun Buku Sinode II Keuskupan Pangkalpinang sejak 27 Agustus 2011. Terakhir ia menjabat Ketua Sekolah Tinggi Bentara Persada Batam sejak 2013.
Rabu pagi (5/8) pukul 08.30 WIB tuan Niko bertolak dari Jakarta ke Pangkalpinang. Tuan Niko meninggalkan RS St Carolus Jakarta. Ia segera berada Katedral St. Yosef Pangkalping. Pagi ini juga bu Cony segera ke rumah-Nya via RS Panti Rapih Yogyakarta. Guru Cony dan tuan Niko memenuhi panggilan Tuhan Sang Sabda. Selamat jalan, amatana Cony. Selamat jalan, ama tuan Niko. NTT tentu kehilangan dua guru rendah hati dari rahim Flobamora.
Jakarta, 5 Agustus 2020
Ansel Deri
Orang udik dari kampung;
Untuk amatana Cornelis Lay & ama tuan Niko Duli Lolon