Pengantar
Immanuel Kant adalah filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya yang analitis dan tajam menjadi acuan bagi segenap filosof terutama dalam bidang epistomologi, metafisika dan etika
Kant lahir pada 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Mulai tahun 1740 belajar filsafat, matematika, ilmu pengetahuan dan teologi. Tahun 1755 mendapat gelar doktor, lalu bekerja sebagai dosen di universitas Konigsberg. Pada bulan Maret 1770, Kant mendapat gelar profesor logika dan metafisika dengan disertasi “De mundi sendihilis atque intelligihilis forma et principiis” (Tentang Bentuk dan Asas-asas dari Dunia Inderawi dan Dunia Akal Budi). Sepanjang hidupnya Kant tidak pernah meninggalkan kota kelahirannya Konigsberg.
Karya Kant dapat dibagi dalam dua masa, masa prakritis dan masa kritis. Dalam masa prakritis, 1755-1770 Kant dipengaruhi oleh Rasionalisme ala Leibniz-Wolf. Namun, kemudian berkat filsafat Hume, Kant memulai suatu filsafat yang dinamainya ‘kritisisme’. Terbitnya buku Kritik der reinen Vernunft (Kritik atas Budi Murni), 1781, menandai masa kritisisme Kant.
Kant menulis bahwa empirisme filsuf Skotlandia, David Hume, membangunkannya dari ‘tidur dogmatiknya’. Filsafat yang bersifat dogmatis menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu penegetahuan begitu saja, tanpa mempertanggunjawabkannya secara kritis. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah dengan sendirinya. Sikap demikian, menurut Kant adalah sikap yang keliru. Mestinya, orang harus bertanya “Bagaimana pengenalan obyektif itu mungkin?” Oleh karena itu penting sekali menjawab pertanyaan mengenai syarat-syrat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Pengenalan
Dalam Critique of Pure Reason, Kant mempersoalkan: Apakah metafisika itu mungkin atau tidak untuk memperluas pengetahuan kita tentang kenyataan? Apakah metafisika sungguh bisa memberi pengetahuan yang pasti mengenai Allah, kebebasan dan keabadian? Pertanyaaan ini jelas merupakan sebuah kesangsian atas kebenaran atas metafisika yang pernah menjadi “ratu ilmu-ilmu”, sebab dalam kenyataan, metafisika, tidak seperti fisika, tidak memiliki metode yang terpercaya untuk memecahkan masalah-masalahnya. Klaim-klaimnya bisa bertentangan dari sistem ke sistem. Yang dipersoalkan Kant dalam metafisika adalah upaya untuk menghasilkan ‘pengetahuan a priori’ atau pengetahuan murni. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak diturunkan dari pengalaman, melainkan berasal dari struktur-struktur pengetahuan subyek sendiri, kosong dari pengalaman empiris. Kant memberi contoh, dalam kehidupan sehari-hari kalimat ‘semua peristiwa ada sebabnya’ adalah pengetahuan a priori. Kita tidak perlu membuktikan secara inderawi apakah semua peristiwa disebabkan sesuatu dan asas ini bisa dipakai universal untuk segala peristiwa yang belum terjadi. Soalnya bagi Kant adalah: Bagaimana pengetahuan a priori itu mungkin?

Untuk menjawab itu, Kant mulai dengan menyelidiki putusan. Suatu putusan menggabungkan dua pengertian, yang masing-masing berperan sebagai subyek dan predikat. “Rumah itu mahal”, “Lingkaran itu bulat”. Dalam putusan pertama (rumah itu mahal) predikatnya (mahal) menambahkan sesuatu kepada subyeknya (rumah). Sebab tidak semua rumah adalah mahal. Ada juga rumah yang murah. Karena predikat menambahkan sesuatu yang baru kepada subyek. Maka putusan itu oleh Kant disebut putusan sintetis. Penambahan ‘mahal’ itu diperoleh setelah ada pengalaman dengan rumah-rumah yang lain. Oleh karena itu putusan ini pun disebut a posteriori. Sebaliknya putusan kedua (lingkaran adalah bulat): di sini predikat ‘bulat’ tidak menambahkan sesuatu yang baru kepada subyeknya (lingkaran). Sebab semua lingkaran adalah bulat. Oleh karena putusan macam ini diperoleh sebelum ada pengalaman dengan lingkaran-linkaran inderawi, cuma berdasarkan analisa terhadap subyeknya, maka, putusan ini oleh Kant disebut: putusan analitis, dan diperoleh secara a priori. Akan tetapi menurut Kant, di samping putusan sintesis a posteriori dan putusan analitis a priori tadi masih ada putusan jenis lain yaitu putusan sintetis a priori. Putusan ini sekalipun bersifat a priori (jadi analitis), namun sintesis juga. Misalnya: “Segala kejadian ada sebabnya”. Putusan ini bersifat sintesis, karena predikatnya menambahkan sesuatu yang baru pada subyeknya. Tetapi anehnya putusan ini tidak diperoleh berdasarkan pengalaman melainkan secara a priori, walaupun bukan dengan jalan menganalisa subyek (dalam pengertian “kejadian” tidaklah tersirat pengertian “sebab”).
Ilmu pasti sebenarnya disusun atas dasar putusan a priori yang bersiafat sintesis ini. Ilmu pengetahuan mengandaikan adanya putusan-putusan yang memberi pengertian baru (sintesis) dan yang pasti mutlak serta bersifat umum (a priori). Maka ilmu pengetahuan menuntut adanya putusan-putusan a priori yang bersifat sintesis. Oleh karean itu, suatu metafisika yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, harus juga bekerja dengan mempergunakan putusan-putusan yang a priori, namun yang bersifat sintesis.
Tingkatan-tingkatan Daya Pengenalan
Dalam ajarannya menegenai daya pengenalan Kant mengatakan bahwa daya pengenalan adalah bertingkat, dari tingkat yang paling rendah, yaitu pengamatan inderawi, menuju ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu akal (Verstand), untuk akhirnya sampai kepada rasio (Vernunft).
- Pengetahuan pada Taraf Inderawi
Kant menerima pandangan para filsuf empiris Inggris bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengalaman inderawi, tetapi menurut Kant, tidak seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman. Bagaimana kita berhubungan dengan obyek di luar diri kita? Menurut Kant lewat intuisi langsung. Namun Kant menambahkan bahwa intuisi kita mengandaikan bahwa kita dipengaruhi oleh obyek dengan cara tertentu. Kemampuan subyek untuk menerima representasi obyek disebutnya sensibilitas atau kemampuan menginderai. Jadi, intuisi manusia adalah intuisi inderawi. Efek sebuah obyek pada kemampuan representasi atau pikiran sejauh dipengaruhinya disebut penginderaan. Obyek penginderaan disebutnya penampakan.
Kant menolak anggapan empirisme bahwa penginderaan bersifat murni a posteriori. Menurutnya ada dua unsur dalam penampakan obyek, yaitu unsur materi (material) dan bentuk (forma). Unsur materi adalah sesuatu yang berhubungan dengan isi penginderaan itu, sedangkan forma adalah sesuatu yang memungkinkan berbagai penampakan itu tersusun dalam hubungan-hubungan tertentu. Jadi, forma merupakan unsur a priori dari penginderaan sedangkan materi merupakan unsur a posteriori. Kant mengatakan ada dua forma murni penginderaan, yakni: ruang dan waktu.
Menurut Kant ‘penampakan obyek’ bukanlah ‘obyek’. Obyek di luar kita itu, tidak kita ketahui. Dengan istilah Kant das Ding an sich (benda pada dirinya) tidak kita ketahui. Yang kita tangkap sebagai penampakan itu sudah menjadi sintesis antara efek obyek pada subyek dan unsur a priori yakni forma ruang dan waktu yang sudah ada pada subyek. Kant juga membedakan antara ‘penginderaan eksternal’ yakni persepsi terhadap obyek dari luar diri kita dan ‘penginderaan internal’, yakni persepsi atas keadaan-keadaan eksternal kita. Forma ruang adalah bentuk penampakan dari penginderaan internal, sedang forma waktu adalah penginderaan internal itu. Dengan mengatakan ruang dan waktu bersifat a priori, Kant tidak memaksudkannya bahwa keduanya tidak real. Menurut Kant, memang das Ding an sich tidak kita ketahui, tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori dan a posteriori. Jadi, kenyataan yang tampak itu tidak hanya kelihatannya berada dalam ruang dan waktu, melainkan sungguh berada dalam ruang dan waktu. Keduanya menjadi syarat kemungkinan penampakan obyek empiris. Kant mengatakan bahwa ruang dan waktu itu secara empiris real, tetapi secara transedental ideal. Secara empiris real, karena ruang dan waktu bukan ilusi, melainkan sesuatu yang nyata secara inderawi. Secara transedental ideal, karena ruang dan waktu hanya bisa diterapkan pada penampakan, tidak pada das Ding an sich, jadi lebih ditentukan oleh struktur subyek.
2.Pengetahuan pada Taraf Akal Budi (Verstand)
Bersamaan dengan pengenalan inderawi itu bekerjalah akal (Verstand) secara spontan. Kerja akal mengatur data-data inderawi, yaitu dengan mengemukakan putusan-putusan. Segala hasil pengamatan indera diolah oleh akal hingga menjadi satu sintese yang teratur menjadi putusan-putusan. Umpamnya: saya melihat sebuah rumah. Sebenarnya saya melihat kesan-kesan atau cerapan-cerapan inderawi yang bermacam-macam. Saya melihat genting-genting atapnya yang banyak itu, juga jendela-jendelanya, pintu-pintunya, batu-batu temboknya dan lain-lainya lagi. Semua kesan atau cerapan itu pada dirinya sendiri tidak harus pasti menampakkan suatu hal yang secara tertentu teratur. Sebab rumah itu dapat diihat dari segala sudut, dari kiri, dari kanan, dari depan, dari belakang. Cerapan-cerapan itu belum mewujudkan sintesis. Lalu bekerjalah akal dengan daya khayal atau fantasinya untuk menyusun cerapan-cerapan itu hingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh bentuk ruang dan waktu. Dengan demikian saya mendapat gambar rumah yang saya amati. Gambar inilah yang disebut fenomenon atau penampakan. Gambar ini belum saya kenal, sebelum saya pikirkan. Berpikir, demikian Kant adalah menyusun putusan. Suatu putusan terdiri dari subyek dan predikat serta penghubung. Saya dapat memutuskan: “Rumah itu Indah”. Jikalau demikian putusan ini baru berkisar di bidang empiri, sebab baik rumah maupun indah adalah pengertian empiris.
Yang diutamakan Kant memang pengertian-pengertian transedental, yang menurut dia tidak timbul dari pengamatan, tapi telah ada pada kita, sekalipun pengertian-pengertian itu baru diaktualkan pada kesempatan pengamatan inderawi. Kesan-kesan atau cerapan-cerapan yang telah disusun menjadi gambar tadi dipikirkan menurut salah satu pengertian a priori tertentu, atau menurut macam-macam pengertian a prori. Dalam soal rumah tadi, putusan saya dapat berbunyi: “Rumah adalah substansi”. Pengertian substansi ini bukan pengertian empiris, pengertian ini tidak diperoleh a posteriori, melainkan a priori. Pengertian yang demikian itu oleh Kant disebut kategori.
Menurut Kant, kategori-kategori yang secara khusus bersifat asasi adalah kategori-kategori yang menunjukan kuantitas, kualitas, hubungan, dan mentalitas. Masing-masing mengandung di dalamnya tiga bentuk kategori, yait: kuantitas mengandung di dalamnya kategori-kategori kesatuan, kejamakan, dana keutuhan; kualitas mengandung di dalamnya kategori-kategori realitas, negasi dan pembatasan; hubungan mengandung di dalamnya kategori-kategori substansi, kausalitas, dan keadaan timbal balik; modalitas mengandung di dalamnya kategori-kategori kemungkinan, peneguhan, dan keperluan.
Sesuai dengan revolusi Kopernikannya, Kant memandang bahwa agar obyek diketahui, obyek itu harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori itu dan bukan sebaliknya. Dalam hal ini kategor-kategori itu dapat diumpamakan seperti kacamata merah yang membuat kita memandang benda-benda berwarna merah. Benda-benda itu tentu tidak berwarna merah, tetapi kita tidak melihatnya kecuali dalam warnah merah karena kacamata itu melekat dalam diri kita. Tanpanya benda tidak tampak; dengannya, benda tampak tapi dalam warna merah. Apakah lalu berarti bahwa benda merah itu adalah fiksi kita saja? Kalau kita ikuti penjelasan Kant, kita akan menemukan bahwa jawabannya adalah tidak. Menurut Kant, obyek itu tampak hanya dengan kategori subyek, jadi tak ada cara lain kecuali mengetahuinya dengan struktur kategori akal budi itu, dan yang kita ketahui itu hanyalah penampakan (fenomena) dari das Ding an sic, bukan dirinya sendiri (noumena).
3. Pengetahuan pada Taraf Rasio (Vernunft)
Dalam “Dialektika Transedental”, Kant membedakan rasio (Vernunft) dari akal budi (Verstand). Istilah Vernunft ini mengacu pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari akal budi. Rasio ini menghasilkan ide-ide transendental yang tidak bisa memperluas pengetahuan kita tetapi memilih fungsi mengatur putusan-putusan kita ke dalam sebuah argumentasi. Sementara akal budi langsung berkaitan dengan penampakan, rasio berkaitan secara tidak langsung, yakni dengan mediasi akal budi. Dibedakan juga adanya pengertian-pengertian yang berasal dari rasio, yang disebut idea, dan pengertian-pengertian dari akal. Pengertian-pengertian dari rasio adalah pengertian yang mengatasi pengalaman, pengertian-pengertian mengenai realitas yang mengatasi pengalaman (umpamanya: pengertian atau idea tentang Allah). Pengertian-pengertian rasio tidak memiliki nilai konstitutif bagi daya pengenalan manusia, artinya: tidak ikut menyusun pengenalan manusia, yaitu pengetahuan sebagaimana dihasilkan di bidang ilmu pengetahuan. Pengertian-pengertian rasio memiliki daya mengatur, artinya idea-idea tidak memperbanyak pengetahuan kita dan tidak menambah kebenaran baru. Oleh karena itu idea-idea adalah jauh daripada kenyataan yang obyektif. Jadi keadannya berbeda dengan kategori-kategori yang ada sangkutpautnya dengan kenyataan yang obyektif. Idea-idea sebagai pengertian-pengertian yang dimiliki rasio, sekaligus mewujudkan ‘persangkaan rasio’ sehingga apa yang dikemukakan idea adalah suatu hal yang semu secara transedental, artinya, bahwa idea-idea itu tidak memberikan gagasan tentang kenyataan-kenyataan yang ada (das Ding an sich), tidak berada sebagai benda. Idea-idea itu tiada isinya, oleh karenanya mewujudkan bangunan bagi ilmu yang semu atau khayali dari metafisika yang rasional. Idea berbeda sekali dengan kategori, sebab kategori dikaitkan dengan gagasan tentang hal-hal yang nyata.

Menurut Kant, ada tiga idea transedental. Idea pertama menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subyek (kesadaran atau cogito) dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan disebt idea jiwa. Idea kedua menjamin kesatuan akhir dalam hubungan-hubungan kausal dalam penampakan obyek dan disebut idea dunia. Idea ketiga menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan entah yang tampak atau tidak dan disebut idea Allah. Selanjutnya, menurut Kant, ketiga idea rasio murni ini mendasari tiga cabang tiga cabang pokok metafisika menurut klasifikasi Wolff. Jiwa atau cogito menjadi obyek penelitian psikologi (psycologia rationalis). Seluruh penampakan obyek menjadi penelitian kosmologi (cosmologia rationalis). Akhirnya, kenyataan akhir menjadi obyek penelitian teologi (theologia transcedentalis).
Ketiga idea ini mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketiga idea sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Idea-idea ini kosong, tiada isinya. Maksud Kant: idea-idea ini bukanlah idea tentang kenyataan-kenyataan yang ada, bukan tentang ‘benda dalam dirinya sendiri’. Jiwa, dunia dan Allah tidak boleh dipandang sebagai benda-benda, sebab ketiganya adalah aturan-aturan rasio kita yang memberikan kesatuan yang sebesar mungkin kepada pengertian-pengertian yang dihasilkan akal. Dengan adanya ketiga idea ini, Kant berharap tercapailah satu kesatauan dan kesempurnaan yang dicita-citakan akal budi dalam mengatur dunia fenomenal, dunia inderawi dan dunia lahiriah.
Mengapa Kant, kendati menerima ketiga idea itu, berpendapat bahwa mereka tidak bisa diketahui lewat pengalaman? Karena pengalaman itu, menurut Kant hanya terjadi di dalam dunia fenomenal, padahal ketiga idea itu berada pada dunia noumenal. Idea mengenai jiwa, dunia dan Allah bukanlah pengertian-pengertian tentang kenyataan inderawi, bukan, ‘benda pada dirinya sendiri’ (das Sing an sich). Ketiganya merupakan postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada di luar jangkuan pembuktian teoritis-empiris.
Tanggapan terhadap Kant
Kant menamakan filsafatnya sebagai ‘kritisisme’ dan ia mempertentangkannya dengan dogmatisme. Menurut Kant kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Semua filsuf yang mendahului Kant, digolongkannya sebagai dogmatisme, karena mereka percaya mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa menyelidikinya lebih dahulu secara kritis. Sebaliknya Kant bermaksud menyadari kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuan rasio.
Kritisisme Kant dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk memperdamaikan rasioanalisme dengan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur a priori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman (seperti ‘idea-idea bawaan ala Descartes). Empirisme menekankan unsur-unsur a posteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman (misalnya John Locke yang mengaggap rasio as a white paper). Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Kant berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan sintesa antara unsur-unsur a priori dengan unsur-unsur a posteriori.
Walapun Kant berusaha untuk memperdamaikan rasionalisme dan empirisme, antara unsur a priori dan unsur a posteriori dalam pengetahuan manusia, sebenarnya Kant berat sebelah ke arah subyek. Dalam menganalisa pengetahuan manusia, Kant terlalu mengabaikan bahwa manusia berakar pada dunianya dan pada materi. Pengertian-pengertian dan ide-ide manusia tidak hanya berasal dari subyek tetapi juga berasal dari dunia luar, dari kenyataan, dari realitas dan dari obyek.
Paskalis Bataona
****************
Bahan Bacaan
Copleston F. 1960. A History of Philosophy. New York.
Hadiwijuwono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Hardiman, Budi Fransisco. ‘Diktat Kuliah Sejarah Filsafat Barat Modern. Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara-Jakarta.
Magnis-Suseno, Franz. 1997. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius.