Minggu Biasa XXXII
Keb 6:13-17); 1Tes 4:12-17; Mat 25:1-13.
Waiting for Godot adalah naskah drama karya Samuel Beckett yang sudah beberapa kali dipentaskan. Waiting for Godot mulai ditulis 9 Oktober 1948 dan selesai 29 Januari 1949. Naskah ini pertama kali dipentaskan di Paris pada 5 Januari 1953. Naskah aslinya berbahasa Prancis namun kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Naskah drama ini terdiri atas dua babak. Babak I dan babak II menunjukkan setting tempat dan waktu yang sama, yaitu di suatu jalan di desa pada suatu senja. Pada jalan itu terdapat sebuah pohon. Pada babak I, pohon itu tanpa daun, dan pada babak II sudah muncul beberapa helai daun. Tokoh yang terdapat dalam naskah ini pun terbilang sedikit, hanya lima orang, yakni Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, serta Boy.
Namun, dalam dialog yang diucapkan oleh para tokoh tersebut muncul nama Godot, tokoh yang mereka nantikan. Godot tidak muncul dalam teks drama secara konvensional, dalam arti ada nama tokoh dan dialog, tetapi hanya dalam ucapan tokoh-tokoh yang membicarakannya. Dengan kata lain, kehadiran Godot adalah ex absentia, yakni keberadaan dari ketiadaan. Ia dibicarakan terus menerus, namun ia tidak muncul. Ketiadaan dirinya telah menjadikannya sebagai pusat perhatian dan dengan cara yang demikian itulah ia menunjukkan kekuasaannya dalam hal daya paksanya terhadap Vladimir dan Estragon untuk tetap menunggunya datang. Para tokoh dihadapkan pada persoalan menunggu kedatangan Godot. Mereka berharap Godot segera datang, namun penantian mereka sia-sia karena hingga akhir drama pun dikisahkan bahwa Godot tak pernah muncul.
Hal yang menarik dalam naskah itu adalah harapan dalam momen penantian. Para pelaku setia menunggu, tentu dengan harapan yang boleh jadi kian menipis. Bagi saya, harapan dalam kondisi setia menanti itu akan membuat mereka tetap berada dalam situasi “terjaga.” Harapan itu tampak dalam kondisi pohon yang muncul daun dari sebelumnya tiada. Harapan itu hadir dalam dialog para tokoh tentang godot itu yang hingga akhir memang tidak pernah ada. Harapan itu adalah bahasa lain dari iman. Orang menaruh hidupnya pada “seseorang” yang terus dinanti sepanjang ziarah iman di atas dunia. Kesetiaan berharap akan “seseorang” atau sebuah “masa depan” itu akan membuat orang menjadi bijaksana: dia tidak sekadar menikmati hidup tapi berpikir juga untuk keselamatan jiwa setelah tarikan napas terakhir.
Penantian dalam konteks religius bukan sebuah kesia-siaan, apalagi kebodohan. Masa penantian itu mesti menjadi momen untuk merenungkan maksa kehadiran kita di tengah dunia sekaligus meniti harapan untuk peristirahatan jiwa setelah kematian. Yesus mengingatkan kita bahwa dunia ini tidak sekadar sebuah ruang kenikmatan sesaat tapi ruang religius untuk menata hidup jiwa di “masa depan.” Kita mesti tetap berada dalam sikap “berjaga-jaga” karena tamu jiwa kita yaitu Yesus akan datang tanpa kita ketahui waktunya. Kita mesti memiliki harapan dalam sikap “berjaga-jaga” agar Kristus benar-benar menjadi pengantin bagi jiwa kita.
Yesus menggambarkan sikap “berjaga-jaga” itu sebagai kebijaksanaan yang disimbolkan pelita yang bernyala oleh lima gadis yang bijaksana (Mat 25:8). Ekseget R.T. France menulis bahwa perumpamaan lima gadis bijaksana dan lima gadis bodoh merupakan suatu peringatan yang ditujukan secara khusus kepada mereka di dalam Gereja agar tidak menganggap masa depan mereka terjamin tanpa syarat. Perumpamaan ini tidak menyalahkan para gadis itu tertidur, karena kedua kelompok mengalami hal yang sama. Perikop ini menyalahkan lima gadis bodoh yang tidak mempersiapkan diri karena tidak membawa minyak cadangan.
Titik perhatian perumpamaan ini adalah kesungguhan dari orang yang menanti. Para gadis yang bijaksana itu telah mempersiapkan diri matang dengan mengantisipasi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Jika pelita menjadi bagian yang begitu penting untuk penantian maka pelita itu harus sudah dipersiapkan agar tetap menyala. Orang yang beriman akan menginvestasi hidupnya seturut Injil sebagai antisipasi menyongsong sang pengantin jiwa yang Yesus lukiskan, “… Sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.” (Mat 25:13).
Kita mesti hidup dalam budaya kasih, pengampunan, pengabdian tanpa pamrih, kerelaan hati untuk selalu membahagiakan orang, menjadi sesama bagi setiap orang yang menderita, kepekaan sosial yang tinggi, terlibat dalam memperjuangkan nilai kebaikan bersama (bonum commune). Nilai-nilai Kristiani menjadi persediaan minyak yang mesti kita alirkan bagi sesama yang membutuhkan dengan kasih yang tulus. Selama masa pandemi Covid-19 ini, banyak sesama yang menderita. Inilah momen berahmat bagi kita untuk mengalirkan tabungan minyam religius kita untuk menerbitkan harapan hidup bagi mereka. Pemberian yang tulus lahir dari hati yang kadang sakit. Tapi kita percaya, rasa sakit itu akan berbuah kebijaksanaan saat menanti kepastian hari Tuhan yang datang setiap saat dalam diri sesama. Seperti ungkapan seorang rahib, “Aku mencari kegembiraan tapi ia menjauh. Aku mencari diriku tapi tidak kutemukan. Aku mencari sesamaku dan kutemukan ketiga-ketiganya. “ *