B. Herry-Priyono
Bagi para globalis, nasionalisme adalah lokalisme sempit. Untuk para nasionalis, globalisme adalah sebentuk abstraksi tak bernyawa. Tegangan itu bisa rekaan, bisa juga kenyataan. Rekaan, sebab yang terjadi adalah gejala keserentakan: semakin mengglobal gerak hidup kita, semakin intensif pencarian akar lokal kita. Semakin kencang globalisasi terjadi, makin kuat pula pencarian identitas diri. Bisa juga sebuah kenyataan, karena dalam kawanan gejala yang sama kita saksikan makin banyak ledakan (backlash) yang muncul dari tegangan keduanya.
Antara komunitas dan kerumunan
Nasionalisme adalah paham/gerakan pembentukan bangsa. Orang seperti Ernest Renan melihat bangsa sebagai “solidaritas agung yang terbentuk dari penderitaan bersama,” dan solidaritas itu menjadi dasar pembentukan komunitas hari ini dan di masa depan. Konsepsi semacam diajukan Anthony Smith, seorang neo-classicist. Bangsa adalah komunitas kultural-politik yang ada dalam gerak berayun antara pencarian identitas ke masa lalu dan pencarian arah pada rentang sejarah ke depan. Ia bahkan mengartikan “bangsa” sebagai penjelmaan (avatar) modern dari sentimen etnik yang bekerja dalam sejarah.
Bagi orang lain, pertanyaan apa itu bangsa hanya bisa di dekati dengan lebih dulu menjawab soal bagaimana bangsa terbentuk. Benedict Anderson melihat bangsa sebagai komunitas persaudaraan yang direka-bayangkan (imagined community). Proses me-reka-bayang-kan terjadi melalui medium yang muncul dari perkembangan kapitalisme-cetak (print capaitalism), seperti koran, majalah dan novel.
Soal bagaimana bangsa terbentuk, membawa cita-cita komunitas politik ke dalam hiruk-pikuk gejala yang kita hidupi dewasa ini. Juga tanpa meniadakan gagasan bangsa sebagai (kemungkinan) komunitas solidaritas, real politik pembentukan bangsa menjadi kunci memahami apa yang terjadi.
Dengan kaca mata realis, almarhum Enrnest Gellner melihat nasionalisme dan bangsa sebagai produk transisi masyarakat dari masyarakat agraris ke industrial. Industrialisasi mensyaratkan bentuk baru pengorganisasian masyarakat yang bersandar pada “kultur seragam”. Jika Anda seorang akuntan dan anda sakit, cuti, kena pemutusan hubungan kerja atau pension, kelangsungan kinerja industri menuntut keberadaan orang-orang yang siap mengganti. Proses ini hanya mungkin bila tersedia orang-orang yang juga tahu akuntansi. Penjaga kultur seragam itulah negara (state). Tata komunitasnya disebut bangsa (nation). Paham/gerakan menciptakan tata itu disebut nasionalisme (nationalism)”
“Nasionalisme bukanlah bangkitnya kekuatan masa lalu yang tertidur, meski punya klaim seolah-olah demikian. Dalam kenyataan nasionalisme merupakan konseukensi bentuk baru pengorganisasian masyarakat yang bersandar pada budaya-tinggi yang dibentuk oleh perseolahan, dan dijaga oleh negara. Bangsa sebagai komunitas alamiah adalah mitos.,,,”
Simbol apa saja yang membantu legitimasi akan dinobatkan sebagai ‘nasional’: dari citra kebesaran masa lalu (misal: Majapahit) sampai tarian suku dari zaman batu. Bagi Gellner, para intelegensia borjuis menjadi pelaku proses itu. Cuma, ‘rakyat’ lalu menjadi sekedar kerumunan yang diseret oleh rekayasa penyeragaman kultur bagi industrialisasi. Sejarahwan Eric Hobsbawm melangkah lebih jauh: bangsa adalah satu dari berbagai tradisi rekaaan (invented tradition) yang diciptakan untuk menyalurkan insting komunal massa, misalnya melalui penghormatan bendera, lagu, dan simbol lain. Dalam gerak politiknya menjadi kelas dominan, para borjuis merupakan pelaku utama penciptaan bangsa.
Fokus pada real politik pembentukan bangsa memberi gambaran tentang apa yang terlibat dalam nasionalisme. Namun juga segera kelemahan besar. Fakta bahwa pembentukan bangsa melibatkan tindakan manipulasi sama sekali tidak meniadakan potensi bangsa sebagai pemberi makna identitas personal serta komuniter. Itu juga kritik Perry Anderson terhadap konsepsi Gellner: hilanglah “…dimensi makna komuniter yang terlibat di dalam nasionalisme; bukan fungsinya bagi industri, melainkan pemenuhannya bagi identitas diri.”
Dalam soal pemenuhan identitas itu, kita bertemu dengan proses identifikasi, spasial temporal-kultural yang bisa (tapi juga bisa tidak) terkait dengan nasionalisme. Pengakuan “saya orang Indonesia” atau “saya orang Jerman” adalah ungkapan ikatan kita dengan social memory yang sudah menjadi bagian tak terpisah dari hidup kita. Di dalamnya terhampar beragam unsur seperti “taman kenangan” yang sudah melekat bagai stempel pada memori: wajah orang-orang terkasih, teman bermain, rumah masa kecil, landscape sungai, jalan, gedung, dan pepohonan.
Kita punya ikatan emosional bukan dengan manusia, rumah, dan landscape tertentu, tunggal maupun jamak. Karena pribadi rumah, dan landscape itu merupakan bagian dari patria (tanah air) tertentu (Yogyakarta di Indonesia, Kairo di Mesir, Bavaria di Jerman), dan bukan tanah air lain, maka kita mengaku diri dengan menunjuk nama patria itu. Indonesia, Mesir, Jerman. Landscape membentuk memori kita, dan mengarahkan identitas kita dengan komunitas yang menjadi bagian landscape itu.
Tetapi nasionalisme bukan hanya psikologi, bukan semata rasa-merasa nostalgia, bukan pula sekedarreal politik. Ikatan emosiaonal pada ‘tanah air’ tidak identik dengan kecintaan pada ‘bangsa’. Membaurkan perbedaan keduanya sama dengan membiarkan ‘dunia seolah-olah’ menyerobot realitas. Bangsa sebagai komunitas solidaritas adalah sebuah aspirasi, bukan deskripsi. Pada aspirasi itu terlibat prasyarat yang bersifat sine-quo-non. Mungkin tak ada orang yang memberi tekanan lebih pada prasyarat ini daripada Benedict Anderson ketika ia mengajukan sentralitas ‘merekabayangkan’ (imagining).
Membayangkan apa? Mereka membayangkan tata solidaritas dalam wilayah negeri tertentu, di mana keberadaan individual kita ‘tertanam’ (embedded). Dengan itu juga mau ditunjuk bahwa proses merekabayangkan melibatkan pengakuan adanya kepentingan bersama di samping kepentingan pribadi. Ringkasnya, pengakuan akan adanya hidup bersama (shared life), dan di sini share life itu disebut ‘Indonesia’.
Sebagaimana dulu, sekarang kita juga tersobek di antara cita-cita bangsa sebagai tata solidaritas dan real politik manipulatif, yang terlibat di dalamnya. Selama beberapa dasawarsa ini, satu faktor lain masuk ke arena real politik itu: globalisasi. Ratapan atas pudarnya nasionalisme merupakan satu manifestasi dari tegangan antara cita-cita dan real politik bangsa yang ada dalam pusaran globalisasi. Banyak faktor yang membuat nasionalisme dirasakan semakin kosong. Salah satunya adalah pergeseran ‘filsafat’ ekonomi-politik yang menyangga corak globalisasi dewasa ini.
Antara laba dan patria
Di paruh dasawarsa 1970-an, suatu tata ekonomi baru mulai melaju. Namanya globalisasi. Filsafat ekonomi-politiknya disebut neoliberalisme, yang kira-kira bisa diringkas begini. Manusia pertama-tama dan terutama adalah homo economicus (manusia ekonomi). Itulah ontologi (hakikat) manusia. Cara kita bertransaksi dalam jual beli bukan satu dari berbagai hubungan manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia. Baik itu keluarga, tata negara maupun hubungan internasional. Dengan kata lain, tindakan serta hubungan antar pribadi maupun hubungan lain hanyalah ungkapan model hubungan menurut dalil untung rugi individual yang berlangsung dalam transaksi ekonomi. Ada dua implikasi.
Pertama, relasi sosial kita mesti dipahami dengan memakai konsep dan indikator ekonomi sistem pasar. Jadi, ontologi economicus pula. Kemacetan yang terjadi ataupun perubahan yang ingin dilakukan juga mesti didekati dengan konsep dan solusi sistem pasar.
Kedua, prinsip ekonomi sistem pasar pula yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai kebijakan. Ontologi dan epistemologi economicus pada gilirannya memperanakkan etika economicus. Jika liberalisme klasik abad ke-18 hanya menuntut pemerintah menghormati kinerja pasar sebagai cara jitu kegiatan ekonomi, neoliberalisme menuntut agar kinerja sistem pasar menjadi satu-satunya tolok ukur menilai berhasil tidaknya kebijakan pemerintah. Sistem pasar bebas adalah hakim bagi setiap kebijaksanaan.
Kita menganggap filsafat ini berasal dari Adam Smith (1723-1790). Cuma apa yang diajukan Smith tak sesederhana seperti anggapan luas. Bahkan dari judul karya besarnya, kita bisa mengenali bahwa liberalisme Smith tetap menempatkan kesejahteraan seluruh bangsa sebagai tujuan. Neoliberalisme menggusur “kesejateraan bersama (common wealth) dengan akumulasi “kekayaan individu” (individual wealth). Penggusuran ini analog dengan mengganti judul buku Adam Smith, …the Wealth of Nation, menjadi ….the Wealth of Individuals. Ringkasnya, penggusuran arena hidup sosial dengan urusan individual. Hal itu dapat dilihat dalam dua gejala berikut.
Pertama, konsepsi neoliberal tentang modal manusia. Ekonomi-politik klasik melihat produksi barang/jasa tergantung pada kaitan intrinsik tiga faktor: tanah, modal dan tenaga kerja. Demi hemat kata, saya akan menyebut kaitan intrisik ketiganya dengan istilah trias ecomonica. Ekonomi neoliberal tidak melihat modal dan tenaga kerja dalam arti obyektif seperti itu, tetapi dalam arti subyektif (subjective voluntarist). Dalam gagasan neoliberal, misalnya, upah/gaji seseorang bukanlah “harga” bagi tenaga kerja yang dijual, melainkan “laba” dari “modal” yang dipunyainya (otot, keterampilan, dan pengetahuan). Otot, keterampilan, dan pengetahuan bukan modal seperti tanah atau gedung, karena modal seperti itu tidak bisa dipisahkan dari para pemiliknya, dimana pun mereka berada.
Orang-orang itu tidak dilihat sebagai buruh/pegawai yang tergantung pada badan usaha, tetapi sebagai para wirausahawan/wati (entrepreneurs) bebas yang bertanggungjawab atas keputusan sendiri dan yang (sama seperti para kapitalis) berusaha memproduksi nilai surplus (surplus value) bagi dirinya. Mereka (entah buruh, manajer ataupun guru) adalah para entrepreneurs bebas. Masing-masing dari kita adalah orang swasta.
Kedua, sebuah paradoks sedang terjadi. Sementara modal diprivatkan sampai titik di mana modal semakin kehilangan dimensi komunitasnya, ia juga dilepas dari kaitannya dengan “tanah” dan “tenaga kerja”. Ringkasnya, personalisasi dan depersonalisasi modal dilakukan secara serentak. Neoliberalisme secara mendasar menjungkir trias economica. Yang berlangsung pada dataran mikro (ekonomi produksi) ini terjadi secara paralel pada tataran makro (struktur ekonomi global). Yang dimaksud “tanah” dalam ekonomi-politik klasik tentu aksis fisik-spasial dari pabrik/kantor. Namun, “tanah” juga menunjuk partikularitas wilayah-spasial di mana komunitas politis-kultural hidup. Itulah patria, Bahasa Latin untuk tanah air. Dalam arti ini, patria tidak hanya menunjuk titik spasial teritorial, melainkan juga wilayah hidup politis-kultural sebuah bangsa.
Apa yang terjadi dalam neoliberalisme adalah dilepasnya kinerja modal finansial dari kaitannya dengan proses survival warga negara dan patria. Atau lebih tepat, kalaupun terkait, kaitan itu berupa an unintended consequence. Dilepasnya modal dari tata trias ecomonica itu juga berisi pemberian gratis hak istimewa dan kekuasaan yang sedemikina besar kepada (para pemilik) modal finansial. Itulah mengapa patria dan tenaga kerja akhirnya menjadi bulan-bulanan mobilitas dan kekuasaan modal. Apakah para buruh dan petani mati, atu apakah patria remuk karena krisis ekonomi, adalah soal yang dianggap semakin tidak terkait lagi dengan logika kinerja modal finansial.
Apa kaitan semua ini dengan globalisasi? Itulah yang rupanya sedang berlangsung dalam corak globalisasi dewasa ini. Pada dataran eksistensial, globalisasi menyangkutkan “pencabutan” waktu dari ruang. Anthony Giddens menyebut gejala itu “penjarakan waktu-ruang”(time space distanciation), sedang David Harvey menyebutnya “pemadatan waktu-ruang” (time-space compression).
Dulu kala, untuk membeli batik di Kota Gede, Yogyakarta (tempat), seseorang di Batavia harus berjalan sebulan (waktu). Transakasi jual beli batik menuntut temu muka penjual dan pembeli, peristiwa yang hanya mungkin terjadi dengan pertemuan keduanya pada titik waktu dan tempat yang sama (kesatuan waktu-ruang). Kini, transaksi itu dapat dilakukan sekejap melalaui telepon/e-mail. Pembeli di Jakarta penjual di Kota Gede, namun pada momen waktu yang sama meski dilakukan dari tempat yang berbeda (pemisahan waktu dari ruang). Rentanglah proses itu pada lingkup global, dan kita dapati gejala globalisasi (ekonomi).
Pada dataran empiris, globalisasi berisi kaitan yang semakin erat dari hampir semua aspek kehidupan, gejala yang muncul dari interaksi perdagangan, transportasi, transaksi finansial, media, dan teknologi. Benar bahwa globalisasi menyangkut aspek kultural, sosial, dan politis juga mensyratkan kinerja modal finansial. Perkawinan praktik-praktik mengglobal itu melahirkan cara pandang (epistemologi) baru pula. Artinya, globalisasi bukan lagi hanya kaitan mondial antara berbagai tindakan (misal: transaksi finansial), tetapi juga cara baru memandang persoalan. Ringkasnya, seluruh dunia merupakan unit tindakan dan pemikiran.
Dengan itu, dinamika tindakan pemikiran kita juga tak lagi hanya berlangsung pada lingkup desa, suku, kota, provinsi atau negara-bangsa, melainkan merentang pada lingkup global. Selain karena pembusukan yang terjadi dalam politik interen negara, pada pergeseran kondisi sejarah ini rupanya ratapan pudarnya nasionalisme perlu dipahami.
Antara lokal dan global
Sejarah bukan kisah ketidakterelakkan. Hanya karena “prinsip” kawanan hewan” (herd principle), ia seperti deretan kisah keniscayaan. Globalisasi sebagai kondisi baru juga bukan gejala yang akan terelakan. Artinya, globalisasi bukan gejala seperti gempa bumi, melainkan terjadi karena pengulangan tindakan mengglobal yang membentuk gugus praktik global; kemudian berbagai praktik global itu membentuk struktur globalisasi seperti yang kita hidupi dewasa ini. Fokus pada faktor ekonomi sebagai salah satu kunci memahami globalisasi bukan suatu kebetulan.
Tanpa perlu menganut determinisme, pergeseran filsafat dari kondisi ekonomi-politik ini merupakan salah satu kunci memahami ratapan atas pudarnya nasionalisme, Beberapa pokok berikut mungkin bisa menjadi kemungkinann sketsa.
Pertama, juga setelah menimbang berbagai sanggahan, lepasnya modal finansial dari trias ecomonica membuat pemerintah dan warga suatu bangsa semakin tergantung pada para pemilik modal finansial. Claus Offe merumuskan gejala ini dengan tegas “bentuk kelembagaan negara bisa saja diatur melalui prosedur demokrasi dan perwakilan, tetapi isi materialnya ditentukan oleh prasyarat akumulasi modal”. Bagi para pemilik modal, globalisasi adalah berkah. Bagi mereka yang tak punya, globalisasi adalah kutuk. Sedang bagi mereka yang ada dia antara keduanya, globalisasi adalah ambivalensi.
Apa yang kemudian berkembang adalah kesenjangan yang semakin tajam. George Soros, pelaku yang fasih dengan bagaimana kesenjangan itu terjadi, menjatuhkan putusan berikut dalam bukunya, On Globalization: “Mungkin saja kondisi buram itu tidak disebabkan oleh globalisasi, namun corak globalisasi yang berlangsung dewasa ini jelas-jelas tidak berbuat banyak untuk mengatasinya.”
Kemudian Soros melanjutkan: “…sejumlah bukti menunjukkan, para pemenang dapat melakukan kompensasi pada kelompok-kelompok yang disingkirkan (oleh globalisasi), dan toh mereka tetap keluar sebagai pemenang. Masalahnya adalah para pemenang tidak melakukan kompensasi apa pun. “Dan bila, seperti yang diproklamirkan Milton Friedman, “satu dan hanya satu, tanggungjawab sosial bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber dayanya untu aktivitas yang mengabdi akumulasi laba….,” cita-cita bangsa tentu menjadi fatamorgana. Dalam bahasa Alasdair MacIntyre, “…komunitas patriotisme tidak akan terbentuk, karena tidak ada lagi patria dalam arti sebenarnya.”
Kedua, seperti disebut dalam pusaran gejala itu juga sedang berlangsung agenda memprivatkan berbagai prasyarat dan prasarana yang menyangga kemungkinan suatu komunitas bangsa. Juga setelah mengakomodasi pertimbangan efisiensi ekonomi, agenda deregulasi yang serampangan dapat dikatakan sebagai manifestasi gejala itu. Hal ini bisa terjadi tanpa maksud mengosongkan “cangkang” nasionalisme. Agenda itu dapat dikenalin dalam berbagai praktik bisnis. Namun semakin jelas, gejala itu juga menyangkut gejala lebih luas. Iklan handphone mereka Philips, “individualism is perfectly human” adalah proklamasi gaya neoliberal par excellence.
Pada titik ini, kesenjangan yang makin tajam dalam akses ekonomi dan gaya hidup menjadi relevan bagi persoalan nasionalisme. Juga seandainya tidak disengaja, kawanan gejala kesenjangan yang tiap hari berpacu melalui “prinsip kawanan hewan” itu membuat gagasan bangsa sebagai komunitas solidaritas semakin menjadi utopia.
Ketiga, sekuat apa pun pacuan itu, kita belajar dari sejarah bahwa kinerja ekonomi yang dilepas dari proses survival suatu komunitas politik rupanya tidak akan bertahan lama. Pokok itu bukan argument tentang kematian kapitalisme. Dari Karl Polanyi, pemikir ekonomi Hungaria, kita belajar pola berikut. Setiap kali kinerja ekonomi dilepaskan dari kaitannya dengan gugus kelembagaan lain yang menyangga hidup bersama, tiap kali pula terjadi double movement. Maksudnya, setiap kali sistem pasar melakukan kolonisasi atas semakin banyak bidang kehidupan, setiap kali berkembang gerakan perlawanan terhadap kolonisasi itu.
Dalam Bahasa sketsa ini, semakin kinerja modal finansial dilepaskan dari kaitannya dengan patria dan warga negara, semakin berkembang gerakan untuk membawa kembali kinerja modal itu ke pangkuan trias economica. Dalam bidang ekonomi-politik, sekuensi peristiwa deregulasi di awal dekade 1980-an, bom finansial, perluasan ekonomi maya (dotcom), krisis ekonomi sejak 1977, kerontokan harga saham, gerakan kritik terhadap globalisasi, terbongkarnya berbagai skandal bisnis, lalu reformasi regulasi, merupakan contoh double movement itu. Dalam arti ini, kebanyakan gerakan kritik pada globalisasi bukanlah gerakan anti modal dan antiglobalisasi (seperti biasa dituduhkan), melainkan gerakan mengembalikan kinerja modal supaya terkait kembali dengan proses survival tenaga kerja dan patria.
Keempat, manusia tanpa partikularitas kultur dan emosi adalah ilusi. Yang rupanya terjadi adalah paradoks ini: semakin mengglobal kawanan gerak hidup kita, semakin intensif pencarian identitas lokal kita. Paradoks ini bukan bentuk irasionalitas, melainkan penjelmaan keutamaan manusia yang diberkati dengan transendensi-universalitas dan sekaligus kerinduan-partikularitas. Itulah mengapa kebangkitan etnik dan nasionalis menguat pada periode ketika gerak globalisasi juga sedang intensif terjadi.
Dalam arti itu tuduhan subversif pada kritik globalisasi merupakan histeria yang mengada-ada. Dalam bahasa ekonom Joseph Siglitz, tuduhan ini muncul karena “special commercial and financial interests prevailed”. Tentu, dengan itu tidak mau dibenarkan lokalisme sempit dalam rupa rasisme (seperti anti-Cina), nasionalisme buta (seperti konfrontasi dengan Malaysia), atau nasionalisme jagal (seperti Nazizme Hitler).
Kelima, paradoks mengglobal (dis-embedding) dan melokal (re-embedding) adalah tegangan sehari-hari kita dalam kehidupan modern. Mengelak dari tegangan itu sama dengan membekukan waktu. Dalam arti ini, tuntunan kejelasan (anti globalisasi atau pro globalisasi) merupakan salah satu akibat kemalasan kita menemukan wilayah-wilayah baru sintesa. Kita ingin kejelasan pro atau anti, lantaran ‘titik tengah’ terasakan sebagai suasana yang membosankan karena tak punya ketajaman yang menggairahkan. Dalam kenyataan, sejarah berisi lebih banyak kesimpangsiuran. Paradoks mengglobal-melokal hanya salah satu contoh.
Paradoks itu bukan sesuatu yang tak terelakkan, bukan juga gejala tanpa pelaku. Ia produk tegangan berbagai praktek, tindakan, dn kerinduan yang nyata dalam sejarah modern. Hanya jika kita memahami kondisi sebagai bukan niscaya (not inevitable), dan hanya bila kita memahami kondisi itu sebagai sesuatu yang melibatkan pelaku, maka terbukalah ruang untuk melakukan transformasi. Upaya perubahan tidak punya makna pada apa yang sudah niscaya. Dua arah gerakan berikut mungkin berguna.
Pertama, sementara kritik pada lokalisme sempit dilancarkan, gerakan kritik pada corak globalisasi dewasa ini menjadi satu urgensi. Fokusnya, bagaimana membuat kinerja modal punya civic accountability. Saya sadar, ambivalensi globalisasi berarti ia berupa ‘berkat’ dan ‘kutuk’. Gerakan kritik pada globalisasi perlu semakin peka membedakan ‘padi’ dan ‘alang-alang’, membedakan ‘berkat’, dan ‘kutuk’. Fakta bahwa gerakan kritik pada globalisasi yang peka terhadap dilema itu terasa lebih sulit, sama sekali tidak menegasi validitas kebutuhan akan sensivitas itu.
Kedua, gerakan membangkitkan kebijakan politik (public policy). Selama kita menghendaki hidup bersama – terungkap dalam istilah ‘Indonesia’, ‘umum’, ‘publik’ – selama itu pula kita membutuhkan keberadaan badan publik (public agency). Kelemahan fatal yang terjadi adalah berbagai kebijakan yang dilakukan badan publik semakin kehilangan ciri publiknya, karena semakin sering hanya pelaksanaan kemauan para pelaku dominan dari corak globalisasi dewasa ini. Tidak keliru mengatakan para pemilik/pengontrol aset finansial merupakan kelompok paling dominan dalam proses ini. Itulah gejala yang oleh Joel Helman dkk disebut state capture, di mana kapasitas legitim ‘badan publik’ menjadi tawanan para pemilik/pengontrol modal finansial.
Gejala itu punya implikasi jauh. Kebijakan publik makin makin tidak lagi digerakan oleh maksud (intended motives) melaksanakan kepentingan publik. Kepentingan bersama makin menjadi sekadar akibat sampingan (unintended consequences) dari keputusan yang mengungkapakan kebutuhan kelompok finansial itu. Bila kesejahteraan bersama (common welfare) itu terlaksana, ya syukurlah. Bila tidak terjadi, common welfare toh juga bukan tujuan awalnya. Akibatnya, kesejahteraaan bersama (ekonomi, kultural, politis) menjadi sekedar remah-remah yang jatuh dari meja pesta para tuan besar. Dengan itu, public policy juga kehilangan raison d’tre (alasan adanya), karena ia bukan lagi ‘kebijakan’, dan tidak juga dibuat untuk ‘publik’. Membangkitkan public policy berarti memasukan kembali tujuan (telos) kepentingan bersama ke dalam berbagai kebijakan (pendidikan , hukum, ekonomi, kesehatan, dsb).
Pada titik ini, perkenankan saya mengajukan satu pokok yang barangkali relevan untuk public policy. Sebuah Indonesia modern yang sehat dan beradab dibangun di atas perimbangan tiga poros kekuatan: komunitas, badan publik, dan pasar. Dominasi satu /dua poros atas satu/dua poros lainnya menjadi jalan menuju malapetaka. Dominasi badan publik atas hidup komunitas dan kinerja pasar menhasilkan Stalinisme. Dominasi komunalisme atas otoritas legitim badan publik dan kinerja pasar melahirkan tribalisme agamais-etnik-rasial. Dominasi pasar atas badan publik dan komunitas memperanakkan brutalitas neoliberal, seperti rezim Thatcher dan Reagan.
Tiga poros Indonesia itu bisa menjadi panduan praktis, bisa juga menjadi perangkat analisis dalam pembuatan public policy. Kebijakan ekonomi, kesehatan, atau pendidikan yang hanya mengungkapkan kebutuhan para pemilik/pengontrol modal (dengan dampak negatif pada survival komunitas dan badan publik (bukanlah public policy, dan tidak juga membantu rekontruksi Indonesia. Demikan pula kebijakan yang hanya mengungkapkan kebutuhan para pejabat negara lebih menyumbang pada kehancuran Indonesia.
Epilog
Masalah hidup mati sebuah bangsa melibatkan banyak faktor. Beberapa faktor punya daya yang mengosongkan cangkang nasionalisme. Nasionalisme tidak mungkin lagi dihidupi seperti 100 atau 50 tahun silam. Sejarah adalah “sungai ada” yang melahirkan peristiwa. Berbagai peristiwa itu telah melahirkan kondisi baru tegangan antara yang lokal dan yang global. Meskipun dalam konteks yang agak berbeda, Cifford Geertz mengungkapkan pokok ini hampir 30 tahun lalu:
“Tegangan antara dua dorongan instingtif itu-antara berlayar dalam arus zaman dan memeluk tradisi warisan-membawa nasionalisme ke dalam suasana yang khaas begitu bernafsu meraih modernitas, dan sekaligus berang terhadap hasil modernitas.”
Dalam kaitan dan tegangan antara yang lokal dan yang global itulah sungai waktu di negeri ini sedang melaju. Dan cita-cita tentang bangsa? Ia belum mati. Namun, gagasan tentang imagined community yang bernama “Indonesia” seperti sedang berjalan ketakutan ke masa depan. Mengapa? Karena di gerbang masa depan itu, neoliberalisme ekonomi, premanisme-birokrat dan komunalisme-tribal bagaikan sosok-sosok para bandit yang rebut menyeret kita dalam pacuan yang penuh tabrakan.
********
Sumber dari buku Esei-Esei Bentara 2003, Penerbit Kompas, 2003.