Oleh Nardi Maruapey
Saat ini seluruh dunia sedang menuju pada sebuah tatanan dunia baru dengan berbagai macam perkembangan ilmu-pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi. Pasca Covid-19 yang melanda secara global, kehidupan umat manusia mengalami perubahan secara signifikan bahwa ada harapan dan tantangan sebagai akumulasi perubahan dan perkembangan zaman.
Mengenai tatanan dunia baru ini-kita harus menariknya ke belakang tentang peristiwa historical atau akar dari tatanan dunia baru ini bagaimana. Bahwa Pasca perang dingin (perang ideologi) yang ditandai dengan kemenangan kapitalisme-liberal (baca: Samuel P. Huntington & Francis Fukuyama) dan melahirkan konsep demokrasi sebagai sistem bernegara di era tatanan dunia baru.
Pasca itu kemudian muncul perang ekonomi antar negara-negara yang menghasilkan lahirnya negara-negara pasar (welfare state)- seperti seteru Amerika Serikat vs China saat ini, dimana Indonesia sangat merasakan dampaknya sebagai negara yang berada tepat di jalur perdagangan dunia secara geografis.
Dari peristiwa-peristiwa persaingan itulah muncul berbagai agenda dengan kepentingannya persoalan ekonomi para elit global, seperti munculnya Covid-19 sampai adanya Vaksin Covid-19 yang saya yakin sungguh adalah bagian dari agenda elit global persoalan ekonomi dunia. Dalam buku Committee 300 yang ditulis John Coleman (2014), jelas bahwa untuk memahami bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di dunia itu merupakan bagian dari rencana yang dirancang saksama untuk menimbulkan kekacauan dan gangguan parah, dan bahwa peristiwa-peristiwa itu tidak terjadi secara kebetulan. Tetapi ada rencana-konspirasi tersistematis yang dilakukan dibalik semua itu.
Indonesia sebagai negara berkembang yang masih tertinggal jauh pada aspek perbaikan kualitas pembangunan sumber daya manusia (SDM), rendahnya mutu pendidikan, dan berbagai masalah sosial masyarakat yang lain terlihat memprihatinkan membuat kita akan kewalahan menghadapi dinamika arus globalisasi dan perkembangan zaman menuju tatanan dunia baru yang dengan tanda-tandanya sudah dan sedang berlangsung.
HMI sebagai organisasi modern harus berupaya menjelaskan ke publik dengan kapasitas intelektualnya tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan dunia dengan pendekatan-pendekatan sejarah, ilmu-pengetahuan, dan setelah itu HMI secara organisasi dan secara etis juga harus mempersiapkan diri dan mencari peran untuk bagaimana menghadapi tatanan dunia baru ini. Sehingga apa yang menjadi kesiapan dan ikhtiar kader HMI dalam menghadapi tantangan ini dapat mewabah ke seluruh sendi-sendi kehidupan manusia Indonesia.
Fokus HMI
Sejarah perjalanan HMI sejak berdiri pada 5 Februari 1947 sampai sekarang tahun 2021 (sudah 74 tahun usianya) telah banyak menghadapi berbagai macam fase dan tantangan dalam lingkup keindonesiaan. Agussalim Sitompul[1] dengan sangat rapi mengurutkan fase-fase perjuangan HMI diantaranya: ada fase konsolidasi spiritual, berdirinya (1946-1947), fase perjuangan bersenjata (1947-1949), fase pembinaan dan pengembangan organisasi (1950-1963), fase tantangan (1964-1965), fase kebangkitan (1966-1968), fase partisipasi dalam pembangunan (1969-1970), fase pergolakan dan pembaharuan pemikiran (1970-1998), serta fase reformasi (1998-2000).
Sedangkan di era kekinian HMI sedang menghadapi tantangan global. Olehnya itu, HMI mesti fokus untuk menghadapinya. Sehingga perlu langkah strategis berjangka panjang agar bisa keluar sebagai pemenang menghadapinya derasnya arus peradaban abad 21. Pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting dan esensial untuk menghadapi itu dengan memperkuat jenjang dan tahapan pendidikan kader secara formal maupun universal. Dunia pendidikan di HMI disebut dengan dunia perkaderan yang dimana ada; a) training atau latihan kader I, II, dan III sebagai pendidikan formal di HMI, b) kegiatan di dalam aktivitas HMI dan forum perjuangan yang sangat luas, c) kegiatan individual dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ada pula langkah-langkah untuk menghadapi era tatanan dunia baru bisa dilakukan dengan: 1) memperkuat pola perkaderan di HMI. Perkaderan di HMI merupakan sebuah keniscayaan, ia tidak bisa dilepas pisahkan. Kita sering menyebut perkaderan adalah jantung organisasi-hidup atau matinya sebuah organisasi ada pada perkaderan. 2) memperbanyak melihat realitas dalam pandangan kader HMI untuk di diskusikan sebagai wacana kritis. 3) secara intens mengadvokasi persoalan kebangsaan yang paling urgen dan prinsipil, seperti kemiskinan, kesejahteraan, pendidikan, serta kesehatan yang masih menghantui negeri ini demi kepentingan dan masa depan keumatan dan kebangsaan.
Sedangkan yang harus ditinggalkan HMI adalah kebiasaan untuk berdebat sampai menimbulkan konflik dalam tubuh organisasi, saya menyebutnya sebagai konflik struktural yang hanya menguras energi tetapi tidak mempunyai asas kebermanfaatan baik untuk HMI sendiri maupun di luar HMI yakni untuk umat dan bangsa.
Perkuat Literasi
Istilah literasi bukanlah sesuatu yang baru bagi HMI. Apalagi untuk para kader dan aktivis HMI, sebab literasi sangat erat dengan kegiatan-kegiatan HMI-bahkan telah menjadi sebuah budaya yang tertanam kuat sejak lama, sejak HMI didirikan oleh Lafran Pane dan kawan-kawan. Kita bisa melihat itu dalam bukunya Agussalim Sitompul tentang “Sejarah Perjuangan HMI”, yang dimana salah satu latar belakang berdirinya HMI adalah menyelamatkan umat Islam dan umat Indonesia dari kebodohan, kemujudan, serta kemunduran berpikir.
Namun untuk hari-hari ini dan menjadi fakta sekaligus catatan buruk bahwa budaya-budaya literasi itu hampir hilang atau literasi sebagai sebuah budaya dalam tubuh HMI telah mengalami kenihilan. Karena budaya dalam pandangan Kuntowijoyo adalah suatu kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum ,adat-istiadat , kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang di dapatkan oleh manusia seagai anggota masyarakat.[2]
Budaya literasi yang sering dilakukan HMI pada masa-masa sebelumnya sangat kental sekali, namun perlahan mulai hilang. Hal demikian juga digambarkan dalam buku 44 Indikator Kemunduran HMI. Misalkan memudarnya “tradisi intelektual HMI”. Kegiatan-kegiatan keilmuan HMI yang sebelumnya menjadi andalan HMI, kini Nampak redup dan memudar.[3]
Bahwa literasi adalah modal dan kekuatan berharga untuk kalangan pemuda-mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa dan pemimpin masa depan untuk merespon tantangan zaman yang identik dengan high teknologi ini untuk lepas landas menuju tatanan dunia baru ini. Literasi yang dimaksud adalah membaca literatur-fenomena, menganalisa realitas-fakta, mengkaji wacana, dan berdiskusi suatu persoalan secara intens.
Perjelas Ideologi
Akar dari ideologi itu kalau kita mengkaji bahwa ia berawal dari kekuatan logika yang dimiliki-bahwa dalam buku Logic and Longuage of Education, logika disebut sebagai penyelidikan tentang dasar-dasar dan metode-metode berpikir benar[4]. Dari kekuatan logic itu kemudian kita akan dapat menerima pengetahuan dari berbagai macam subjek dan objeknya atau epistemologi. Epistemologi dapat didefenisikan sebagai sebuah ilmu yang menjadikan pengetahuan manusia sebagai pokok kajian utama dan menjelaskan jenis-jenis pengetahuan, benar-salahnya, serta menyajikan standarisasi kebenaran sebuah pengetahuan.[5]
Dari epistemologi inilah akan membentuk sebuah pandangan dunia (world view) dalam melihat realitas. Pada dasarnya dalam menjalani kehidupan, manusia sangat bergantung pada pola atau kerangka pikir yang kemudian disebut sebagai pandangan dunia atau world view. Secara sederhana pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian dan peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini[6]. Menurut Murtadha Muthahhari, pandangan dunia inilah yang kemudian menjadi dasar dari ideologi yang dianut oleh setiap individu dan golongan. Perbedaan pada ideologi yang dianut oleh setiap manusia disebabkan perbedaan dalam hal menyusun kerangka pandangan dunia Pandangan dunia, adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, dan hasil kajian yang ada pada seseorang berkenaan dengan Tuhan, alam semesta, manusia, dan sejarah.[7]
Kemudian dari world view itulah yang membentuk ideologi seseorang. Ideologi menjadi “kebutuhan” manusia yang paling mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap kebenaran sampai ke tingkat melakukan verifikasi atas tindakan masyarakat serta kondisi-kondisi sosial yang melingkupinya. Secara sederhana, ideologi berperan dalam pemberian cara pandang, membentuk pemahaman, serta mengarahkan prilaku manusia dalam berinteraksi dengan dunianya. Berkebalikan dengan pandangan Marx dan Weber yang berpandangan ideologi dibentuk oleh struktur masyarakat. Syari’ati justru menyatakan bahwa, dengan kesadaran diri (ideologi) inilah manusia membentuk masyarakat.[8]
Untuk berjuang dalam melawan kezoliman, penindasan tentu kita sebagai kader HMI memerlukan ideologi sebagai pedoman, acuan, sumber dalam melakukan perjuangan-perjuangan atas nama dan kepentingan umat dan bangsa. Ideologi merupakan instrumen perjuangan untuk mencapai suatu tujuan. Bagi Ali Syariati mengatakan bahwa ideologilah yang mampu mengubah masyarakat, karena sifat dan keharusan ideologi yang meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan keterlibatan untuk komitmen[9]. Pandangan Ali Syari’ati ini, senada dengan pandangan Antonio Gramsci, yang menyatakan bahwa ideologi, lebih dari sekedar sistem ide. Ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis (ideologi memberikan spirit perjuangan). Selain itu, ideologi mengatur dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak dan, mendapatkan kesadaran mengenai posisi mereka maupun perjuangan mereka dalam kehidupannya.[10]
Tentu ideologi harus digunakan HMI adalah NDP (nilai-nilai dasar perjuangan) yang di dalamnya sarat akan nilai-nilai keislaman yakni Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup umat Islam. Dengan lengkapnya bisa dilihat pada buku Islam Mazhab HMI yang menjelaskan bahwa NDP sebagai ideology perjuangan HMI harus dipahami dengan baik.
Bahwa NDP itu adalah kumpulan nilai-nilai Qur’ani yang disistematisasikan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah konsep yang utuh. Jadi nilai yang ada pada NDP itu: bersifat abstrak dan universal. Dikatakan abstrak karena nilai itu sendiri tidak bisa diukur secara pasti. Dikatakan universal karena nilai tersebut diturunkan dari kitab suci al-Qur’an, maka sudah barang tentu nilai itu berlaku untuk seluruh masa dan tempat dan menjadi kebutuhan semua manusia. Begitu juga dengan NDP. Karena ia merupakan kumpulan nilai maka NDP tetap relevan dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun.[11]
Selain itu, NDP yang dimaksud sebagai ideologi dapat juga dijadikan bentuk ikhtiar HMI untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt dengan tetap berlandaskan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam.
Kesimpulan
HMI merupakan organisasi besar dan sangat cukup tua, telah menginjak usia 74 tahun sejak berdiri pada tahun 1947. Bahwa HMI boleh sudah tua, tapi jiwa dan pikiran-gagasannya harus tetap muda. HMI yang bertempat di Indonesia yang merupakan negara berkembang tentu akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengawal dan turut serta berkontribusi dalam membentuk SDM Indonesia yang berkualitas agar bisa menghadapi lajunya perkembangan zaman menuju tatanan dunia baru. Bahwa kita mesti terus-terus menjadi bangsa yang tertinggal di tengah semakin berkembangnya ilmu-pengetahuan dan teknologi yang semakin modern ini.
Kemudian di tengah kondisi bangsa seperti ini, yang selalu penuh dengan banyak permasalahan, maka HMI harus hadir dengan resolusi untuk mengatasi masalah Indonesia kekinian sebagai upaya mengokohkan komitmen keislaman dan kebangsaan. Tugas HMI adalah memberikan edukasi dan penjelasan kepada bangsa Indonesia untuk menjadikan tatanan dunia baru ini sebagai sebuah harapan menuju kehidupan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt. Sebab HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia sebagai kata Jendral Soedirman.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Syariati. 1989. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam. Bandung: Mizan.
Azhari Akmal Tarigan. 2007. Islam Mazhab HMI. Jakarta: Kultura.
Golam Reza Fayyadhi. 2016. Buku Daras Epistemologi Islam. Yogyakarta: Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI)
H. Agussalim Sitompul. 2008. 44 Indikator Kemunduran HMI. Jakarta: Misaka Galiza.
___________________ 2008. Sejarah Perjuangan HMI. Jakarta: Misaka Galiza.
H. Mundiri. 2016. Logika. Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada.
John Coleman. 2014. Committee 300. Jakarta: Zaytuna Ufuk Abadi.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Murtadha Muthahhari. 2001. Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera.
Musa Kazhim. 2002. Belajar Menjadi Sufi. Jakarta: Lentera Basritama.
Roger Simon. 1999. Pemikiran
Politik Gramsci. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI, Jakarta: Misaka Galiza, 2008.
[2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003: 133
[3] H. Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, Jakarta: Misaka Galiza, 2008: 90
[4] George F. Kneller dalam Mundiri, Logika, Jakarta: Penerbit RajaGrafindo Persada 2016: 2
[5] Golam Reza Fayyadhi, Buku Daras Epitemologi Islam, Yogyakarta: Jaringan Aktivis Filsafat Islam (JAKFI), 2016: 20
[6] Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, Jakarta: Lentera Basritama, 2002: 25
[7] Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi, Jakarta: Lentera, 2001: 17-18
[8] Ali Syariati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Bandung: Mizan, 1989: 81
[9] Ibid., 1989: 81
[10] Roger Simon, Pemikiran Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999: 83
[11] Azhari Akmal Tarigan, Islam Mazhab HMI, Jakarta: Kultura, 2007: 208-209.