Cerpen Fince Bataona
GELAP. Listrik padam sejak siang dan belum juga menyala? Saat tiba tadi, Ema sudah beritahu listrik padam. Katanya ada perbaikan gardu di ujung kampung, Ema menjelaskan. Tak ada pengumuman resmi, Ema dengar dari Ema Esy, tetangga sebelah. Ema Esy, entah tahu dari mana sebab musabab listrik padam hari itu. Sering begini, keluh Ema.
“Mungkin tengah malam baru menyala. Biasanya begitu,” ujar Ema lagi sambil menyiapkan makanan di meja. Saya tak menjawab. Rasa lapar lebih menguasai pikiran dan satu-satunya keinginan adalah segera makan lalu istirahat.
Iya, saya lapar dan lelah. Perjalanan 50-an km dari Lewoleba, ibukota Kabupaten Lembata ke Lamalera adalah perjalanan sengsara yang menguras habis energi. Infrastruktur jalan yang buruk sudah pasti bikin badan sakit. Kondisi lebih parah di musim hujan. Kolam-kolam lumpur menggenang di beberapa ruas jalan.
Masakan Ema, daun kelor rebus, ikan terbang bakar dan sambal tomat pedis. Saya habiskan dengan segera. Nikmat. Masakan Ema sudah pasti nikmat, meski itu hanya daun kelor dan ikan jenis apapun yang dibakar. Menu makan wajib, kata Ema. Dan, wajib itu tak pernah membosankan.
Jika ditanya alasannya, saya pasti menjawab karena Ema menyiapkannya sepenuh hati. Sepenuh cinta untuk saya dan bapak. Dua lelaki didekatnya yang menyayanginya pula sepenuh jiwa.
Entah sudah berapa lama saya tidur. Dalam gelap, saya mencari hand phone dalam tas ransel yang saya bawa. Astaga! Tak bisa menyala. Baterai nol persen. Mati total.
Ema..? Ema..” Tak ada jawaban. Lamat, saya mendengar langkah-langkah kaki di dalam dapur. Saya hafal benar langkah kaki siapa. Selalu teratur melakukannya. Bolak balik antara para-para dekat tungku api dan bale-bale bambu yang berjarak sekitar lima belas langkah dari tungku. Saya menghitung. Pada hitungan kelima bale-bale bambu berderit. Ema, pasti sudah duduk di bale-bale.
Saya keluar kamar. Dari arah dapur, remang cahaya pelita dari minyak ikan paus menembus hingga ruang tengah. Pelita empat sumbu itu sudah cukup lama dibuat bapak. Seng plat bekas dipotong segi empat. Pada sudutnya dirapatkan untuk meletakan ujung sumbu. Setelah sumbu direndam dalam minyak ikan paus beberapa jam, pelita sudah bisa difungsikan dengan nyala yang sempurna.
Ema agak kaget melihatku sudah berada di dekatnya. “Sudah bangun? Masih malam. Ayo makan dan tidur lagi,” ujar Ema. Saya tidak menjawab, Dalam terang cahaya pelita minyak ikan paus, saya memperhatikan tangannya yang sibuk mengikat ikan-ikan kering. Perlahan, hati-hati agar tangannya tidak tertusuk duri ikan – ikan demersal yang hasil memancing.
Saya duduk di sebelah ema. “Ema belum tidur?”
Ema menggeleng. “Besok hari Sabtu.”
Perempuan dengan separuh rambut sudah memutih itu meneruskan pekerjaannya. Ikan-ikan kering diikat lalu dimasukkan dalam bakul. Ikan Terbang kering. Beberapa ikan Demersal ukuran sedang. Daging dan kulit ikan Paus kering. Daging dan kulit Lumba-Lumba. Ikan Pari kering. Juga, garam dan kapur sirih.
“Kalau sebentar bapak dapat ikan banyak, besok Ema bawa juga ikan mentah ke pasar,” ujar Ema. Oh iya, bapak. Saat tiba tadi, bapa belum pulang melaut. Lamafa (juru tikam ikan Paus) itu, tidak punya waktu istirahat. Pagi hingga sore dengan peledang (perahu) melaut. Menunggui kalau-kalau ada ikan paus lewat di laut Sawu dan itulah kiriman nenek moyang yang harus diambil.
Jika peledang pulang tanpa hasil, lamafa Thomas, begitu nama bapak saya, akan melaut malam hari untuk mencari ikan-ikan kecil. Waktu istirahatnya sangat sedikit. Hanya beberapa jam di rumah. Tapi, seumur hidup, saya belum pernah melihat bapak terbaring lemas karena sakit. Bapak tidak pernah sakit. Dia sangat kuat!
“Besok, saya yang hantar Ema ke pasar,” kata saya. Ema tersenyum mengangguk.
Pasar barter Wulandoni berlangsung setiap hari Sabtu pukul 10.00 wita, Di era uang tunai menguasai pasaran. Bahkan segala sendi kehidupan pun mendewakan uang. Di tengah maraknya belanja dan bisnis online, masyarakat wilayah pegunungan dan pesisir di Kecamatan Wulandoni masih mempertahankan pasar barter Wulandoni. Turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Jarak pasar barter Wulandoni kurang lebih 7 Km dari Desa Lamalera. Perkampungan nelayan yang mendunia karena tradisi penangkapan ikan Paus secara tradisional.
Pasar barter Wulandoni adalah pertemuan dagang sekaligus silaturahmi masyarakat pegunungan yang adalah petani dengan masyarakat pesisir pantai yang adalah nelayan. Pelaku barter adalah para perempuan. Tak terlihat ada laki-laki di arena barter. Dengan kendaraan truk mereka membawa jagung, pisang, ubi, kelapa, sayur mayur dan berbagai hasil kebun. Sementara perempuan dari pesisir, membawa hasil laut. Ikan basah, ikan kering berbagai jenis, garam dan juga kapur sirih.
Dulu, saat masih sekolah dasar (SD) saya sering pula menemani Ema ke pasar saat libur. Berjalan kaki sepanjang pesisir pantai bebatuan hitam dengan gemuruh ombak pantai selatan yang gaduh. Sebelum mencapai pasar yang serupa tanah lapang luas itu, ada sebuah kali kecil yang penuh saat air laut pasang dan kering saat surut.
Saat melewati kali kecil ini, saya dan ema biasanya berhenti sebentar. Rendam kaki biar lelah hilang, Sekaligus bersihkan debu di kaki, begitu Ema menjelaskan. Jika Ema hanya rendam kaki, saya pasti mandi. Saya akan menolak keras jika Ema menawarkan menggendong saya saja agar tidak basah. Pakaian basah dan kering sendiri di badan, bukan masalah. Saya, tidak akan masuk angin. Tidak juga demam hanya karena pakaian basah berjam-jam di badan. Saya suka membathin, seperti lamafa Thomas yang kuat, saya pun begitu.
Menunggui Ema melakukan barter, saya biasanya bermain di pantai. Pantai bebatuan berpasir hitam. Saya senang mengejar kepiting di sela-sela batu dan sering tidak menyadari kalau Ema sudah selesai barter dan saatnya kami pulang. Tanda dimulainya barter dengan meniup peluit juga sering tidak saya dengar. Meski sudah banyak yang datang, pasar barter baru bisa dimulai ketika seorang mandor meniup cukup panjang peluit.
Biasanya yang memanggil saya dan memberitahu kalau Ema sudah selesai barter adalah Nina. Suaranya lantang meneriakan namaku, kalau saya agak jauh. Tangan kecilnya melambai berulangkali menandakan saya segera pulang. Usia kami sama. Kulitnya sedikit terang. Tidak segelap saya yang anak pantai. Rambutnya ikal selalu diikat tinggi. Wajah bulatnya mirip Ema Peni, ibunya. Nina, anak kenalan Ema dari Desa Lewuka. Dia sering menemani ibunya menjajakan hasil kebun mereka di Pasar Wulandoni. Jika saya selalu di pantai, Nina akan duduk berdampingan dengan ibunya dengan dagangan mereka. Ubi, jagung, pisang, sayur-sayuran, tomat, lombok dan lainnya. Mereka menunggu didatangi perempuan dari wilayah pantai yang membawa ikan. Tawar menawar dan setelah sepakat, barang diambil. Nina kecil, saya sering melihatnya membantu ibunya memasukan sayur ke bakul Ema.
Pasar barter Wulandoni tidak hanya area tanah lapang barter semata. Ada persaudaraan, ada kekerabatan yang terjalin terus menerus dan turun temurun. Saat tawar menawar, komunikasi berlangsung tidak semata antara pedagang dan pembeli. Jika bertemu terus menerus, hubungan kekerabatan akan terjalin. Pasar barter Wulandoni, jadi tempat jumpa dan mengikat tali persaudaraan tidak sedarah.
Ema, bertemu Ema Peni, ibunya Nina di pasar barter Wulandoni bukan lagi mematok nilai tukar dua ekor ikan sedang dengan 12 bulir jagung atau satu keping ikan Paus dengan 6 buah pisang. Nilai tukar bukan lagi standar baku. Kepada Nina, Ema bahkan sering membawakan oleh-oleh biskuit atau roti. Boleh jadi karena tidak punya anak perempuan, Ema tampak bahagia menyayangi Nina.
Itu baru antara Ema dan Ema Peni. Di pasar barter Wulandoni, Ema juga berhubungan baik dengan Ema Siti. Perempuan berjilbab yang menjual kue kering. Ema Siti langganan Ema dan Ema Peni. Mereka akrab dan tak sekalipun saling bertanya, apa agamamu?
Tak ada sekat agama di pasar barter Wulandoni. Bahkan ketika hari raya Natal jatuh pada hari Sabtu, mereka bersepakat menggeser pasar ke hari lain tanpa pertentangan. Begitu pula jika hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu, mereka dengan gembira bersepakat menggeser waktu pasar barter ke hari lain. Tak ada pertanyaan, demi kepentingan siapa?
Seperti apakah pasar barter Wulandoni di tengah pandemic covid 19?
Naluri jurnalistik mendorong saya pulang Lamalera dan Sabtu pagi ini bersama Ema, saya menyusuri jalan Lamalera-Wulandoni. Bukan jalan kaki seperti belasan tahun lalu. Jalan beraspal tapi di beberapa titik masih seperti dulu. Meski Ema tampak masih kuat jalan kaki, saya tidak akan membiarkan Ema jalan kaki dan saya bersepeda motor.
Di pintu masuk, beberapa petugas sudah siaga dengan wadah cuci tangan. Mereka ramah menyapa, “silahkan mencuci tangan dulu.” Sesekali mereka menegur beberapa warga yang tidak memakai masker secara benar. Mereka bahkan menyiapkan masker bagi warga yang tidak memakai masker.
Di tanah lapang luas yang masih sama seperti dulu, jarak duduk sudah diatur, 1,5 meter. Ada lingkaran-lingkaran putih dari abu dapur menandai posisi duduk masing-masing orang yang menjajakan ubi, pisang, sayur, beras merah dan lain-lain. Tepat pukul 10.00 wita, peluit panjang berbunyi. Tak ada “serbuan” seperti biasanya. Tertib teratur mengantri. Seorang petugas kesehatan terus memberi komando dari toa agar jarak tetap dijaga.
Saya sibuk mengambil beberapa gambar. Saya akan menulis feature tentang ini. Nah itu Ema Peni! Saya mengarahkan kamera ke wajah yang sangat saya kenal itu. Eh di sebelahnya? Perempuan tinggi semampai dengan rambut ikal diikat tinggi. Tersenyum ramah melayani ema-ema dari pesisir yang membawa ikan. Siapa? Saya turunkan kamera. Berjalan agak terburu hendak menemui Ema Peni.
“Ama, antri. Jaga jarak. Ikuti protokoler kesehatan.”
Saya hentikan langkah. Mundur dan kembali ke tempat parkir. Bukankah tak ada laki-laki yang melakukan barter di Pasar Wulandoni. Ini areanya perempuan. Area Ema saya, Ema Peni dan perempuan itu. Wajah penuh senyum itu mengganggu. Terasa dekat. Zoom kamera dan saya teliti wajah dan segala gerak perempuan itu dari jauh. Dia melayani penuh senyum.
Nah, itu Ema. Dia memeluk Ema. Membantu Ema memasukan sayur dalam bakul. Ini biasa dilakukan… “Siapa? Nina kecil?”
Pasar barter Wulandoni usai. Masing-masing sibuk membereskan bawaan hasil barter. Juga, Ema. Nina kecil sudah berada di sebelah saya. Cerah ceriah bercerita banyak hal lebih-lebih masa kecil kami diselingi tawa lepas. Saya memandanginya tanpa kedip. Kurang fokus pada ceritanya karena bibir tipisnya, dagu mungilnya dan mata bulatnya lebih menarik. Ah Nina kecil yang manis kini di mataku. Kami saling tukar nomor kontak sebelum berpisah.
Seminggu berlalu. Saya sedang menulis berita: Pasar barter Wulandoni mendapatkan penghargaan inovasi daerah terkait penerapan tatanan new normal sektor pasar tradisional klaster daerah tertinggal. Peringkat satu. Kemendagri memberikan penghargaan berupa Dana Insentif Daerah (DID) kepada pemerintah daerah senilai Rp 3 Miliar.
Berita gembira ini harus dibaca Nina kecil yang manis. Saya mengirim tautan dengan pesan, “Nina kecil yang manis, baca ini berita gembira. Buat Ema Peni. Buat Ema saya dan buat semua perempuan Wulandoni yang punya area tanah lapang itu di setiap Sabtu. Buatmu juga, Nina.”
Nina membalas dengan emoticon tertawa lebar dengan tulisan, “Bahagianya. Setidaknya sarana prasarana di area itu akan lebih baik. Atau jalan ke pasar dari Lamalera ke Wulandoni atau dari Lewuka ke Wulandoni akan lebih mulus. Tks Ama.”
Dua bulan berlalu saya menulis berita dan meneruskan padanya,” Nina kecil yang manis, jatah Wulandoni Rp 100 juta. Baca saja beritanya.”
“Rp 100 juta dari Rp 3 M? Nina membalas dengan menambahkan emoticon sedih, marah, kecewa.
“Ini seperti ayam yang punya telur tetapi setelah jadi, namanya jadi telur mata sapi,” tulis Nina dengan emoticon tertawa sinis
“Ko diam saja kah, Ama? Mengapa tidak ada yang protes soal ini? Wakil rakyat ada di mana? Itu sudah final?”
“Sudah penetapan,” jawab saya singkat untuk pertanyaannya yang terakhir.
Dan dia tidak lagi mengirim pesan. Saya membayangkan wajah manisnya yang cemberut. Merah merona menahan emosi. Makin manis, tentunya. Ah, Nina, entah mengapa setiap kali ingat wajah manismu, dada ini selalu berdebar.
Kau, perempuan seperti Ema, Ema Peni, Ema Siti, dan ema-ema lainnya adalah penguasa area tanah lapang di Pasar barter Wulandoni. Kalian, para perempuan yang merawat budaya, merawat toleransi dan merawat persaudaraan paling tulus, paling gigih di daerah ini, dari area tanah lapang Pasar barter Wulandoni. Kalian, perempuan sempurna!.***
Lembata, Desember 2020
———————————————————————
Para-para: tempat meletakan jagung, ikan kering, yang terbuat dari bambu dengan empat tiang penyanggah
Bale-bale : tempat tidur dari anyaman bambu
Fince Bataona, Jurnalis, Penulis Novel Lamafa