Oleh Husen Baffadal*
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.” ~ Abdurrahman Wahid
Kalimat yang diucapkan di atas bisa menjadi bahan refleksi serius untuk para elit/politisi lokal kita bisa tiba pada kesadaran diri ketika berproses dalam lingkaran kekuasaan. Dalam konteks demokrasi, pergantian kekuasaan atau terjadinya sirkulasi elit sangat dikehendaki dan baiknya itu terjadi dengan maksud ada sesuatu yang baru dari hasil setiap momentum demokrasi berupa pemilihan kepala daerah. Sehingga tidak ada kebosanan dari publik di dalamnya.
Setiap momentum pemilihan kepala daerah atau pilkada selalu memunculkan ragam fakta maupun fenomena yang secara fasih belum mampu dibongkar publik akibat kekurangan sumber (literatur) yang akhirnya membentuk cara pandang/analisis publik itu sendiri. Akhirnya publik masih normatif dalam memaknai momentum pilkada setiap digelarkan.
Pilkada masih sekedar dimaknai sebagai pesta demokrasi rakyat sekali dalam lima tahun atau sekedar eforia belaka. Padahal pilkada itu adalah proses yang terus berjalan karena agenda pilkada merupakan agenda bernegara dari tahap awal (pemimpin terpilih) sampai tahap akhir (mengakhiri masa jabatan). Intinya ialah pergeseran pemahaman tentang pilkada harus terjadi bahwa ada proses evaluasi bagaimana cara kita bernegara dan proyeksi untuk menentukan masa depan. Ada beberapa hal penting yang menjadi titik tekan dalam pembahasan tulisan ini yakni: 1) menjelaskan fungsi pilkada, 2) menjelaskan politik dinasti dan dampaknya, dan 3) pilkada serta munculnya politik dinasti sebagai ujian demokrasi lokal.
Fungsi Pilkada
Mengacu pada teori social contract yang diuraikan oleh ilmuwan politik klasik yakni Locke, Hobbes, dan Rouseau bahwa hadirnya negara pada dasarnya sebagai hasil kontrak yang dilakukan oleh masyarakat guna melindungi, menjamin hak asasi, menyejahterakan, dan memberikan rasa keamanan.
Social contract tersebut kemudian diturunkan menjadi sebuah sistem mekanisme kompetitif yakni pemilihan umum yang digunakan untuk memilih wakil-wakil mereka dan duduk di dalam negara atas nama rakyat. Memahami konsep tersebut berarti wakil-wakil rakyat yang terpilih idealnya bekerja sebagai mandataris rakyat, atas nama rakyat terlepas dari kepentingan apapun.
Hal ini sejalan dengan konsep demokrasi yang dilakukan oleh Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam konteks pilkada, persoalan-persoalan kepentingan atas nama rakyat mesti selalu menjadi prioritas. Fungsi pilkada adalah menghadirkan partisipasi warga negara dalam ruang demokrasi.
Namun, yang menjadi paradoks demokrasi hari-hari ini bahwa suara (voters) rakyat hanya menjadi legitimasi kekuasaan (politik) semata-dan belum menyentuh legitimasi kesejahteraan (ekonomi) sosial masyarakat. Sebab, yang terjadi dalam realitas politik elektoral kita adalah rakyat hanya dijadikan objek demokrasi politik, bukan subjek yang bisa menentukan nasibnya sendiri lewat keterlibatan pembuatan kebijakan dalam masalah pembangunan, dan lain sebagainya. Sehingga dampaknya dalam hal ini rakyat kehilangan representasi politiknya ketika kekuasaan telah berpindah kepada para pemburu kursi kekuasaan.
Padahal, logika demokrasi selalu menempatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sehingga muncul konsep “Vox Populli Vox Dei” (Suara Rakyat Suara Tuhan). Oleh karena itu begitu esensialnya kedudukan warga negara dalam negara demokrasi yang sebenarnya menunjukkan jika sehat kuatnya demokrasi dipengaruhi oleh kepercayaan publik.
Bahwa tidak ada satupun negara
demokrasi di dunia yang kokoh tanpa ada partisipasi aktif dari warga negara.
Konsekuensinya adalah keaktifan warga negara baik dalam partisipasi melalui pemilu/pilkada,
berdiskusi, berpendapat, mengkritik, ataupun kebebasan lainya menjadi ukuran
konkret jika demokrasi dalam sebuah negara sedang berfungsi sebagaimana
mestinya. Termasuk untuk berpartisipasi menyatakan pendapat, mengkritik dan mendiskusikan
dengan pendekatan rasional-ilmiah mengenai fenomena politik dinasti dalam
pilkada baik dari pra-pasca pilkada.
Politik Dinasti dan Dampaknya
Salah satu fenomena yang sering terjadi dalam setiap momentum politik di Indonesia, baik itu pemilu maupun pilkada ialah maraknya politik dinasti yang dimainkan sebagai praktek perpolitikan pada skala nasional dan lokal. Ditambah lagi dalam pilkada, yang menjadi bagian dari dinasti itu tidak punya rekam jejak dan pengalaman untuk bisa meyakinkan rakyat.
Politik dinasti meningkat pada pemilihan umum 2019. Setidaknya premis ini terkonfirmasi oleh riset lembaga studi Nagara Institute yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, sebab memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya. (tirto.id, 2020)
Dalam Pilkada 2020 politik dinasti atau kandidat yang memiliki pertalian darah atau perkawinan dengan politisi yang sudah mapan jumlahnya meningkat. Tercatat ada 158 kandidat yang teridentifikasi jadi bagian politik dinasti dan 67 di antaranya berpotensi menang berdasarkan hasil sistem informasi rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (Sirekap KPU).
Data banyaknya jumlah politik dinasti di Pilkada 2020 itu berdasarkan riset yang dilakukan oleh Yoes C. Kenawas, kandidat doktor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat. Jika dibandingkan Pilkada 2015 dengan total 269 daerah penyelenggara pilkada, hanya ada 52 kandidat politik dinasti. Sementara Pilkada 2020 yang diselenggarakan di 270 daerah memiliki jumlah kandidat politik dinasti yang jumlahnya tiga kali lipat dari 2015.
Sedangkan dalam catatan Nagara Institute yang lain soal pilkada, setidaknya ada 124 cakada yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dinasti politik. Rinciannya, 57 kandidat merupakan calon bupati, 30 orang calon wakil bupati, 20 calon wali kota, 8 calon wakil wali kota, 5 calon gubernur, dan 4 calon wakil gubernur.
Sejumlah nama menjadi topik pemberitaan media karena memiliki kekerabatan dengan tokoh nasional. Seperti putra dan menantu Presiden Joko Widodo, putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, keponakan mantan wapres Jusuf Kalla, hingga adik Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo.
Masih dalam riset Nagara Institute, terjadi peningkatan jumlah kandidat peserta pilkada yang terpapar dinasti politik dari pilkada sebelumnya. Terhitung, pada pilkada 2005-2014 lalu, hanya tercatat memunculkan 59 cakada yang terpapar dinasti politik. Namun, di pilkada 2015, 2017, dan 2018, jumlahnya menjadi 86 orang. Kini, jumlah cakada terpapar dinasti politik sudah tembus seratusan calon.
Artinya, pilkada dijadikan sebagai ajang mempertahankan kerabat dan atau keluarga (anak, suami/istri) dalam lingkaran kekuasaan adalah jalan mempertahankan status quo, ini yang kemudian kita kenal dengan politik dinasti. Sebagaimana pemaknaannya tentang politik dinasti (Wikipedia) adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Dalam perspektif Ibn Khaldun (1332–1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah (group feeling). Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History (1998) menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Sebab, umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai bawahannya.
Namun, Ibn Khaldun mengingatkan bahaya politik ashabiyah. Dengan tegas Ibn Khaldun menyatakan bahwa politik ashabiyah pada saatnya bisa mengakibatkan kehancuran negara. Dalam konteks budaya modern, praktik politik ashabiyah juga menjadi persoalan serius. Apalagi jika politik ashabiyah dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Karena praktik politik dinasti sangat berbahaya, pemerintah dan legislatif harus merumuskan regulasi yang tegas (Biyanto, 2017).
Dinasti politik juga berhubungan dengan bagaimana kegagalan partai politik dalam menggaet masyarakat untuk berpolitik. Akar utamanya adalah gagalnya kaderisasi yang inklusif dalam internal partai sebagai wadah pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik sebagaimana UU No. 2/2008 tentang Partai Politik. Pada akhirnya, partai politik ikut serta mencalonkan tokoh berdasar politik kekerabatan (dinasti) itu.
Apa dampak dari semakin langgengnya politik dinasti? Tentu lebih banyak dampak negatif, karena politik dinasti akan mengaburkan atau bahkan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. Kita tentu sulit mengharapkan seorang anggota DPRD dari dinasti A mengkritisi ekskutif yang juga berasal dari dinasti A di mana mereka memiliki hubungan kekerabatan. Dan checks and balances yang buruk akan mengarah ke pratik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang tumbuh subur.
Ujian Demokrasi Lokal
Akan menjadi catatan tersendiri dalam perjalanan dan perkembangan demokratisasi di Indonesia apabila setiap gelaran pilkada selalu diwarnai dengan kehadiran politik dinasti dengan hegemoninya pada kontestasi politik lima tahunan itu. Politik dinasti dipastikan adalah bagian dari ujian untuk tatanan demokrasi tingkat lokal di negara ini. Bahwa selain kehilangan check and balances, politik berdasarkan dinasti juga berbahaya pada masa depan demokrasi negara-bangsa.
Pilkada sebagai ajang pergantian
kepemimpinan atas partisipasi warga negara
Meski berpartisipasi dalam politik menjadi hak konstitusi setiap warga, politik
dinasti terbukti rentan bermasalah persoalan memengaruhi tata kelola
pemerintahan, termasuk di tingkat daerah. Pusat riset kebijakan publik, The
Indonesian Institute (TII) menilai praktik politik yang mengandalkan kedekatan
ikatan kekeluargaan ini dinilai membuat mampetnya sirkulasi kepemimpinan di
daerah.
Politik dinasti akan membahayakan bagi proses konsolidasi dan pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Dikhawatir hal ini akan melemahkan partisipasi politik masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi proses pembangunan di daerah tersebut. Belum lagi beragam praktek KKN yang rentan terjadi di bawah payung dinasti politik yang terus tumbuh subur.
Kita lihat saja soal indeks demokrasi Indonesia masih berada di nomor 64 dari segi kualitas akibat berbagai macam persoalan yang tidak mampu diselesaikan lewat mekanisme pengambilan keputusan untuk kepentingan umum. Dalam hemat saya, salah satu faktor tidak meningkatnya indeks demokrasi Indonesia adalah proses demokratisasi dalam pengambilan kebijakan masih dikuasai-dan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
Politik dinasti akan terus eksis jika politik gagasan tidak ditransformasikan sebagai pemilik bersama. Selain itu, politik berbasis massa harus ditransformasikan ke dalam kekuatan politik internal untuk mengimbangi kekuatan politik berbasis genealogi. Jika tidak, hajatan demokrasi baik lokal dan nasional hanya akan dimiliki kelompok yang punya jejaring politik kekerabatan.
Apalagi di tengah kondisi pasca munculnya pandemi Covid-19 di mana kita sedang menuju tatanan dunia baru yang berdampak langsung terhadap kehidupan demokratisasi pada negara-negara berkembang. Agar kita bisa menjadikan pilkada bukan hanya sebagai sesuatu yang normatif saja, tapi punya makna dan memiliki nilai etis dalam demokrasi.
——————————————————————————————————
*Husen Baffadal, Diirektur KPPH dan Lawyer di Jakarta