S i m p l y da F l o r e s
Menjelang akhir bulan Juni hingga awal Juli 2021, saya berkesempatan ada di kota Ende, Flores, NTT dengan beberapa sahabat untuk satu kegiatan pertemuan budaya. Tepat tanggal 30 Juni soreh hari, kami berkunjung ke Taman Bung Karno, dekat pantai Lapangan Perse Ende.
Ada beberapa cerita yang menarik sehingga mendorong saya menuliskannya. Cerita tentang kota Ende dan pohon Sukun dalam hubungannya dengan Sang Proklamator, Ir. Soekarno, juga Danau Kelimutu dan ‘Nusa Nipa’ – nama asli Pulau Flores.
Kota Ende dan Pohon Sukun
Sejarah bangsa mencatat bahwa pada tahun 1934-1938, Ir. Soekarno, Sang Putra Fajar diasingkan oleh Penjajah Belanda ke kota Ende – pulau Flores. Aktivitas politik Ir. Soekarno dan kawan-kawan untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda menjadi sebab pengasingan tersebut. Kota Ende di pulau Flores saat itu, masih sederhana dan jauh dari keramaian. Keadaan transportasi darat dan laut saat itu masih sangat terbatas. Karena itu, pilihan kota Ende diyakini bisa menjauhkan Ir. Soekarno dari kawan-kawan perjuangan dan pasti sulit untuk berkomunikasi dengan kawan-kawan di Jawa serta memperoleh informasi.
Ternyata berbeda apa yang dibayangkan penjajah Belanda. Justru ada banyak pengalaman bermanfaat bagi Ir. Soekarno untuk perjuangan. Dia membangun komunikasi dengan masyarakat setempat, sampai bisa membentuk kelompok sandiwara – toneel, lalu melatihnya dan mementaskan belasan karya sandiwaranya. Sandiwara yang berisi pesan semangat perjuangan dan cita-cita kemerdekaan. Hal ini lebih jauh akan saya tuliskan terpisah dengan judul ‘Serambi Bung Karno’ di kota Ende.
Lalu soal Pohon Sukun. Dari rumah pengasingan Ir. Soekarno, berjarak sekitar 300 meter, ada lapangan sepak bola dekat pantai, ada satu tempat yang menjadi kecintaan Sang Proklamator untuk duduk. Duduk di bawah rindang dan sejuknya pohon sukun. Dari sini, beliau bisa memandang laut Sawu yang biru membentang, debur ombaknya di pasir pantai berbuih putih siang dan malam, dan pesona kota kecil Ende yang dibentengi gunung Ia – Meja dan Wongge.
Pengakuan Bung Karno dalam sejumlah tulisannya, yakni di bawah pohon sukun ini adalah salah satu tempat renungan tentang bangsa dan negara, dan khusus tentang Pancasila.
Pohon sukun zaman Bung Karno merenung itu telah layu, kering dan tumbang tahun 1970, lalu Sang Penggali Pancasila, Putra Sang Fajar itu wafat 21 Juni tahun 1971.
Pada tahun 1972, ada seorang ibu, Mama Maria Parera Gadi Djou, berinisiatif menanam kembali pohon sukun, untuk mengingat sejarah penting Bung Karno di kota Ende dan Ilham Pancasila bagi bangsa Indonesia dan dunia. Pohon sukun itu tumbuh sejuk segar sampai sekarang, dalam taman Pancasila Bung Karno, yang tertata rapih hingga saat ini, di samping lapangan Perse Ende.
Kelimutu, Lio dan Nusa Nipa
Topik yang kedua yang tidak kalah menarik dari diskusi dengan teman-teman selama di kota Ende adalah tentang Danau Kelimutu, Lio dan Nusa Nipa. Ketiga hal istimewa yang menarik bagiku.
Danau Kelimutu yang terkenal itu kembali ditegaskan bahwa inilah lokasi sangat istimewa sebagai satu-satunya keajaiban alam di dunia. Ada tiga danau yang unik dan berubah-ubah warnanya, dengan nama lokal masyarakat Lio yakni Tiwu Ata Bupu (danau orangtua), Tiwu Ata Nuwa Muri ( danau orang muda), Tiwu Ata Polo (danau Suanggi – orang jahat). Danau Kelimutu sungguh warisan ajaib alam bagi manusia di dunia. Karena itu, sepantasnya diperlakulan istimewa pula oleh semua pihak sebaga satu-satunya keajaiban dunia. Harus dijaga, dilestarikan dan didayagunakan dengan istimewa pula.
Bagi masyarakat adat budaya Lio, yang mendiami area terbesar di Kabupaten Ende, Danau Kelimutu menjadi sangat istimewa secara adat budaya, karena dipercaya sebagai tempat peristirahatan terakir arwah semua orang yang sudah mati. Ada ritual untuk para penjaga alam di danau Kelimutu dan ritual bagi arwah orang mati disana. Lebih dari itu, diyakini bahwa disinilah rumah bersemayam Sang Pencipta – Dua Nggae – Ibu bumi, Bapa Langit.
Jika demikian, patut dan harus disebut bahwa Danau Kelimutu adalah warisan super istimewa dan ajaib secara alam dan budaya spiritual, baik bagi masyarakat adat Lio maupun masyarakat dunia – Lio memiliki identitas kultural dan khasanah kearifan lokal yang masih dijaga serta dihidupi hingga saat ini.
Dari cerita dan testimoni beberapa teman yang berasal dari Lio, ada beberapa hal menarik. Masyarakat adat Lio percaya bahwa segala bangsa di dunia berasal dari Lio. Ritual dan tradisi adat menjelaskan tentang keyakinan tersebut. Kampung adat, tempat ritual dan religiositas masyarakat Adat Lio bisa dijumpai hingga sekarang. Sejumlah ilmuwan sudah meneliti dan mempublikasi bukunya. Beberapa generasi pewaris sedang berusaha menjaga, memperkuat dan melestarikan seluruh warisan tersebut untuk generasi penerus.
Nusa Nipa adalah nama dari masyarakat adat Lio untuk pulau Flores. Arti Nusa Nipa adalah Pulau Naga. Dinyatakan dalam bahasa adat Lio bahwa Nusa Nipa – Pulau Naga itu Kepalanya menjunjung matahari terbit bersinar di Timur, ekor naga itu ada di barat pulau Flores – mata hari terbenam.
Dari hasil penelitian budaya pastor Piet Petu, SVD, ditemukan ada aneka nama di setiap komunitas adat yang ada di pulau Flores, dengan arti yang sama yakni Pulau – bumi – tanah Naga – Sawaria.
Nama yang berarti Pulau Naga ada dalam bahasa adat masyarakat Lamaholot – di wilayah kabupaten Alor, Lembata dan Flores Timur yakni Nuha Ula. Masyarakat Adat Krowe dan Tana Ai di Kabupaten Sikka menyebut Nuhan Naga Sawaria. Masyarakat Manggarai menyebut nama Nutja Lale.
Berbagai ritual dan bentuk fisik Naga serta Sawaria- Phyton dijumpai dan dipercaya Masyarakat Adat yang mendiami pulau Flores.
Nama pulau Flores yang dikenal dalam peta umum adalah nama yang dipopulerkan dari zaman penjajah Portugis, Flora da Cabo, lalu diterjemahkan sebagai Pulau Bunga – Pulau Flores.
Banyak hal yang menjadi kekayaan pengetahuan bagi saya, serta topik istimewa untuk ditelusi serta dipelajari lebih lanjut.
Saya merasa bangga terlahir di pulau Flores – Nusa Nipa, yang kaya akan Keajaiaban alam serta keanekaragaman komunitas masyarakat adat. Ada harapan dan keyakinan akan adanya semangat dan kecintaan generasi muda pewaris di setiap komunitas adat budaya Nusa Nipa untuk menjaga dan menghidupi warisan luhur budaya serta mensyukuri berkah Sang Pencipta di tanah Naga ini.
Semoga modernitas dan gencarnya pariwisata dengan digitalisasi, tidak melunturkan dan meniadakan warisan alam dan budaya yang ada; karena tokoh adat budaya dan generasi muda pewarisnya masih terus menjaga dan menghidupi identitas diri dan keunikan adat budaya yang ada.
Nusa Nipa – Pulau Naga, tidak saja menjadi keajaiban alam lingkungan dunia, tetapi sekaligus warisan keunikan keragaman adat budaya bagi peradaban dunia.
——————–
*Simply da Flores, Staff SANNIMAS-Direktur Yayasan Harmoni