Oleh Fr. Frano Kleden, SVD
Ledalero, tingkat tiga, 2016. Saya pertama kali bertemu dia, seorang pria dengan penampilan sangat sederhana, dengan pembawaan diri dan gaya bertutur yang sekali didengar, kita bisa tahu ia seorang yang asli rendah hati sekali.
Dia baru saja menyelesaikan studi S3 Sosiologinya di Australia dan pulang mengajar mata kuliah wajib “Sosiologi Agama” bagi mahasiswa tingkat empat STFK Ledalero. Pada saat yang sama, mata kuliah pilihan “Seminar Menafsir Akar Fundamentalisme” ditawarkannya juga. Beberapa anak Ledalero yang tertarik mengkaji tema-tema seputar fundamentalisme (agama), globalisasi, demokrasi dan etika ekonomi “rame-rame” memilih mata kuliahnya. Seingat baik saya, yang dari Ritapiret hanya satu orang, Andye Naga.
Waktu itu, mengambil mata kuliah baru, duduk di ruangan kuliah yang diampuh oleh dosen baru seperti Tuan Lipus, adalah sesuatu yang istimewa sekali. Ini merupakan kesempatan emas, jangan dilepaslewatkan begitu saja. Baru selesai studi doktor, isi kepalanya pasti masih “panas”. Dan kita tentu bisa dapat banyak pengetahuan baru, begitu harapan beberapa anak Ledalero yang memilih mata kuliahnya.
Mata kuliahnya ia sajikan dalam bentuk seminar. Kami dibagi dalam kelompok-kelompok kecil, dan setiap kelompok diberikan tugas untuk membawakan seminar setiap minggu. Tema seminar diaturnya dengan jelas. Dia beri kami satu artikel ilmiah bahasa Inggris yang panjangnya bisa mencapai sepuluh halaman, lalu kami diminta untuk menerjemahkan artikel tersebut, memahaminya dengan benar dan membuat seminar berdasarkan teks tersebut.
Saya lupa judul teks asli bahasa Inggris nya, tapi waktu itu saya dan Oby da Gomez bertugas membahas artikelnya Bernard Adeney-Risakotta berjudul “Globalisasi dan Agama dari Perspektif Orang Indonesia”. Ini judul aslinya. Dalam seminar kami, judul ini secara sengaja kami ubah menjadi “Membincangkan Globalisasi dan Ambiguitas Agama dalam Konteks Negara Indonesia”. Yah, supaya kedengaran lebih ‘seni’, unsur ilmiahnya lebih kuat, dan yang paling utama jauh dari unsur-unsur plagiarisme.
Seminar dan diskusi berjalan baik. Tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan dari forum bisa diantisipasi dengan baik. Kesempatan terakhir diberikan kepada dosen mata kuliah untuk berbicara. Tuan Lipus maju ke depan, mengambil mic dan berbicara.
“Seminar hari ini bagus sekali. Kedua pemateri sepertinya kerja keras sekali. Mereka tidak hanya menjelaskan isi artikel penulis (Bernard Adeney-Risakotta) kepada kita semua, tapi yang sudah mereka buat, lebih dalam dari itu. Ada banyak sekali improvisasi, tambah-tambah bumbu yang nyaris buat tema seminar hari ini lari keluar dari maksud teks penulis asli.” Semua tertawa mendengar Tuan Lipus yang dengan senyum-senyum kecilnya mengevaluasi kami waktu itu. Di dalam hati, saya sempat menggerutu, “Tuan Lipus mungkin tidak terlalu suka atau juga tidak terlalu paham tentang seni-nya berhermeneutik”.
Sudahlah. Ini jadi pelajaran penting bagi saya. Di kemudian hari saya akhirnya mengerti, ternyata membaca teks bahasa asing itu tidak berarti lurus-lurus menerjemahkan kata per kata dari teks. Ia lebih menyangkut bagaimana kita bisa menangkap inti dari sebuah teks dan menjelaskannya dengan bahasa sendiri. Tapi sekali lagi ingat: jangan keluar jalur!
Beberapa minggu setelah itu, menjelang liburan semester genap tiba, Tuan Lipus memanggil saya ke kamar. Ketika pintu kamar ia buka, seperti seorang ayah dan anak, dengan dialek khas Flores Timurnya, ia mengundang saya masuk.
“No, saya rencana mau tulis satu buku tentang budaya Lamaholot!” Ia membuka percakapan. “Tuan mau tulis tentang apa le?” saya bertanya penuh antusias.
“Coba kita gali kembali pepatah-pepatah bahasa Lamaholot yang sudah mulai jarang digunakan lalu buat perbandingannya dengan teks-teks Biblis!”
“Ah, ide bagus tu, Tuan. Saya siap bantu. Tapi bagaimana cara buatnya?” “Kita buat penelitian ka! Kita terjun ke kampung-kampung di Flores Timur lalu cari tahu pepatah sebanyak mungkin”.
“Oke Tuan. Siap!”
Besoknya saya coba buat pendekatan dengan teman-teman mahasiswa STFK yang berasal dari Flores Timur (yang tentu bisa mengerti dan bicara bahasa Lamaholot). Semua bergabung, yang studi S1 filsafat maupun S2 teologi, yang frater maupun yang awam semua beri respon positif. Kami lalu buat pertemuan bersama dan putuskan untuk terjun ke tiga paroki di ujung timur Flores: Waiklibang, Riangpuho, dan Koten.
Kami dibagi dalam kelompok. Dua minggu kami terjun ke lapangan, ada bersama masyarakat. Pulang penelitian, kami berkumpul kembali. Semua pepatah yang terkumpul kami gabung jadi satu. Kami rumpunkan secara tematis. Dalam rencana selanjutnya kami coba untuk temukan ajaran Biblis yang selaras dengan tema-tema pepatah, lalu selanjutnya, menyitir kembali kata Tuan Lipus, akan dibuat semacam sebuah teologi naratif.
Waktu itu boleh dibilang proyek kami baru seperempat jalan. Kami baru berkumpul menggabungkan semua pepatah yang terdata dan membuat tematisasinya. Tidak lama setelah itu, berita menyedihkan datang. Tuan Lipus jatuh sakit. Stroke merenggut ingatannya, hilang sama sekali.
Beberapa kali saya berkunjung ke kamarnya, mencandai dia, “Tuan, masih ingat kita punya penelitian kah? Cepat sembuh eh supaya kita lanjut mukut lagi ka!”
Tatapannya kosong. Tak ada satupun kata ataupun respon. Dia sudah tak ingat apa-apa. Saya, teman-teman peneliti, rencana bersama kami, semuanya hilang dari ingatannya. Hingga hari ini, ketika Tuhan memanggilnya pulang. Ia tetap tak ingat apa-apa.
Tuan, terima kasih aja-aja untuk jasa moe (Tuan, terima kasih banyak atas jasamu). Knekat raé knebi dekit, bleli raé more horét (pisau tertancap di dinding, daun koli terselip di tempat simpan parang). Sejarah yang Tuan buat di sini tidak akan hilang.
Sampai jumpa di keabadian!