Oleh Cicilia Damayanti, Pengajar di Universitas Indraprasta PGRI-Jakarta dan Alumna Doktoral STF Driyarkara
Pendahuluan
REVOLUSI industri yang terjadi dewasa ini telah mengubah wajah dunia. Industri 1.0 menjadikan mesin sebagai pengganti manusia dalam bekerja. Terutama dengan ditemukannya mesin uap. Revolusi ini berlanjut ke era 2.0, di mana produksi massal mulai terjadi. Hal ini menimbulkan dampak bagi kaum buruh karena merasa telah diperbudak oleh kaum kapitalis, para pemilik modal. Pada era 3.0 terjadi otomatisasi dalam banyak hal. Di mana penggunaan mesin semakin intens. Manusia mulai tergantung IT yang mengacu pada penggunaan listrik. Sehingga bila listrik padam, dunia seakan kiamat. Saat ini manusia sedang memasuki era 4.0, yang mengacu pada internet of things (IoT). Di era ini terjadi ketergantungan yang tinggi pada penggunaan internet. Segala hal dalam hidup manusia tersambung pada jaringan internet yang mengacu pada penyebaran data secara massif dan berkelanjutan.
Bagi Luciano Floridi (1964- ), seorang filsuf etika informasi dari Itali yang sekarang menetap di Inggris, saat ini dunia sedang memasuki era teknologi yang berlapis-lapis. Mengapa? Karena semakin lama hidup manusia semakin tidak bisa lepas dari teknologi. Bagaimana manusia saat ini dengan handphone di tangan bisa menguasai dunia? Internet of things (IoT) telah menjadikan hidup manusia tidak lepas dari teknologi. Dari raga sampai mental sekarang dapat terukur. Manusia telah bertranformasi menjadi kumpulan dari berbagai sumber informasi (data).
Informasi Komunikasi Teknologi (ICT)
Berbicara tentang teknologi tidak bisa dilepaskan dari filsafat. Meskipun saat ini filsafat terkesan ketinggalan zaman, sebab dianggap tidak dapat mengikuti permasalahan yang terjadi di sekitar arus teknologi. Apakah filsafat kemudian tidak dibutuhkan lagi? Tentu saja tidak, filsafat masih memiliki peran yang penting dalam masalah manusia dan teknologi. Khususnya untuk tetap menjadi solusi yang kritis dan kreatif, semakin terbuka dan terus berdialog tentang perubahan zaman.
Kelemahan filsafat yang dirasakan saat ini adalah terlalu dipusatkan pada konsep. Sementara saat ini perkembangan teknologi menuntut perubahan yang sangat cepat. Sehingga filsafat dituntut untuk dapat terbuka pada hal yang praktis (applied). Saat berbicara tentang ontologi, ilmu ini terpusat pada eksistensi dan realitas. Sementara pada teknologi eksistensi dan realitas manusia sudah berubah. Sebab teknologi menciptakan segala hal yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Apa yang dapat filsafat lakukan untuk mengatasi hal ini?
Luciano Floridi, dalam buku The Philosophy of Information (2011) dan The Ethics of Information (2013), mencoba menghadirkan ontologi baru (re-ontologizing) yang disebutnya Informasi Komunikasi Teknologi (Information Communication Technology – ICT) . Dewasa ini informasi hadir dalam segala lini kehidupan. Dia menyebutnya sebagai infosphere yakni neologisme yang berbasis biosphere. Suatu dunia baru yang dihuni manusia di mana informasi adalah denyut nafasnya. Informasi menguasai dunia manusia, yang tanpanya manusia merasa tidak berarti. Bayangkan bila kita ketinggalan handphone. Rasanya dunia runtuh seketika karena semua informasi penting ada di handphone. Jadi saat ini orang akan berpendapat lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone.
ICT merupakan ontologi baru yang lahir sebagai efek dari perkembangan hal-hal teknis. Awal mula kehadirannya ditandai dengan perubahan dari sistem analog ke digital. Kemudian berkembang karena manusia semakin membutuhkan ruang digital yang semakin besar (munculnya cloud yang menggantikan hardisk). ICT tidak hanya mengubah gambaran, bangunan, atau struktur sistem yang ada, melainkan juga sifat alami manusia (intrinsic nature). Kemunculan nanoteknologi dan bioteknologi telah mengubah wajah dunia dewasa ini. Dan penelitian ini sudah terjadi di Indonesia. Kalbe Farma sudah memulai penelitian dalam bidang DNA untuk mengatasi masalah kesehatan manusia (http://kalgendna.co.id/). Seperti yang pernah dilakukan Angelina Jolie saat dia berusaha menghapus DNA kanker dalam tubuhnya yang diturunkan dari orang tuanya. Ada problem etis yang belum dapat kita pecahkan saat ini. Apa yang dulu tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba ada dihadapan kita. Apa yang terjadi dengan dunia manusia ditengah arus ICT ini?
Pribadi Vs Publik
Hidup dalam era teknologi telah memunculkan sumber daya yang baru, yakni sumber informasi. Telah terjadi pembalikan yang sangat signifikan dan terus berlanjut hingga saat ini. Dulu informasi sulit di dapat, terutama saat internet belum muncul. Kita akan kesulitan mengirimkan berita yang sangat penting tepat waktu. Sementara itu, saat ini informasi tersedia secara melimpah. Dan ini mengubah pola komunikasi kita. Dulu kita akan senang bila bersosialisasi tatap muka. Sekarang kita akan lebih suka berkomunikasi melalui aplikasi.
Saat hari raya, dulu kartu ucapan bahkan kehadiran akan dinanti. Dan yang terjadi sekarang orang akan lebih memilih mengirim teks ucapan selamat melalui media sosial. Lebih mudah, cepat, dan efisien. Dunia manusia berubah menjadi dunia yang serba instan. Apa dampaknya? Penyebaran informasi yang merata dan cepat ini juga ikut menyebarkan data pribadi manusia. Dan ini menyangkut tentang keamanan hidup kita. Saat kita mengendari mobil dan masuk ke jalan tol, sistem secara otomatis telah mendeteksi nomor handphone kita. Dan sistem big data menyebabkan manusia secara sukarela menyerahkan data pribadinya. Saat ini handphone milik kita sudah terhubung dengan kartu identitas kita. Jauh sebelumnya, kartu identitas ini sudah terintegrasi dengan data-data yang paling pribadi: sidik jari, mata, suara. Sehingga saat nomor handphone kita terdeteksi, secara otomatis data kita sudah diketahui.
Pernahkah anda menerima pesan teks dari orang yang tidak dikenal untuk meminta pulsa, transfer ke rekening tertentu, atau bahkan mendapat telepon dari agen insuransi untuk meminta anda menjadi nasabahnya? Dan saat ini pemerintah pun melakukan hal tersebut. Mengirimkan pesan teks ke handphone tentang informasi penting mengenai kejadian yang terjadi saat ini. Darimana mereka mengetahui nomor kita? Melalui sistem big data yang sudah menjadi bagian hidup manusia saat ini. Dan hal ini kadang mengganggu kita. Kehidupan pribadi kita seolah menjadi milik bersama. Manusia sedang memasuki era masyarakat yang saling terhubung. Bahasa manusia menjadi seragam: bahasa algoritma. Kehadiran kita saat ini terukur dari data. Handphone telah menjadi kartu identitas kita yang baru dan selalu up to date. Handphone menjadi alat vital untuk kita bisa diterima dalam suatu masyarakat. Manusia sudah menjadi sumber informasi bagi manusia yang lain, termasuk juga pada hal yang artifisial.
Inforg
Manusia hidup dalam dunia di mana interaksinya serba digital (equally digital). Bagi Floridi, saat ini manusia sedang menuju sebagai organisme yang terhubung dengan informasi. Dia menyebutnya sebagai inforg.
Interaksi manusia dalam dunia saat ini terjadi tidak hanya melalui sesamanya, tapi juga melalui para agen artifisial. Sehingga friksi ontologi dalam wilayah dunia informasi dibuat sangat kecil, bila perlu tidak ada sama sekali (frictionless infosphere). Kemajuan teknologi menyebabkan bersatunya sumber digital dengan alat digital itu sendiri. Kita akan sulit membedakan mana yang prosesor dan mana proses terjadinya (processed). Dan ini juga menimbulkan hilangnya perbedaan antara dunia daring dan luring. Sebab infosphere telah terserap ke dalam hidup manusia. Hal ini menjadikan teknologi sebagai bagian nafas hidupnya yang baru. Smarthome merupakan penemuan yang mengawinkan aplikasi dengan benda-benda rumah tangga untuk memudahkan hidup manusia. MP3 yang kita miliki saat ini akan ketinggalan jauh dibandingkan milik anak-anak generasi digital. Sebab pemutar lagu milik mereka sudah jauh lebih maju. Ada kerja sama yang sangat hebat antara dunia digital (artifisal) dengan aplikasi MP3. Alat ini akan otomatis merekomendasikan musik baru yang harus mereka dengar dari track musik tersebut (tunes). Kulkas masa depan akan terhubung dengan internet of things (IoT). Dan keajaiban terjadi, saat kita membuka kulkas akan muncul informasi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memasak makanan. Dan bila kehabisan bahan akan langsung terhubung dengan website supermarket terdekat. Sehingga bahan-bahan tersebut dapat terkirim ke rumah. Dunia kita akan terhubung dengan aplikasi pada internet yang bisa diakses melalui handphone. Seperti yang terjadi saat ini melalui aplikasi pedulilindungi.id. Bila kita tidak memiliki handphone, kita akan kesulitan untuk mengakses sertifikat vaksin covid-19. Yang menandakan bahwa kita tidak dapat diterima di suatu tempat karena dianggap belum vaksin, meskipun sebenarnya sudah.
Saat ini kita hidup di dalam lingkungan infosphere yang tersinkronisasi (waktu), tanpa sekat (ruang), dan saling terhubung (komunikasi). Generasi setelah kita adalah manusia-manusia yang “melek” digital. Sehingga jurang pemisah antara kita dan generasi selanjutnya adalah kegagapan kita dalam menerima koloni para agen artifisial(MASs) dalam hidup bersama. Masalah apa yang akan terjadi? Kesenjangan yang terjadi bukan lagi pada masalah sosial ataupun status manusia saja, melainkan sudah merambah pada masalah pemahaman digital. Orang kaya akan dilihat dari seberapa banyak informasi yang dia miliki (inforg). Semakin banyak informasi yang didapat, semakin mudah untuk menguasai dunia. Tidak ada lagi kesenjangan antara negara berkembang dan maju. Sebab kita sedang memasuki masa depan yang penuh dengan keruwetan dan kekumuhan digital (digital favela). Dunia teknologi yang ada tidak saja membantu kita beradaptasi, tetapi juga sudah mendidik para penggunanya untuk “melek” digital. Dan ini yang menyebabkan manusia semakin tergantung pada teknologi, khususnya informasi.
Informasi menjadi hal penting bagi manusia untuk saling terhubung. Komunikasi menjadi hal penting saat ini. Sebab dengan berkomunikasi informasi semakin tersebar. Di sini Floridi melihat bahwa manusia menjadi sumber informasi bagi yang lain, menjadi koloni inforg yang baru. Mengapa yang lain? Karena saat ini kemunculan para agen artifisial sudah di depan mata. Mereka pun menjadi agen inforg bagi manusia. Teknologi sudah mendarah daging dalam hidup manusia. Ketergantungan yang dimiliki manusia bukan pada segi fisik semata, tetapi juga sudah merambah pada segi emosional. Saat ini artifisial buatan sudah dibuat semakin canggih dengan menciptakan gerakan tubuh dan emosi yang sama persis seperti manusia. Robot Kaspar, boneka Primo Puel, bahkan sex toy sudah dibuat menyerupai manusia. Peran afeksi manusia mulai digeser dengan kehadiran para agen artifisial ini. Mereka hadir untuk memberikan kasih sayang seperti yang diberikan manusia sesungguhnya. Bahkan terkadang mereka lebih canggih. Sebab manusia mempunyai kelemahan, bisa lelah, bisa moody, bahkan bisa pergi sesuka hatinya. Sementara para agen artifisial ini sudah diprogram untuk mengatasi kelamahan manusia ini. Mereka seolah menjadi manusia super yang menjadi pahlawan bagi manusia-manusia yang membutuhkannya. Kuat dan selalu hadir untuk manusia. Sehebat itukah mereka? Mari kita pikirkan sejenak. Mungkin mereka memang sudah diprogram sempurna, dan menjadi pahlawan bagi hidup kita. Bisa memenuhi afeksi yang kita butuhkan. Tetapi ada kelemahan yang tidak dimiliki para agen artifisial ini. Mereka mungkin bisa mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan dan mekanisme logika. Tetapi pertimbangan ini sudah terprogram, yang berarti memiliki kecenderungan untuk dingin dan kaku. Sementara itu manusia lebih fleksibel dan memiliki pertimbangan emosional dalam mengambil keputusan. Para agen artifisial ini di masa depan mungkin akan diprogram lebih canggih. Sehingga dapat memasukkan pertimbangan yang melampui konteks. Namun ada segi intrinsik yang akan butuh waktu lama untuk dapat ditiru para agen artifisial ini, yakni faktor emosional manusia yang kompleks. Tepat di sini terjadi ketegangan. Bukankah para agen artifisial ini diciptakan untuk membuat keputusan yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga dapat berjalan sesuai prosedur dan mereduksi emosi yang menjadi unsur subyektif dalam tindakan? Mampukah mereka memenuhi kebutuhan afeksi manusia yang lebih dalam lagi? Dan yang paling penting, para agen ini hidupnya tergantung pada listrik, bagaimana bila listrik padam?
Penutup
Kekacauan dunia digital yang sudah di depan mata ini sebenarnya telah diprediksi oleh F. Budi Hardiman, dalam tulisannya di Diskursus yang berjudul “Manusia Dalam Prahara Revolusi Digital (2018). Komunikasi yang terjadi telah meluas tidak hanya antar manusia tetapi juga dengan para agen artifisial. Hardiman mengakui bahwa saat ini komunikasi harus mulai ditata kembali. Pertama, melalui proses yuridiksi interaksi digital. Perlu ada undang-undang yang lebih tepat guna untuk menata ruang lingkup digital. Kedua, membangun moralitas ruang digital. Kita perlu menciptakan etika komunikasi digital untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat luas. Ketiga, solidaritas pengguna digital untuk mengantisipasi hoax secara komprehensif dan berkelanjutan. Keempat, penguatan kepemimpinan pluralis di era digital. Melalui penataan komunikasi digital, hidup bermasyarakat diharapkan semakin lebih memiliki kepekaan sosial untuk tetap menghargai martabat manusia yang lainnya. Di samping itu perlu dipikirkan juga tentang hubungan manusia dengan para agen artifisal. Kita tidak dapat menutup mata, kehadiran mereka cepat atau lambat akan menimbulkan masalah tersendiri. Mampukah kita bekerja sama dengan mereka? Atau lebih tepatnya mampukah kita menerima mereka sebagai bagian dari “manusia” lain dalam komunitas kita?.
*****************************************
keren tulisannnya