Cicilia Damayanti, Pengajar di Universitas Indraprasta PGRI – Jakarta dan Alumnus Doktoral STF – Driyarkara
Pendahuluan
Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia sebagai hasil kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama ini menjadikan Pancasila sebagai rumah yang menaungi kepentingan banyak orang. Kesepakatan ini tidak selalu berjalan mulus, penuh dengan perdebatan dan penolakan dari beberapa pihak. Meski demikian, proses tersebut berlanjut untuk menghasilkan kesepakatan bersama yang diharapkan dapat dilanjutkan oleh generasi penerus. John Rawls pernah berpendapat bahwa kesepakatan berdasarkan kesamaan dalam perbedaan (overlapping consensus) akan dapat dicapai, meskipun tidak otomatis. Keadilan dapat diraih bila orang-orang yang penuh pertimbangan (reasonable persons) bersatu untuk membuat kesepakatan berdasarkan kesamaan dalam perbedaan (Rawls. 1993, 48-9). Hal ini sudah dilakukan oleh anggota Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang kemudian menghasilkan Pancasila.
Sejarah Lahirnya Pancasila
Pancasila merupakan dasar negara khas yang dimiliki Indonesia. Sejarah lahirnya Pancasila penuh dengan dialog yang terbuka terhadap perbedaan. BPUPKI menjadi badan yang melahirkan dan mengesahkan Pancasila sebagai ideologi negara. BPUPKI melakukan sidang pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut, Sukarno menjabarkan lima sila sebagai dasar negara yang kemudian disebut sebagai Pancasila. Prinsip dasar dari sila-sila tersebut antara lain: 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme/Peri kemanusiaan, 3) Mufakat/demokrasi, 4) Kesejahteraan Sosial, 5) Ke-Tuhanan yang berkebudayaan.
Jalannya sidang tidak berjalan mulus sebab ada perdebatan pada sila pertama yang hendak menambahkan kalimat: Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluk-Pemeluknya. Sebab golongan Indonesia Timur, yang sebagian besar non-Muslim, menolak kalimat tersebut karena dianggap tidak mencerminkan keragaman Indonesia. Sehingga pada 22 Juni 1945 sila pertama diubah menjadi: Ketuhanan yang Maha Esa, dan disahkan bersama sila-sila yang lain pada tanggal 18 Agustus 1945. Kesepakatan untuk menciptakan Pancasila dibuat bersama perwakilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk dari golongan minoritas. Antara lain: 1) perwakilan tokoh Tionghoa seperti: Liem Koen Hian, Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Mr. Tan Eng Hoa, 2) Perwakilan Arab: AR Baswedan, 3) Perwakilan Indo-Belanda: PF Dahler, 4) Perwakilan Perempuan: Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito.
Gen-Z
Saat ini Pancasila menghadapi tantangan terbaru saat memasuki era teknologi 4.0. Tantangan terbesar adalah bagaimana mengajarkan Pancasila untuk kemudian diamalkan dan dijalankan oleh Gen-Z. Gen-Z adalah generasi yang lahir setelah Gen-Y antara tahun 1995 – 2010. Generasi dikenal sebagai generasi internet. Mereka selalu terhubung dengan dunia maya dan dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Generasi Z menggunakan ponsel pintar dan tablet secara alami. Karakteristik mereka antara lain: 1) Mahir teknologi dan suka berkomunikasi. Gen-Z dapat melakukan akses dengan cepat dan mudah sehingga dapat diandalkan dalam hal IPTEK. Dengan merebaknya internet membuat mereka mudah melakukan komunikasi. Media sosial menjadi sarana mereka untuk berkomunikasi dan berekspresi secara spontan, yang membuat mereka terkesan kurang sopan. 2) Gemar mengumbar privasi dan lebih mandiri. Semakin banyaknya media sosial dan jaringan internet yang memadai memudahkan mereka untuk berekpresi dan menunjukkan segala hal yang dialami. Mereka terbiasa mengabil keputusan secara mandiri tanpa melibatkan pertimbangan orang lain, dan lebih memilih untuk belajar dan berkembang sendiri. 3) Lebih toleran dan penuh ambisi. Mereka terbiasa menerima segala perbedaan yang ada dengan sikap lapang dada disertai sikap toleransi. Gen-Z dapat menghormati sesame orang dan lingkungan yang berbeda dengannya. Hidup mereka penuh semangat dan memiliki ambisi yang bergelora. Mereka tidak mudah berpuas diri dan selalu ingin terus berkembang. Mengejar impian adalah tujuan hidupnya dan kadang mengabaikan kepentingan orang lain. Karakter mereka individualistis dan egosentris karena selalu ingin memenuhi ambisinya (https://www.merdeka.com/jatim/pengertian-gen-z-serta-karakteristiknya-ketahui-agar-tak-keliru-kln.html). Lantas bagaimana kita bisa membantu mereka memahami nilai-nilai Pancasila?
Penerapan Nilai Pancasila yang Baru
Bagi Gen-Z, informasi merupakan media yang membantu mereka dalam menyerap pengetahuan sehari-hari. Untuk itu nilai-nilai Pancasila perlu diuraikan secara lebih up-to-date agar dapat membantu mereka menerima hal ini dengan baik. Berikut ini akan dijelaskan nilai-nilai Pancasila melalui berbagai macam pemikiran dan contoh yang mengikuti perkembangan pengetahuan Gen-Z.
Sila pertama: Ketuhanan yang Maha Esa. Berbicara tentang ketuhanan berkaitan dengan agama dan kepercayaan seseorang. Pada tahun 2000, di era pemerintahan Presiden Gus Dur, agama Khong Hu Cu resmi diakui oleh negara. Pengakuan ini tidak berhenti sampai di sini, Gus Dur kemudian juga memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama Khong Hu Cu, yang kebanyakan keturunan Cina, untuk menjalankan ibadah agamanya secara terbuka dan merayakan hari raya keagamaan mereka. Dampak dari peraturan ini membuat kita sekarang bebas melihat pertunjukkan barongsai, yang sempat dilarang di era Orde Baru. Di samping itu masih ada perjuangan masyarakat Badui yang berharap kolom agama KTP mereka bisa diisi dengan agama Sunda Wiwitan. Kita semua tahu identitas bangsa kita masih mengharuskan kolom agama untuk diisi. Masyarakat Badui keberatan bila harus mengisi salah satu dari 6 agama yang diakui pemerintah. Sebab menurut mereka itu bukan agama dan kepercayaan yang mereka anut, sehingga banyak dari orang Badui memilih mengosongkan kolom agamanya. Mahkamah Institusi di akhir tahun 2018 memutuskan bahwa kolom agama di KTP bisa diisi dengan “Kepercayaan”. Meskipun masyarakat Badui masih mengharapkan kolom agama mereka bisa diisi dengan Sunda Wiwitan, tetapi sebagian besar sudah dapat menerima. Sebab mereka membutuhkan KTP untuk keperluan administrasi sehari-hari, seperti mengambil bantuan dari pemerintah, mendaftarkan sekolah, atau untuk memiliki akta kelahiran (https://m.antaranews.com/amp/berita/809218/kolom-agama-ktp-warga-badui-diisi-penganut-kepercayaan)
Sila kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kemanusiaan berarti penghormatan terhadap nilai-nilai kesetaraan manusia. Manusia yang saling menghargai harkat dan martabat sesamanya. Bagaimana mewujudkan hal ini? Salah satunya dengan menghargai keragamaan semua manusia. Ketika kita berbicara semua manusia, berarti termasuk juga mereka yang berkebutuhan khusus dan para lansia. Apa yang mereka butuhkan dalam hidup? Menurut Martha Nussbaum (1947- ), seorang filsuf dari Amerika, orang berkebutuhan khusus dan lansia membutuhkan bukan uang semata, tetapi bagaimana orang tersebut dapat mengembangkan kemampuannya dengan menjadi apa yang diinginkannya (Nussbaum. 2006:164-170). Hal ini mengajak kita untuk memasukkan anak yang berkebutuhan khusus ke dalam kelas bersama dengan anak yang biasa. Tindakan ini dapat mengajarkan kepada anak-anak yang lain tentang keragaman. Kelas campuran ini dapat mengajak mereka untuk menyadari bahwa kelemahan orang lain merupakan bagian dari keragaman kemampuan yang dimiliki manusia. Pada hakikatnya pendidikan adalah kesempatan bagi setiap orang yang berhubungan dengan hak dan martabatnya sebagai manusia. Pendidikan menjadi sarana dan akses untuk memilih pekerjaan, memberikan suara dalam politik, dan menjadi posisi tawar-menawar yang kuat untuk menjadi diri sendiri. Situasi ini membutuhkan pengaturan publik yang baik dan budaya publik yang layak untuk memastikan orang lanjut usia dan orang berkebutuhan khusus tidak menjadi masalah bagi keluarga mereka. Kebijakan publik sebaiknya disebarkan agar pilihan untuk mengasuh orang yang diasuhnya menjadi pilihan nyata, bukan paksaan yang lahir dari ketidakpedulian sosial. Di sini terlihat bahwa dalam kepedulian ada tindakan timbal balik (reciprocity). Prinsip mendasar dalam kepedulian adalah tanggapan terhadap apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Negara berkewajiban untuk memperhatikan kebutuhan anak-anak (juga yang berkebutuhan khusus) dan para lansia.
Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Kita dapat belajar melalui Kartini, Kardinah, dan Roekmini. Tiga dara dari Jepara ini menggunakan daun semanggi sebagai simbol persatuan. Mengapa daun semanggi? Daun ini dipercaya sangat bagus untuk tulang, terutama untuk mencegah ostereoporosis. Ketika berbicara tentang tulang, kita sedang menggambarkan tentang penopang. Tulang adalah penyangga tubuh. Tulang yang kuat menghasilkan tubuh yang sehat. Persatuan perlu dijaga dan dipelihara agar kuat. Melalui simbol daun semanggi dari tiga dara ini, kita dapat belajar bahwa persatuan membutuhkan kerja sama, saling pengertian, saling menghormati, dan saling menjaga. Semua orang diharapkan dapat membuka hati untuk mau terlibat dalam masyarakat dan membangun kerja sama yang berkelanjutan. Sehingga persatuan Indonesia sungguh dapat lestari (https://amp.kompas.com/biz/read/2020/12/24/203555128/mengenang-sosok-kartini-kardinah-dan-roekmini-tiga-bersaudara-penentang).
Sila keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila ini terpusat pada permasalahan Hak Asasi manusia (HAM) yang masih menjadi perjuangan sampai sekarang. Para petani dari pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, sejak tahun 2016 terus memperjuangkan hak asasi mereka dengan menolak pembangunan pabrik semen di daerah Kendeng milik PT Semen Indonesia. Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2016 sudah memutuskan untuk menolak pembangunan pabrik semen tersebut. Tetapi sampai saat ini pembangunan pabrik semen tersebut terus berjalan. Mereka merasa menteri ESDM memiliki tendensi untuk menyimpang dari keputusan MA tersebut. Para petani Kendeng terus menggelar aksi di seberang Istana Presiden dengan menyemen kaki mereka. Tindakan ini sebagai simbol penolakan terhadap pengelolaan penambangan semen di daerah mereka. Para petani Kendeng berjuang untuk menyuarakan aspirasi mereka dengan cara damai yang diselingi dengan lagu dan musik gamelan. Bagi mereka lingkungan hidup harus dipelihara agar tetap lestari dan bisa dinikmati oleh generasi penerus. Mereka menuntut pemerintah membuat peraturan yang dapat menjaga kelestarian lingkungan. Mereka tidak melakukan aksi ini untuk diri mereka saja. Dalam benak mereka ada generasi penerus yang akan terus menghuni planet bumi ini. Mereka memikirkan generasi mendatang (https://tirto.id/ibu-ibu-petani-kendeng-tagih-penuntasan-kasus-pabrik-semen-c2XC). Gerakan menjaga kelestarian lingkungan juga digerakkan oleh kaum muda. Osin dari Nusa Tenggara Timur dan Aulia dari Jakarta Barat juga berjuang untuk mengatasi perubahan iklim yang makin dahsyat untuk menjaga peradaban manusia saat ini. Mereka berjuang bersama komunitasnya. Osin membuat alat desalinasi air laut sederhana untuk menyediakan air bagi hewan dan tanaman di lingkungannya. Dia berhasil membuat kontribusi untuk lingkungan sekitar, meskipun dalam skala kecil. Aulia mengajak teman-temannya membuat bank sampah, agar warga bisa mengumpulkan dan belajar cara memilah sampah (https://m.mediaindonesia.com/opini/428007/mencari-greta-bermuatan-lokal). Melalui para tokoh ini, Gen-Z diajak untuk bergerak bersama dalam menjaga lingkungan sekitar dan peduli pada generasi selanjutnya.
Sila kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan berarti kesetaraan semua orang. Saat berbicara tentang kesetaraan hal utama yang harus diraih adalah memberi kesempatan dan kebebasan bagi setiap orang untuk berfungsi dalam hidupnya. Bagaimana mereka bisa berfungsi di masyarakat? Salah satunya adalah dengan memenuhi kebutuhan mereka dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan kesehatan yang memadai. Sebab bila seseorang terdidik tapi tidak sehat tentu saja dia tidak dapat meraih cita-citanya. Sehingga keadilan dapat terwujud saat setiap orang dapat menjadi apa yang ingin dilakukannya. Hal terpenting adalah bahwa setiap orang berhak diperlukan sebagai tujuan, bukan sebagai sarana semata. Pekerja Rumah Tangga (PRT) menjadi contoh nyata yang sering mengalami ketidakadilan. Sebagai manusia mereka sering diperlakukan sebagai manusia kelas dua. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka tidak mendapat upah yang layak, jam kerja yang tidak menentu, dan tidak memiliki jaminan sosial maupun kesehatan. UUD 1945 sudah menegaskan bahwa setiap warga negara adalah sama di depan hukum. Tapi sampai saat ini tidak ada regulasi turunan dalam bentuk undang-undang untuk menghargai harkat dan martabat mereka sebagai manusia. Sehingga nasib mereka masih menjadi PR kita bersama untuk mewujudkan keadilan.
Penutup
Melalui kelima sila dari Pancasila ini diharapkan tumbuh semangat patriotisme untuk bangga pada bangsa dan negaranya. Tetapi tetap harus berhati-hati karena patriotisme dapat bermuka dua (Janus-faced). Wajah menghadap keluar menyatakan bahwa kita mempunyai tugas utama berkorban bagi kepentingan bersama. Sedangkan wajah yang menghadap ke dalam mengajak setiap orang untuk merasa hebat dan memisahkan diri dari orang lain di luar komunitas negara, menjadi subversif dan mengucilkan orang asing. Dalam hal ini patriotisme bersifat bipolar. Di satu segi mengikat setiap warga negara untuk bekerja sama dan berupaya menjunjung tinggi kesetaraan dan martabat manusia. Di segi lain menjadi tindakan untuk membela bangsanya secara fanatik. Sehingga membedakan dirinya dari orang yang tidak sama keyakinan dan pemahaman dengannya. Hal ini menyebabkan patriotisme tetap membutuhkan nalar kritis sejak awal dan berkelanjutan. Sebab, patriotisme sejati menuntut kebebasan untuk berpikir kritis dalam berpendapat.
Suatu negara terdiri dari kesepakatan bersama dengan semua warga yang menjadi bagiannya. Kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap warga negara. Pertanyaan yang mengusik adalah bagaimana setiap orang dapat berpendapat dan berserikat bila tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan kesehatan yang memadai? Pemeritah suatu negara berperan penting dalam mewujudkan hal ini. Tidak lupa setiap warga negara berhak untuk menjadi pengawas bagi jalannya pemerintahan yang bersih dan adil. Peran serta aktif setiap warga negara membantu jalannya demokrasi yang dinamis dan berkelanjutan. Sebab, negara adalah tempat setiap orang menerima keragaman dan keunikan setiap individu. Rumah bersama di mana setiap orang hidup damai dan sejahtera. Negara adalah tempat yang menerima setiap orang menjadi satu keluarga. Kedekatan ini masih menjadi perjuangan kita bersama untuk mewujudkannya, terutama dalam menghadapi keragaman yang ada di sekitar kita. Mampukah kita sebagai manusia yang berakhlak mulia menjaga dan melestarikan nilai-nilai kemanusiaan di tengah himpitan teknologi yang kian membuat jarak di antara kita? Melalui konteks yang sudah diuraikan tersebut kita akhirnya memahami bahwa aplikasi Pancasila terus bergerak dan berkembang dinamis. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bukanlah nilai yang kaku dan statis. Dalam praktiknya nilai-nilai tersebut terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, dan pastinya selalu untuk menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan sejahtera.
*****************************************************