Oleh Cicilia Damayanti, Dosen Universitas Indraprasta PGRI – Jakarta
Pendahuluan
Pancasila sebagai dasar negara yang lahir pada 1 Juni 1945, merupakan falsafah negara yang dipegang teguh oleh seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai yang dinamis dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Hal ini seperti dapat kita lihat pada pengakuan agama Khonghocu pada era Abdurahman Wahid (Gus Dur). Akan tetapi, kedinamisan nilai-nilainya ini kemudian menjadi perdebatan saat kita mengetahui bahwa banyak nilai-nilai Pancasila yang ternyata saling berbenturan. Seperti yang terjadi pada warga di Wadas, Purworejo, saat ini. Penduduk di sana menginginkan agar daerahnya tetap dipertahankan kealamiannya, tapi pemerintah melihat potensi desa tersebut dapat digunakan untuk kepentingan rakyat yang lebih banyak lagi. Peristiwa ini memperlihatkan kepada kita bahwa sila-sila dalam Pancasila dapat berbenturan. Bagaimana nilai persatuan kemudian dipahami lain oleh segelintir kelompok atau perorangan dan berbenturan dengan nilai kerakyatan. Di mana permusyawaratan pada sila keempat dapat digunakan untuk memuluskan tujuan yang dicapai atas nama persatuan. Kejadian ini menjadi pertanyaan kita bersama, mampukah Pancasila menjadi dasar negara yang bisa diterima dengan baik oleh seluruh rakyat Indonesia?
Fakta Sejarah
Mengapa kita perlu mempelajari sejarah? Belajar sejarah mengajak kita untuk menikmati proses yang terjadi dalam hidup, karena tidak semua hal terjadi secara instan, dan proses ini membantu hidup kita membangun masa depan yang lebih baik. Kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajaratun yang artinya pohon. Kata pohon memiliki makna percabangan geneologis kelompok keluarga yang mirip dengan pohon yang memiliki ranting, daun, serta akar. Kata syajaratun kemudian berkembang dalam bahasa Melayu menjadi syajarah.
Istilah sejarah dalam bahasa Indonesia menjadi turunan dari bahasa Melayu untuk menggambarkan silsilah atau keturunan. Sedangkan pengertian sejarah sebenarnya lebih sesuai padanannya pada kata historia dalam bahasa Yunani, yang berarti keilmuan, ilmu, atau orang pandai. Dalam bahasa Inggris menjadi history dari kata istoria yang berarti belajar dengan cara bertanya.
Kata istoria menjadi cikal bakal berkembangnya kajian ilmu dan pembelajaran yang sifatnya kronologis atau dikaji berdasarkan tempo atau urutan waktu. Sedangkan merujuk dari bahasa Jerman, kata Geschichte dan geschidenis, atau historie dalam bahasa Belanda, memiliki arti kejadian yang dibuat oleh manusia.
Fakta pada sejarah ditampilkan melalui tafsiran yang jelas dan terperinci. Hal ini untuk memberi pendefinisian yang jelas sehingga tidak mengalihkan fakta yang sebenarnya. Kisah dari ingatan-ingatan yang disarikan dari berbagai sumber kemudian ditafsirkan. Penafsiran ini yang kemudian disampaikan kembali kepada generasi selanjutnya yang tidak mengalami kejadian tersebut. Kisah sejarah ini disampaikan sesuai konteks zaman agar mudah dipahami oleh generasi selanjutnya.
Manusia tidak sepenuhnya mengingat seluruh kejadian di masa lalu yang pernah dialaminya, sehingga menyebabkan banyak peristiwa sejarah yang tidak terungkap seutuhnya. Untuk merekam sejarah, biasanya menggunakan media tulisan. Tulisan tersebut menjadi bukti konkret atas sejarah dibandingkan yang disampaikan secara verbal. Hasil tulisan sejarah inilah yang dijadikan sumber pengetahuan untuk diteliti, dianalisis, atau dikembangkan lagi.
Unsur sejarah terdiri dari manusia, waktu, ruang, dan kausalitas. Peristiwa lahirnya Pancasila, misalnya, menjadi peristiwa penting bagi bangsa Indonesia. Di mana pada masa itu banyak tokoh yang terlibat di dalamnya untuk menemukan ideologi bangsa. Tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 menjadi kurun waktu yang menjadi batasan sejarah itu dimulai atau diakhiri secara jelas dan sistematis. Gedung Cuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila) di jalan Taman Pejambon, Jakarta Pusat, menjadi tempat di mana unsur sejarah ini terjadi. Gedung ini menjadi tempat beraktivitas para tokoh pada waktu itu untuk melahirkan Pancasila. Gedung ini kemudian mempermudah pembaca generasi selanjutnya untuk memahami sebuah peristiwa sejarah yang terjadi secara utuh. Fakta ditemukannya para tokoh minoritas, seperti kaum Tionghoa, Arab, Indo, bahkan kaum perempuan yang ikut terlibat dalam pembentukan Pancasila, menjadi data deskriptif yang akan memicu keingintahuan pada peristiwa sejarah tersebut.
Para tokoh yang terlibat dalam suatu sejarah sering menjadi panutan dan dikagumi oleh generasi masa itu, saat ini, maupun sesudahnya. Tindakan kepahlawanan seseorang atau kelompok tertentu yang kemudian mengubah hidup ke arah yang lebih baik, menjadikannya terus dikenang sepanjang masa. Untuk itu generasi muda perlu diajak untuk memahami para tokoh tersebut dengan lebih baik. Sebagai contoh saat mereka mengagumi Sukarno, mereka perlu diberi informasi dan data yang faktual tentang siapa Sukarno, tindakan apa yang sudah dilakukannya, dan lain sebagainya. Informasi ini membantu mereka untuk melihat tokoh panutannya secara lebih jelas dan mengikuti teladannya yang baik.
Pelajaran sejarah bermafaat sebagai: 1) peneguh hati untuk menjalani hidup, sehingga dengan memahami sejarah membantu manusia memaknai hidupnya saat ini, 2) penuntun hidup bagi manusia untuk melakukan sesuatu di masa depan, menjadi bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam hidup, 3) peringatan bagi seseorang untuk memetik sinyal dalam situasi tertentu berdasarkan kejadian yang sudah pernah terjadi, 4) sumber kebenaran untuk menjalankan kehidupan agar dapat bertahan hidup, 5) sumber informasi yang menginspirasi dan menginstruksi manusia untuk menjalani kehidupan di masa depan yang lebih baik.
Asal-Usul Nama Indonesia
Bagaimana kita dapat membenci seseorang atau suatu peristiwa sejarah bila kita tidak mengetahui dengan baik kisah dibalik sejarah itu sendiri? Seperti pernyataan bahwa Indonesia dijajah kolonial selama 3,5 abad memiliki makna yang rancu. Kita perlu menelusuri sejarah untuk menemukan kebenarannya. G.J. Resink dalam buku Bukan 350 Tahun Dijajah menyebut bahwa penjajahan 350 tahun adalah konstruksi politik kolonial yang dimasukkan ke dalam kurikulum sejarah pendidikan. Padahal saat itu banyak negara dan kerajaan di Nusantara yang belum pernah ditaklukkan oleh Belanda.
Istilah “Indonesia” baru muncul pada abad 19. Berasal dari kata “Indus” (Hindia) dan “Nesia” (Kepulauan), yang digagas oleh pengacara Inggris James Richardson Logan dan ahli geografi George Windsor Earl. Istilah “Indonesia” dipopulerkan sebagai istilah akademik oleh etnografer Jerman, Adolf Philipp Wilhelm Bastian (1826-1905). Nama Indonesia digunakan secara politis pertama kali pada tahun 1920.
Nama Indonesia lahir sebagai hasil dari politik etis pihak Belanda atas desakan dari para tokoh humanis dan sosial demokrat di Belanda. Para Mahasiswa perantau dari Hindia Belanda yang mengenyam pendidikan di Belanda mendirikan sebuah perkumpulan untuk saling bertukar cerita tentang tanah air. Nama perkumpulan ini adalah Indische Vereeniging (Perhimpunan India) yang didirikan oleh Sutan Kasayangan dan R.M. Noto Suroto pada tahun 1908. Perkumpulan ini bergerak dalam bidang sosial dan kebudayaan, lalu menjurus ke arah politik.
Aktivitas politik ini sebagai imbas dari kedatangan para aktivis yang dibuang ke Belanda pada tahun 1913. Mereka adalah Soewardi Soeryaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker, yang mengkritik pemerintah Belanda melalui pendirian partai bernama Indische Partij.
Kehadiran Mohammad Hatta membuat Indische Vereeniging semakin berani menyelenggarakan kegiatan politik. Pada tahun 1922 perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Perubahan nama ini mengubah arah perkumpulan ini menjadi suatu organisasi politik. Kata “Indonesia” tidak lagi diartikan secara geografis, tetapi memiliki kekuatan politis. Istilah “Indonesia” untuk menunjukkan bahwa mereka tidak ingin dikenal sebagai kelompok berdasarkan etnis, seperti Jawa, Minangkabau, Sunda, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1924 Perhimpunan Indonesia tidak lagi menggunakan bahasa Belanda. Perkumpulan ini kemudian menerbitkan majalah yang kemudian diberi nama Indonesia Merdeka. Dalam majalah tersebut, mereka menyebutkan bahwa pemakaian nama “Indonesia” memberikan ciri pada kepribadian. Kata “merdeka” menjadi tujuan dan usaha untuk menciptakan Indonesia yang merdeka. Pada tahun 1926 nama “Indonesia” semakin diperkenalkan di dunia Internasional. Pada saat Bung Hatta menghadiri Kongres Gerakan Perdamaian Internasional di Paris, dia semakin meyakinkan dunia internasional mengenai keberadaan Indonesia baik secara geografis mapun politis.
Bahkan Resink memperkirakan bahwa Indonesia hanya dijajah Belanda selama 40 tahun, dan itupun tidak di seluruh bagian Indonesia yang kita kenal saat ini. Bahkan Ratu Belanda juga membedakan antara daerah jajahan Hindia Belanda dengan Negara-Negara Pribumi di Nusantara Bagian Timur, yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
NKRI Harga Mati
Indonesia merupakan negara republik yang mengedepankan kesatuan. Slogan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan harga mati dan harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Hal ini pun tertuang dalam UUD hasil amandemen keempat dalam pasal 37 ayat 5.
Mangunwijaya, seorang rohaniwan yang peduli pada masalah kemanusiaan, pernah berkata bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan pegangan yang tepat bagi suatu negara federal. Apa itu negara federal? Negara federal adalah suatu negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara bagian dari negara serikat. Perbedaan dengan negara kesatuan ada pada tugas pemerintah pusatnya. Pemerintah pusat pada negara federal hanya bertugas mengurusi hal-hal yang bersifat nasional, seperti politik luar negeri, fiskal, pertahanan dan keamanan. Negara bagian memiliki wewenang untuk mengurusi masalah dalam negerinya sendiri, seperti hukum, keuangan, politik, dan kebijakan publik.
Pada negara kesatuan, seperti yang dianut bangsa Indonesia, pemerintah pusat memegang kendali penuh atas setiap daerah yang ada di wilayah negaranya. Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat tetap terbatas dan di bawah kontrol pemerintah pusat dalam mengelola segala aspek keuangan, infrastuktur, pendidikan, kesehatan, hukum, dan sebagainya. Kebijakannya dibuat seragam untuk mengakomodasi kepentingan yang beragam dari setiap daerah. Seperti kebijakan pemerintah untuk membuat sawah baru yang mengalihfungsikan hutan sebagai penghasil oksigen.
Bangsa yang berjumlah hampir 300 juta penduduk cenderung sulit untuk diatur secara efektif dengan damai dalam suatu sistem sentralistik. Bahkan Mangunwijaya sendiri pernah berujar hanya seorang diktator bertangan besi saja yang mampu memimpin. Tindakannya ini bahkan dapat menuntut tumbal darah dan air mata dari rakyatnya.
Bung Hatta, seorang tokoh proklamator, pernah mengajukan ide federalistik yang digabungkan dengan ide desentralisme. Hal ini untuk melahirkan generasi muda yang sentralistik, untuk memulai wacana serius, studi dan diskusi logis, tetapi dengan penjabaran yang tajam.
Pada 1 Juni 1948, Pandji Ra’jat memuat sebuat tulisan yang berjudul “Perbedaan Antara Federalis dan Unitaris”. Artikel tersebut menyebutkan bahwa aliran persatuan (federalis) menghendaki agar setiap daerah atau tempat yang berbeda budaya, adat istiadat, dan bahasa menyatu dalam suatu pemeritahan. Artikel ini hendak menunjukkan bahwa setiap daerah ataupun negara mengurus urusan dalam negerinya sendiri-sendiri, tetapi tetap bersatu dalam perserikatan pemerintah pusat.
Negara Djawa Timoer menjadi salah satu contoh negara federal di Indonesia saat itu. Negara ini lahir berdasarkan resolusi Konferensi Djawa Timoer di Bondowoso, 23 November 1948. Pembentukan Negara Djawa Timoer merupakan upaya bagi masyarakat Djawa Timoer untuk berusaha sekuat dan seluas tenaga sendiri memajukan kemakmuran masyarakat yang ada di sana. Mandat ini merupakan amanat dari masyarakat Djawa Timoer dan bukan merupakan sesuatu yang diberikan oleh pemerintah kolonial.
Penutup
Sebagai generasi penerus, saat ini kita ditantang dalam menghadapi perubahan yang massif dan cepat. Apakah kemudian nilai Pancasila dan NKRI harga mati masih relevan untuk kita? Apakah kemudian kita akan menggantinya?
Mengganti ideologi negara tidak semudah membalik telapak tangan. Keringat, darah, dan air mata mewarnai peristiwa kelahiran Pancasila. Kita semua tahu sejarah Pancasila keruh dan kusut, dan hal ini menantang kita semua, terutama generasi Z. Kita semua memiliki kekecewaan dan gugatan pada berbagai rezim penguasa yang menjadikan Pancasila sebagai alat, terutama untuk melanggengkan kekuasaannya. Saat ini kita dapat menuntut pemerintah, dalam hal ini Arsip Nasional, untuk membuka akses bagi publik yang ingin membaca salinan stenografi sidang-sidang BPUPKI. Tindakan ini untuk menunjukkan bahwa pemerintah terbuka pada elemen-elemen yang berhubungan dengan sejarah Pancasila.
Kehidupan multikultural yang saat ini kita jalani, membuat kita mempertanyakan kembali makna kesatuan. Meskipun kita memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, apakah kemudian dapat kita jadikan pegangan sampai saat ini? Untuk itu menyelidiki sejarah bangsa sangat perlu dilakukan oleh generesi muda. Fakta sejarah perlu ditelurusi. Ada baiknya generasi muda mempelajari sejarah budaya yang berbeda dari orang tuanya. Mempelajari sejarah akan lebih mengenai sasaran dengan masuk ke dalam hidup sehari-hari budaya tersebut. Menghormati keberagaman sangat penting dilakukan, mengingat kemajemukan budaya dan agama yang kita miliki saat ini. Sehingga saat kita mengadopsi makna kesatuan, kita sudah paham tentang keragaman yang kita miliki. Sebab keragaman itu bukan untuk diseragamkan, tetapi untuk membuat hidup semakin kaya dan bermakna dalam kebersamaan.
————————————————————–
Referensi
https://www.qureta.com/post/menuju-republik-indonesia-serikat
https://amp.tirto.id/umur-pendek-negara-jawa-timur-bBLD
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-sejarah/amp/