“ADA banyak hal yang sulit dibicarakan tanpa prasangka, tetapi kebudayaan barangkali merupakan salah satu pokok soal yang paling kuat ditandai prasangka. Salah satu sebabnya ialah karena dalam sifatnya kebudayaan merupakan suatu apriori untuk setiap orang, sehingga setiap usaha untuk memikirkan, memajukan dan melakukan perubahan kebudayaan sekaligus merupakan produk dari kebudayaan orang-orang yang terlibat dalam usaha tersebut. Kebudayaan selalu menjadi juga cultural paradigm (konsep cultural paradigm dipakai di sini dalam arti sebagaimana yang dipergunakan oleh C. Geertz dalam bukunya, Negara: The Theatre State in Nineteen Century Bali, Princeton: Princeton University Pres, New Jersyey, 1980) bagi seseorang yang akan menentukan bentuk dan sudut penglihatannya berdasarkan apriori kognitifnya dan sekaligus mempengaruhi jenis dan arah pilihan yang diambil berdasarkan preferensi nilai yang dianut dalam kebudayaan bersangkutan. Karena walaupun kita selalu dihantui tanggung jawab dan kewajiban untuk memberi sesuatu kepada kebudayaan, kita pada dasarnya lahir dan besar sebagai penerima kebudayaan dari generasi yang terdahulu. “Kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” kata seniman “Gelanggang”, di mana kebudayaan diturunkan sebagai notre heritage n’est precede d’aucun testament (warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat – Hannah Arendt, Between Past and Future, N. Y.: Penguin Books, 1978). Rene Char, penyair dan penulis Prancis yang baru saja dikutip kata-katanya, tentu saja mau mengatakan bahwa pada mulanya kebudayaan adalah nasib dan baru kita memanggulnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan itu, sebelum kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya. Pada dasarnya kita adalah pasien kebudayaan sebelum kita mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu bagi kebudayaan kita, sebetulnya kita telah mengalami pergeseran tertentu dalam apriori kognitif dan preferensi nilai dalam sistem kebudayaan kita. Dengan kata lain, telah terjadi pergantian warisan yang satu dengan warisan lain, ketika kita menjadi pasien bagi suatu kebudayaan baru.” ( Ignas Kleden, “Pembaruan Kebudayaan: Mengatasi Transisi” dalam Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, LP3ES,1987).
Menjawab pelbagai pertanyaan atas soal-soal kebudayaan di atas, pada Sabtu, 2 April 2022, Institut Kebudayaan Lembata (IKaL) mengadakan serial ke-3 Diskusi Kebudayaan dengan tema “Sastra dan Kebudayaan Lembata”. Serial ke-3 Diskusi Kebudayaan ini terselenggara atas kerjasama Institut Kebudayaan Lembata (IKaL) dengan Direktorat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Direktorat Jendral Kebudayaan Kemendikbudristek RI. Diskusi ini mencoba menggali lebih dalam beberapa tema menarik diantaranya apakah ada sastra Lembata dan kalau ada apa bentuknya?, mestikah sastra terlibat dalam kehidupan masyarakat?, apa pesan untuk generasi sekarang dengan mempelajari sastra?, bagaimana sikap kebudayaan (termasuk kebudayaan daerah) dalam menghadapi modernisasi?. Tampil sebagai pemateri dalam Talk Show diskusi yakni: Dr. Yoseph Yapi Taum (Penyair, Peneliti Sastra Lisan dan Pengajar Sastra di Universitas Sanatha Dharma), Dr. Budi Kleden, SVD (Teolog dan Kritikus Sastra), Trie Utami (Penyair, Seniman dan Penggiat Budaya), Dr. Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI), Moderator: Ursula Natali Langouran, MC: Monika N. Arundhati. Berandanegeri.com menyajikan rangkumannya.
Yoseph Yapi Taum: Lembata dan Sastra Lisan
Yoseph Yapi Taum dalam bukunya Studi Sastra Lisan (Lamalera, 2011) mendefinisikan Sastra Lisan sebagai sekelompok teks yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, yang secara intrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok masyarakat tertentu.
Penyebutan sastra untuk sebuah etnis tertentu selalu berkaitan erat dengan bahasanya. Di Lembata terdapat dua bahasa besar yakni bahasa Lamaholot dan bahasa Kedang. Maka di Lembata terdapat dua model sastra yakni sastra Lamholot dan sastra Kedang. Sastra Lamholot mementingkan pola paralelisme dengan rumusan di dalam percakapan-percakapan ritual adat. Sastra Lamaholot memiliki tradisi kuat dengan model penceritaan yang disebut “Koda-Kiring”. Oreng adalah sebuah contoh ekspresi sastra Lamaholot yang mementingkan pola paralelisme dengan rumusan percakapan ritual yang memiliki nilai keindahan.
Dalam sastra Lamaholot jarang dijumpai dongeng atau cerita rakyat. Sastra Lamaholot dapat ditelusuri pada puisi-puisi rakyat Tutu-Marin yang dituangkan dalam puisi-puisi lisan.
Sastra Lamaholot, selalu mementingkan pola paralelisme dengan rumusan di dalam percakapan-percakapan ritual adatnya dengan model Wua Matan (ada pasangan paralel).
James Fox pernah mengadakan penelitian di kawasan Timur Indonesia dan menyebutkan bahwa di kawasan Indonesia Timur: Flores, Timor dan Ambon adalah wilayah penyebaran sastra paralelisme dengan model Wua-Matan. Dalam sastra Lamaholot dapat kita jumpai contoh sastra dengan model Wua-Matan. Sastra Lamaholot menggunakan kata Lera Wulan-Tanah Ekan (Lera-Wulan: Matahari-Bulan, kekuatan langit, Tanah Ekan: kekuatan bumi) sebagai satu entitas. Dalam konsep sastra Lamaholot dengan model Koda-Knalan dengan pasangan paralel Lera Wulan – Tanah Ekan diartikan sebagai Tuhan sekalian alam-Tuhan yang Maha Esa.
Budi Kleden: Sastra yang Terlibat
Sastra lisan lahir dari religiositas masyarakat. Ada tautan yang erat antara religiositas, sastra dan agama. Religiositas dan agama adalah dua hal yang berbeda. Religiositas adalah tanggapan (respon) seseorang atas pengalaman dengan yang Ultim (yang Ilahi) tanggapan dalam bentuk perasaan, pikiran, imajinasi, ketika orang berhadapan dengan pertanyaan yang sulit dijawab dalam hidup dengan kerapuhannya sendiri dan juga yang menakjubkan. Blaise Pascal menamai religiositas sebagai “du coeur” yaitu cita rasa yang mencakup totalitas ( rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Pada dasarnya religiositas mengatasi agama yang tampak formal dan resmi. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan, ajaran, ritual.
Kalau agama kehilangan kontak dengan religiositas maka agama menjadi museum yang mati, sesuatu yang tidak menginspirasi. Agama baru menjadi hidup bila tetap ada kaitannya dengan religiositas. Dalam gereja Katolik misalnya dikenal istilah sensus fidelium-rasa keagamaan. Rasa keagamaan bisa menemukan ekspresi dalam ajaran baku dan perlu ada kontak yang hidup antara rumusan agama yang baku dengan rasa keagamaan yang dihidupi oleh umat. Sastra lahir dari religiositas dan juga agama yang ada. Komumitas agama mempunyai sastra. Komunitas agama yang ada di Lembata juga mempunyai kekayaan sastra yang lahir dari pengalaman religius.
Baik sastra, religiositas maupun agama menghadirkan yang ideal. Dalam menghadirkan yang ideal ia ibarat cermin. Kalau kita berhadapan dengan cermin kita melihat kenyataan diri kita. Dengan melihat kenyataan diri kita, juga mengundang kita untuk melihat apa-apa yang perlu kita perbaiki. Melihat realitas sekaligus melihat apa yang harus diperbaiki. Pada titik inilah kritik sosial masuk. Berhadapan dengan yang ideal kita melihat apa yang kurang, yang tidak indah, apa yang tidak utuh, apa yang tidak benar dan ini adalah kritik sosial yang terungkap baik dalam agama, religiositas maupun agama. Karena itu baik sastra, religiositas maupun agama mempunyai muatan kritik sosial yang tinggi.
Trie Utami: Sastra sebagai Cara Simpan Ilmu Pengetahuan
Sastra lisan tidak hanya dilihat sebagai legenda, dongeng atau cerita rakyat. Sastra lisan bisa dilihat dalam konteks ilmu pengetahuan. Sastra tidak hanya mengandung nilai-nilai religiositas namun nilai-nilai yang terkandung didalamnya adalah sebuah cara simpan ilmu pengetahuan. Sastra tidak hanya dilihat sebagai dongeng, legenda, atau kisah tutur. Sastra lisan misalnya harus dilihat sebagai cara leluhur kita menyimpan dan membagikan pesan. Diperlukan kemampuan membaca, menerjemahkan, menafsir apa yang leluhur kita simpan sebagai karya sastra. Kita perlu memakai cara baca yang berlapis. Sebagai contoh di Jawa Barat ada tujuh tanda baca yang dipakai untuk mendapatkan suatu cerita baik yang disimpan di dalam naskah-naskah lontar, legenda maupun dogeng. Ke tujuh tanda baca itu adalah silip, sindar, sampir, siloka, sandi, sasmita, dan sunyata. Ketujuh tanda baca ini dipakai untuk mendapatkan suatu cerita baik yang disimpan di dalam naskah-naskah lontar, legenda maupun dongeng. Sebuah dongeng, mitos, legenda bila dibaca dengan tujuh tanda baca itu maka kita akan menemukan banyak aspek. Kadang-kadang leluhur kita menyimpannya di dalam nama-nama tempat. Begitulah cara simpan leluhur kita tentang apa yang perlu diwariskan. Kita mempunyai aksara-aksara dimana itu menjadi kode bagi penyimpanan-penyimpanan ilmu pengetahuan. Karena nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra-sastra lisan sebagai cara simpan pengetahuan kita bisa menemukan sistem ekologi, kemudian kita bisa menemukan sistem sosial, ada pengobatan dan juga sains (dalam bahasa lama bukan sains dalam pengertian mutakhir).
Saat ini kita dituntut untuk melihat bahwa apa yang ditinggalkan oleh leluhur kita harus bisa dibahasakan dalam bahasa hari ini. Tugas kita adalah mengadakan gerakan untuk menggali, mendokumentasikan, mereinterpretasi dan mencoba merektualisasi dengan mengadakan pemutakiran nilai-nilai yang kita anggap lampau. Inilah yang mungkin bisa kita lakukan tidak saja membangun sebuah desain thinking tetapi juga sebuah desain doing.
Sastra di Lembata mesti dibaca dengan kritis bahwa dia tidak sekedar dongeng, atau legenda tapi sastra itu mesti mampu kita reinterpretasi ke masa kini untuk dibawah ke masa depan sebagai titik pijak.
Hilmar Farid: Kebudayaan dan Modernitas
Mendokumentasikan karya sastra lisan adalah tugas kita yang paling mendesak. Hal ini dipacu dengan keadaan dimana para penutur sastra lisan yang usianya semakin uzur. Regenerasi sastra lisan juga sangat bervariasi. Ada daerah-daerah yang anak mudanya terlibat sungguh dalam regenerasi sastra lisan dan ada daerah-daerah yang regenerasi berjalan lambat.
Mendokumentasikan sastra lisan bukanlah perkara yang sederhana. Biasanya orang menggunakan rekaman guna mentransfer sastra lisan in. Kesulitan yang dihadapi adalah mesti dipastikan soal bunyi dan nuansa tidak hilang saat pendokumentasiaan dilakukan.
Dalam sebuah kebudayaan terdapat tiga hal penting yakni sistem ide-ide, sistem tingkahlaku dan perwujudan benda- benda budaya. Baik ide-ide, pola tingkahlaku, dan benda-benda materiil akan dipandang pertama-tama sebagai produk sebuah kebudayaan. Soal penting yang mesti kita sama-sama pikirkan tentang sebuah kebudayaan (juga kebudayaan di Lembata) adalah soal penerimaan kebudayaan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar. Ketika sebuah kebudayaan menghadapi pengaruh dari luar maka yang dapat dilakukan adalah kebudayaan itu memilih untuk menentang perubahan dan mempertahankan identitasnya ataukah kebudayaan itu menerima perubahan dan mengembangkannya lebih jauh ( soal ini bisa dilihat dalam novel Lembata ketika Pedro menawarkan apakah bisa hosti dan anggur digantikan dengan jagung titi dan moke, lihat novel Lembata – Lamalera 2011). Kebudayaan dituntut untuk mencari maknanya dalam hubungannya dengan berbagai segi kehidupan manusia. Kebudayaan mesti mampu memperbaharui dan mengembangkan dirinya dengan nilai-nilai baru yang relevan dengan kemajuan zaman. ( Paskalis Bataona )
—————————————————————————————————-