Oleh Frans Laba Bataona
THOMAS MERTON, penulis Amerika yang produktif pada zamannya pernah mengungkapkan pandangannya: ”No Man is An Island” bahwa manusia secara pribadi sekali pun tidak bisa hidup sendirian lepas dari korelasi dan kolaborasi dengan orang lain. Manusia sebagai makluk sosial perlu mengejahwantahkan dirinya lewat komunikasi dan kerjasama timbal balik dengan pribadi lain, dengan masyarakat dan dunianya secara sadar dalam mencapai kepribadian penuh secara utuh dan menyeluruh. Manusia bukanlah sebuah dunia isolasi total. Tidak ada seorang manusia pun bisa diibaratkan dirinya sebagai sebuah pulau terpencil.
Bagaimana identitas diri dan sikap hidup saudara-audara kita orang Bajo di perairan Lewoleba Lembata, NTT menghadapi badai zaman yang begitu hebat dalam derasnya arus modernisasi ini? Mari kita ikuti laporan ini secara utuh dan lengkap sampai tuntas.
Banyak suku bangsa dikawasan nusantara ini awet hidup dalam kekhususanya walaupun modernisasi begitu hebat digalakkan. Hanya mereka yang mampu mengenal diri mampu bertahan tehadap badai zaman. Kekhususan pernyataan diri dan tingkahlaku sosial tidak harus luntur ketika harus berdampingan dengan pengaruh dari luar. Masalahnya bukan sekedar embel-embel tetapi masalah budaya. Masalah budaya sebagai identitas memang tidak begitu saja terhapus dengan satu-dua kali penataran; semua nilai sosial dan budayanya telah menggumpal menjadi unsur-unsur yang menentukan apa identitas dirinya. Sejarah telah mencatat ungkapan klasik “Rule Britania Rule the Waves” (Kalau mau kuasai Inggris taklukkan dulu ombak samuderanya). Ada juga pameo yang berbunyi “Ambillah kudanya dan dia bukan orang Kozakc lagi. Ungkapan yang sama dapat diterapkan pada orang Bajo. Ambillah perahunya maka dia bukan orang Bajo lagi.
Segi dalam dari suku bangsa yang satu ini memang tidak banyak yang tahu meskipun mereka hidup begitu dekat dengan masyarakat kita. Yang kita tahu mereka itu pelaut yang tangguh dan penyelam “bernapas penyu” berikut rumah-rumah panggung di lepas pantai yang mengejahwantahkan kecintaan kepada laut yang melepas bebas. Hal-hal yang disebut terakhir ini dijalin dalam satu ungkapan orang Flores yang utuh ,padu, pas dan bernas: “Bajolao”. Begitu sedapnya ungkapan Bajo dan Laut dieja dalam satu helaan napas.
Senja di Sabu Na Puar
Orang Flores Timur pernah mengenal lagu Tina Le yang popular pada tahun 60-an. Sebuah lagu yang tidak lain berangkat dari tragika kehidupan sebuah keluarga Bajo yang bunyinya antara lain sebagai berikut.
E.. Nasib sayang kerogo bao le…(Aduh…nasibmu sayang seperti rumput laut..hanyut)
e…bao dore mo ole lali nai.. Tina le… (hanyut mengikuti arus ole ke barat)
E..Tina..Tina le…(Oh Tina..Tina)
Tina ake molega doan bai ..(Tina le… Jangan pasiar jauh-jauh)
Puken Tina…ra belo beke ka…(Karna Tina..nyawa terancam.. dan..dimusuhi)
E…Tapi tuen mo balik hala le..Tina le…(Dipanggil-panggil tapi kau tak akan Kembali)
Pengarang lagu mengambil titik pandang wanita lereng gunung Ile Mandiri yang menjadi ibunya Tina yang terancam nyawanya karena Tina anaknya telah lari memgikuti sang ayah. Tema yang sama telah diangkat oleh seorang sutradara pada tahun 70-an yang sempat menggebrak panggung kota Larantuka dengan judul drama yang cukup sentimental: Senja di Sabu Na Puar.
Seharusnya mata batin kita lebih awas bahwa bukan masalah penculikan oleh ayahnya yang harus dipersoalkan tetapi bahwa tanah daratan adalah bukan tempat buat Tina berdarah Bajo itu. Masalahnya lebih sebagai masalah budaya daripada sebagai masalah moral. Meskipun dalam praktiknya kedua masalah ini dapat dibedakan tapi tak dapat dipisahkan. Di atas sudah dikatakan bahwa sebagian besar hidup masyarakat Bajo terbatas antara atap-atap kajang rumah perahu dan rumah-rumah panggung di lepas pantai yang relatif rerpisah dari daratan.
Panggilan Jiwa
Di atas sudah disinggung bahwa hal ini sedikit banyak merupakan panggilan jiwa suku Bajo. Gejala lain yang perlu disebutkan ialah bahwa mereka bisa saja hadir di banyak tempat tanpa harus tercerabut dari akarnya: Bajo Naim, Bajo Torosinaim, Bajo Flores, Bajo Lembata, Bajo Filipina dan sebagainya. Ini..Hidup yang melepas bebas ini tidak berarti bahwa masyarakat Bajo sebagai suatu kelompok sosial tidak mengenal hukum. Setiap warga Bajo merasa dipanggil untuk mengemban tugas yang sifatnya melanjutkan sejarah peradaban leluhur. Justru pada titik inilah letak fanatisme, membuka diri suatu suku bangsa. Orang merasa mengkianati leluhur kalau harus melangkah di luar jalur tradisi yang sudah telanjur mapan. Mengolah tanah, sekolah, media masa, modernisasi tidak merangsang orang Bajo, karena warisan tradisi lekuhurnya tidak mengenal hal-hal demikian. Hidup yang tepergantung pada rezeki hari ini mungkin hal yang aneh bagi Anda dan saya tetapi tidak untuk orang Bajo. Ini tidak berarti mereka harus memusuhi modernisasi. Dalam arti modernisas merupakan milik orang “Bagai” ( Istilah untuk menyebut orang di luar kelompok “Sama” / kelompok orang Bajo sendiri). Dan dengan mengetahui istilah-istilah warisan tradisi modern tersebut mereka telah memenuhi kewajiban dalam larik sejarah kelompok mereka. Seorang anak Bajo dididik secara demikian untuk melihar dunia “Bagai” melalui istilah-istilah yang ditujukan padanya. Atau yang didengarnya sehari-hari dan di kemudian hari akan diajarkannya kepada anaknya sendiri. Bagi orang Bajo sendiri pandangan serupa ini merupakan wujud sebuah komunikasi yang diam.
Dan sekaligus merupakan suara orang Bajo sendiri terhadap dunia luat. Kita harus bisa mengerti hal ini karena dengan cara ini sejarah mereka diceritakan. Cara hidup Bajo di sustu lautan memisahkan mereka dengan dunia lainnya dan di mana penderitaan yang jarang muncul dalam lagu rakyatnya menjadikan suku bangsa Bajo orang yang damai,penuh tekad hidp dan yakin bhwa mereka masih merupakan bangsa Bajo. Kedewasaan mereka tidak pernah akan membuat bangsa Bajo menolak bangsa “Bagai”. Mereka membuka diri, coba tahu dan mengerti kehadiran dunia yang sekarang, dunia yang sedang meraih mereka, dunia modern. Hal-hal modern yang yang melanda seperti benda-benda, kapal-kapal, impian, media masa, para ahli Antropologi, menempatkan mereka pada suatu persoalan bermata dua. Mereka tergiur tapi sebaliknya sangsi akan keuntungan yang dapat diperoleh. Keterbukaan itu ada tetapi mereka selalu terbentur pada kesadaran tentang siapakah mereka sesungguhnya., bahwa mereka adalah orang Bajo. Menjadi orang Bajo berarti hidup seadanya di tengah laut, dan berpasrah sepenuhnya pada nasib dan keberuntungan. Orang Bajo sendiri mengidentifikasi diri dengan “kesederhanaan”. Bagaimana mungkin jala-jala bikinan Jepang yang sering mereka percakapkan itu bisa diharapkan, jika mereka sadar bahwa hal ini akan merombak kebudayaan mereka? Bukankah ini sama saja dengan membongkar kepribadian mereka secara cukup drastis? Mereka bisa menertawakan keterbatasan mereka dibandingkan dengan kelompok lain. Mereka bisa tertawa tentang anak-anak mereka yang cuma pintar memancing. Mereka akan tunduk dan menyebut diri keras kepala, bahwa hidup ini terlalu berat baginya, bahwa hidup di daratan akan lebih ringan tetapi dia tidak tinggal di darat.
Sekolah
Orang Bajo yang mewakili suatu kesatuan suku bangsa, kesatuan bahasa, yang bebas dari pengaruh pihak mana pun juga. Ruang tempat tinggal dan sejarah berkaitan secara mesra. Kalau kita mau berteman, mau mengenal, mau mengerti dan menghormati orang Bajo maka kita harus mempu mengerti bahwa terpencar-pencarnya mereka merupakan suatu nilai budaya mereka sendiri. Hal ini juga menunjukkan kecendrungan mereka untuk hidup secara bebas sebebas-bebasnya. Ini juga berrti bahwa dari pihak kita dibutuhkan suatu hati yang lebih lapang untuk memahami keengganan mereka untuk mengalah kepada yang lebih berpengaruh. Nada dasar yang perlu kita bidik iahlah bahwa oang Bajo tidak mau mendengar suara-suara dari luar. Jangan heran kalau salah satu sarana yang paling efektif bagi pembangunan mental warga Negara, adalah hal yang ditolak orang Bajo sejak dulu yaitu sekolah. Menurut mereka Sekolah mencerminkan suatu tradisi asing: Ia mengganggu tradisi yang telah ada. Sekolah harus dihindari atau paling kurang jangan terlalu sering dikunjungi. Pengetahuan menangkap ikan berarti pengetahuan untuk kelangsungan hidupnya, jauh lebih penting dari pengetahuan apa pun. Sekolah adalah hal yang baik tapi bukan untuk orang Bajo. Apa yang terjadi dengan budaya dan bahasa Bajo kalau mereka harus berhadapan dengan suatu cara hidup daratan.
Itulah sekelumit perkenalan dengan segelintir anak tanah kita sendiri, yang begitu akrab dengan hidup kita tapi tetap dalam suatu keterasingan yang tidak bakal berakhir dengan membangun jembatan penghubung antara daratan dengan rumah mereka. Mengunjungi sekolah berarti harus tinggal di darat.
Boleh saja kita berangan-angan demikian, tetapi mungkin perlu kesabaran ekstra hingga beberapa generasi mendatang. Semoga tulisan ini menjadi perkenalan untuk lebih mengakrabi dunia mereka dari dalam yang selama ini walau tidak bertetangga sebelah rumah tapi bertetangga perahu di atas laut yang sama, dengan arus, ombak, batu karang dan matahari yang sama. Itulah hembusan hari-hari indah bersama saudara kita orang Bajo di perairan Lewoleba, Maumere, Labuan Bajo dan di mana saja. Itulah nada hidup orang Bajo yang berhembus hari demi hari bagai camar di tiang kapal, mengarungi nasib bagai karogo bao le yang hanyut mengikuti arus air berlalu (bdk. majalah Prisma Februari 1979)
Yogyakarta, 26 Januari 1980
NB. Maaf kalau ada bahasa peyorasi yang salah ditutur dalam tulisan ini.
* Frans Laba Bataona, Pengajar dan Filolog