LAUT, tasik adalah simbolisme yang kuat tentang kehidupan dan penjelajahan manusia. Di kuping anak-anak yang lahir dan besar di pinggir pantai, deburan ombak adalah panggilan untuk menuju ke dunia yang luas dan dalam. Ada godaan untuk bertualang tergiang dari dalam hempasan ombak yang menyemtuh bibir pantai. Laut adalah lambang kebebasan yang mengundang fantasi melanglang buana dan menggugah daya nalar untuk menukik ke kedalaman. Bukan seperti daratan, bagi masyarakat tradisional laut tidak mengenal batas. Bagi orang-orang Lamalera, melaut adalah sebuah pekerjaan yang syarat bermuatan religius seperti kehidupan itu sendiri. Melaut merupakan sebuah ritual. Dan ritus adalah sarana pertemuan, bukan hanya pertemuan antara yang ilahi dan yang insani, tetapi ritus juga mempererat kesatuan di antara yang insani. (Budi Kleden, “Beriman bersama Laut: Dari Laut menuju Tuhan – Dari Tuhan Menuju Laut” dalam Menuju Titik Balik, Esai-esai tentang Teologi dan Sastra: Lamalera 2022).
Sebuah ritual yang dilakukan oleh orang-orang Lamalera setiap tanggal 30 April adalah ritual melarung lilin. Ritual ini di dahului dengan Perayaan Ekaristi (Misa Arwah) yang diadakan di pantai Lamalera guna mengenang orang-orang Lamalera yang meninggal di laut. Misa Arwah adalah cara orang-orang Lamalera merawat relasi dengan Tuhan dan para keluarganya yang telah meninggal di laut. Dengan Misa Arwah orang-orang Lamalera menyerahkan dan memasrahkan sanak saudaranya yang meninggal di laut ke dalam belas kasih Tuhan. Tuhan bagi orang-orang Lamalera, meminjam Rudolf Otto, dipandang sebagai yang fascinosum dan termendum – yang misterius, menarik serentak menggetarkan. Pada abad ke-5 Santo Agustinus sudah mengucapkan perasaan yang sama tentang Tuhan: “Dan aku gemetar dengan kasih dan ngeri”. (Paskalis Liko Bataona)