Oleh RD Poya Lucius Hobamata, Imam Keuskupan Pangkalpinang
Natal selalu istimewa. Ia istimewa karena dirayakan di ujung ziarah setelah setahun menyusuri lorong-lorong kehidupan dalam terang dan gelap, menghirup berbagai aroma wangi dan busuk, merasakan aneka persitiwa yang terkadang membuat seseorang berjalan tegak, terkadang pula harus merayap menyatu debu. Dalam pergulatan dengan aneka warna kehidupan seperti itu, muncul pertanyaan mengapa cuaca kehidupan harus dicicipi dalam beragam rasa? Mengapa Tuhan tidak menunjukkan kuasa-Nya yang paling ultim agar cukup satu rasa untuk dicicipi oleh semua, sehingga tidak ada lagi tangisan, jeritan, dan sumpah serapah? Pertanyaan-pertanyaan ini sering muncul ketika menyaksikan senyuman lebar segelintir orang dengan hati tampak bahagia, sementara di depan wajahnya terdengar raung jeritan yang mengundang iba.
Dalam kondisi di mana carut marut persoalan tak sanggup terjawab, natal seakan memberi secercah hiburan serentak gugatan untuk siapa saja. Natal memberikan secercah hiburan sekaligus gugatan karena pengalaman itu ternyata bukan hanya manusia melainkan pula Allah. Natal mementaskan secara gamblang betapa Allah juga merasakan pengalaman manusia di titik yang paling ekstrim. Lukas melukiskan bahwa pengalaman pahit itu terjadi karena Allah tidak diberi tempat. Semua ruang kehidupan manusia tidak diberi akses untuk Allah. Yohanes pun memberi jawaban setimpal. Tuhan datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi milik kepunyaan-Nya menolak Dia. Tuhan tidak diterima. Seluruh pintu tertutup bagi-Nya (Yoh. 1: 11).
Inilah sajian jurnalisme Lukas dan Yohanes, yang sepintas terkesan menghibur karena kalau Allah saja merasakan apa yang dirasakan manusia, apalagi sesama manusia yang nota bene selevel? Namun hiburan ini serentak pula memicu pertanyaan yang menggugat:” Apa gerangan yang terjadi sehingga manusia yang diciptakan oleh Firman menolak Penciptanya sendiri? Apa sejatinya kondisi obyektif manusia, sehingga kunjungan Tuhan kepada umat-Nya bukan dirasakan sebagai sukacita melainkan ancaman; bukan pula disambut dengan penerimaan dan keterbukaan, sebaliknya ketertutupan dan penolakan?
Sungguh tidak mudah untuk mendapati jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Namun mengacu pada kisah penciptaan sebagai referensi alkitabiah, rasanya psikologi Hawa menjadi warisan yang melekat begitu kuat dalam diri anak-anaknya turun temurun. Psikologi Hawa itu adalah untuk menyamai Allah; sebuah keinginan untuk melepaskan diri dari bayangan keterikatan dan persekutuan dengan Allah, supaya dapat berdiri sejajar dengan-Nya. Kondisi inilah yang membuat baik Hawa maupun Adam memilih bersembunyi saat Tuhan datang mencari untuk mengunjungi mereka. Mereka memilih untuk menikmati ketelanjangan dalam persembunyian daripada keluar dari kepengapan persembunyian untuk dibalut dan diselubungi Allah (Kej. 3: 8-10). Inilah kegelapan yang paling gelap, karena manusia berusaha mengatasi masalah dirinya dengan kekuatan sendiri tanpa Allah, yang justru menciptakan masalah baru yang lebih kompleks.
Oleh karena itu, misteri kelahiran Tuhan sejatinya memiliki dimensi profetis. Allah hendak menggugat manusia bahwa akal budi tanpa iman; kemampuan pengetahuan manusia tanpa penyerahan diri kepada Allah; mengandalkan kehendak pribadi manusiawi tanpa menyelami kedalaman kehendak Allah; mengagungkan keangkuhan insani sebagai puncak prestasi seraya mengabaikan bahwa di atas itu masih ada langit yang lebih tinggi dan luas (Allah); maka kehancuran turun temurun akan terus terjadi. Fakta-fakta sosiologis yang mempresentasikan secara kasat mata bagaimana yang kuat memangsa yang lemah, yang kaya memangsa yang msikin, yang pintar memperalat yang bodoh, dll; menunjukkan bahwa dunia akan semakin tidak manusiawi bila manusia berjalan sendiri tanpa disertai Allah. Demikian pula kehidupan akan semakin hancur bila manusia tidak memberi tangannya untuk dituntun oleh Allah. Ketika manusia hanya bangga akan prestasi budinya, karena sanggup menyamai Allah, sehingga abai terhadap patokan-patokan etis moral, maka kehidupan akan berubah menjadi kematian.
Rasanya demi memperbaiki kondisi kemanusiaan manusia itu, Allah berinisiatif untuk berinkarnasi; agar dengan mengambil wajah manusia, menelusuri jalan-jalan sejarah manusia, membahasakan seluruh rencana dan misteri Allah dengan bahasa manusia, dekat dan berjalan bersama manusia, manusia sanggup melihat Allah dari dekat, terus belajar pada-Nya, mendengar apa rencana-Nya serta memiliki patron hidup supaya hidup bersama ditenun dalam cara-cara Allah.
Ya! Natal bukan ajang ritual; bukan pula pesta temporal. Ketika dijadikan sekedar ritual, maka natal hanyalah pesta patung dan aksesoris; karena orang yang merayakannya tetap memapankan perilaku manusia Betlehem yang tak mau Kristus lahir ke dunia untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Demikian pula, bila natal sekedar pesta temporal, yang dirayakan menjelang akhir tahun, maka mungkin saja ada pergantian busana; ada pertukaran suasana; namun tak ada pembaharuan apapun secara fundamental.
Oleh karena itu pertanyaan refleksi sebagai penutup tulisan ini adalah apakah kisah penolakan terhadap Yesus yang selalu dikumandangkan injil pada malam Natal dan Natal Inkarnasi hanya sebuah kisah nostalgia, atau tetap memiliki relevansi terhadap umat kristiani yang merayakannya?
***********************************