Oleh Paul Budi Kleden
Telaah ilmu alam telah mengantar manusia kepada pengetahuan yang sangat kaya akan luas dan tuanya universum. Universum tidak hanya seluas langit yang kita junjung dan usianya tak hanya berbilang tahun. Di sana orang tidak lagi menghitung waktu dalam ukurun bulan dan tahun matahari, tetapi dalam rentang tahun cahaya. Lalu muncul pertanyaan: Apakah arti hidup seorang manusia di hadapan realitas deretan galaksi-galaksi yang sudah sekian miliar cahaya usianya? Apa artinya satu tahun yang berganti, pada rentang waktu usia bumi? Apa makna satu detik, pada arus sejarah kehidupan di bumi? Waktu, kendati terkadang tampak bagi manusia sangat tidak berarti, namun sebenarnya sungguh bermakna karena dia memberikan kepada manusia peluang untuk meninggalkan bekas bagi hidupnya
Kedelai yang terburai
Refleksi yang mendalam tentang manusia dan waktunya dalam universum yang mahaluas dan mahatua, terbaca dalam sebuah puisi karya Ahmad Nurrulah. Judulnya Di Tebing Waktu: Meditasi. Sajak itu dimuat dalam kumpulan sajak-sajak Bentara Kompas tahun 2000. Beberapa lariknya berbunyi demikian: “Sebelum jagad raya diciptakan, apa yang dilakukan Tuhan? Sunyi. Di teras: Waktu merayap. Malam mengalir. Aku duduk tapi melayang. Di langit berkeriap bintang-bintang. Dan di jalan-jalan berkecipak perang. Seperti di hatiku. Mungkin juga di hatimu//”.
Merenung tentang waktu membawa manusia ke persentuhan dengan jagat rata, bahkan dengan Tuhan. Waktu adalah ukuran usia, melontarkan tanya perihal awal dan merangsang dugaan mengenai akhir segalanya. Pada kedua ujung itu orang akan berhadapan dengan sebuah pertanyaan: Entakah ada daya ilahi, yang terbebas dari awal dan akhir, yang telah membawa segalanya ke dalam ada, menyertainya pada rentang sejarahnya dan menerimanya pada akhir?
Manusia hanya mulai merenung tentang waktu, kalau dia terbuka menangkap peristiwa dan tanggap terhadap kejadian dalam sejarah dan alam. Kalau manusia menanggapi satu peristiwa secara sangat intensif, apabila dia meratapi kedukaan secara demikian menyayat hati, atau mensyukuri sebuah keberhasilan dengan sangat tulus, maka mestinya hidup itu sangat istimewa. Tetapi apa makna keistimewaan itu di hadapan jagad yang tak kunjung selesai diukur dalam takaran tahun cahaya? Apa yang menyebabkan manusia mempunyai alas an untuk mempertahankan dan menyempurnakan hidupnya, dengan menguras tenaga bekerja keras? Waktu merayap, malam mengalir, pelan atau lambat semuanya berlalu, tetapi mengapa manusia justru merasa diri dan waktunya demikian penting, sampai dia tega mempertaruhkan segalanya untuk mempertahankan anugerah kehidupan itu?
Mazmur 8 dari Kitab Suci orang Yahudi dan Kristen tentu belum tahu banyak tentang usia bumi, apalagi bintang-bintang dan galaksi-galaksi. Dia hanya menatap langit yang terbentang di atas kepala manusia, yang dijalani mathari pada waktu siang dan ditaburi bulan dan bintang ketika malam. Kendati dalam serba keterbatasan itu, sudah ada sensorium, kepekaan untuk menangkap rasa kecil dalam diri manusia berhadapan dengan alam yang agung dan dahsyat. “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan, apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” Pengalaman kedahsyatan dan keagungan alam ini, dan perasaan diri manusia yang kecil , menjadi semakin bertambah apabila disisipkan di sana persoalan waktu. Manusia yang memikirkan waktunya adalah manusia yang menangkap gejolak dalam dirinya, yang terombang-ambing antara berbagai keresahan.
Selanjutnya Nurullah, sang penyair, berbicara tentang seorang Stephen, maksudnya pastilah Stephen Hawking, si ahli Fisika di atas kursi roda yang memeriksa alam dan isinya. Stephen mengajaknya melintasi universum. “Ia lalu mengajakku pergi. Jauh melayang; melompat dari bintang ke bintang. Berguling-guling dari galaksi ke galaksi. Mengintip lubang cacing. Membayangkan serbuk tubuh presiden yang terguling.// Di bawah telapak kaki ku berhambur bermiliar galaksi-galaksi. Bagai butiran biji kedelai yang terburai…….Seperti kepingan biji mutiara yang bersemai di sudut-sudut waktu.// ‘Lihat’, katanya, menunjuk sebuah titik yang berdesak di setumpuk cahaya. Apa arti kau ada?’ …..’Ketika bumi masih sebercak Kata, apa yang dilakukan Tuhan, Stephen? ?’…// Ia dituntun oleh wataknya, kembali menyeringai. Lalu kembali mengajakku berputar. Berdiri di tebing waktu, menyapa kemahakuasaan ruang. Meluncur di tanah masa depan yang berkabut, menjelajah kota-kota masa silam yang berasap”//.
Manusia dan waktunya laksan kedelai yang terburai pada taburan miliaran galaksi. Apakah titik sekecil itu pantas punya arti, dan apakah manusia punya dasar untuk meyakini diri sebagai makhluk paling mulia? Waktu merayap, malam mengalir. Semuanya akan disorong masuk ke dalam jurang masa lampau. Hilang di sana?
Kesempatan berubah dan mengubah
Waktu, dia mengalir tanpa bisa ditahan. Sangat sering arusnya yang deras membawa kita pergi tanpa terasa dan tersadar. Cuma sebentar, saat kita angkat mata dan melihat suasana sekitar yang telah berubah, kita lalu berguman dan mulai menghitung sekian waktu telah berlalu. Terkadang alirannya sungguh dirasa, dihitung secara saksama dalam detakan paling kecil yang dapat diukur. Yang seperti itu kita alami ketika harus menunggu, entah menunggu seseorang yang telah menjanjikan kedatangannya, menanti sebuah keputusan yang amat penting, atau berjaga bersama seseorang yang sedang menghadapi maut. Yang sama pun kita alami saat-saat menjelang tahun beralih. Kita menghitung waktu seolah waktu tergambar jelas di depan kita bagai gelombang yang dating, mengempas waktu sekarang ke masa lalu, yang sedang ke dalam sudah, sementara yang baru datang menerjang sekat tipis pembatas waktu di depan dan saat sekarang.
Menghitung waktu, di dalamnya terkandung melankoli, serentak harapan. Waktu yang dialami dan dihitung secara sadar, menjadi waktu yang sangat intensif dan sungguh berharga. Pada saat seperti itu muncul kesadaran yang menusuk: betapa banyak kesempatan telah terlewatkan, berapa peluang sudah terabaikan untuk menyebutkan kata maaf, untuk memberikan tangan perdamaian, untuk mewujudkan niat yang pernah dibulatkan. Berapa banyak orang yang nasibnya bisa diperbaiki kalau ada kejujuran dan tanggung jawab dalam mengelola jabatan? Waktu adalah kesempatan untuk berubah dan mengubah.
Waktu berlalu, dan berapa jeritan minta perhatian yang disepelekan? Waktu yang mengalir pergi menggemakan terikan semua mereka yang telah dikorbankan oleh arogansi manusia dan dinginnya sistem yang tercipta. Ya, sistem ekonomi dan politik bisa sangat dingin terhadap manusia, bekerja menurut logika keuntungan dan penimbunan kekuasaan, lalu menunjukkan wajah yang bergeming di hadapan kemiskinan dan punya hati yang membatu terhadap ketidakadilan. Yang terseret bersama arus waktu adalah mereka yang wajahnya adalah sangat sederhana dan karena itu gampang disepelekan. Di sini waktu adalah jeritan dan wajah manusia yang butuh keberpihakan.
Arus waktu membawa pergi yang sekarang, namun bukan tanpa sisa. Waktu meninggalkan bau amis kejahatan pribadi atau bersama, yang tak mau diakui secara sportif dan diselesaikan secara dewasa. Luka menganga yang tertoreh pada hati orang lain karena kelancangan dan pelecehan, akan terus menyebarkan aroma tak sedapnya. Ketakacuhan takkan bisa membuat yang buruk jadi baik. Putusan politik yang hanya menguntungkan diri sendiri akan terus menjadi sumber bau yang busuk, walaupun ada argumentasi bahwa itu adalah perintah undang-undang. Bangkai manusia yang telah dikorbankan dalam sebuah pengadilan yang sesat akan terus menggugat, kendati ada dasar yang terdengar sangat mulia: demi penegakan hukum. Waktu adalah deretan para korban yang telah berjatuhan.
Namun waktu yang berlalu menyimpan dalam gelombangnya sejumlah prestasi yang diraih, kesetiaan pada sebuah janji yang diikrarkan, komitmen yang jelas terhadap tugas yang telah diterima dan sikap yang tegas untuk menolak ikut bermain dalam penyebaran isu yang menghancurkan citra orang lain, merupakan bekas-bekas yang telah dijejakkan pada alur waktu. Waktu adalah deretan kebajikan yang sudah dilaksanakan dalam spontanitas, secara sangat alamiah.
Waktu, ketika dialami dan dirasakan secara intensif, menjadi sangat bernilai. Di dalamnya terkandung sejuta kemungkinan dan peluang untuk berubah dan mengubah; banyak wajah dimunculkan dan teriakan diperdengarkannya, semuanya minta diperhatikan, segudang harapan dan niat ditawarkan untuk diwujudkan. Semua inilah yang mejadikan waktu sungguh berarti, biar cuma sekejap, kendati dibandingkan hanya dengan kedelai yang terburai pada lautan galaksi.
Tahun yang akan segera berlalu bukan hanya sebuah angka. Ada nama, ada sejarah, ada kesedihan, luka dan kekecewaan. Ada pula kegembiraan dan sukacita, ada persahabatan dan persaudaraan yang ikhlas. Ada bekas yang sangat nyata dan konkret pada rentang waktu yang berlalu.
Waktu yang mengalir bagai petak tanah kosong yang panjang membentang. Tugas manusia adalah memberi bekas pada tanah itu. Sebagai homo historicus, makhluk yang menyejarah, kita membawa diri yang sama ke tahun yang di seberang. Meniggalkan jejak yang terarah, agar dapat terbangun sebuah jalan dengan tujuan yang jelas, itulah makna kehidupan. Peluang untuk berubah dan mengubah, wajah untuk ditatap dan suara yang mesti ditangkap, semua itu terkandung pula dalam arus tahun yang baru nanti. Memberi bekas pada waktu, supaya tahun yang baru nanti menjadi rentang waktu yang bermakna untuk banyak orang.
******************************
Sumber Tulisan: Paul Budi Kleden, Di Tebing Waktu, Ledalero, 2009.