Oleh Bosko Beding, SVD
Aku anak nelayan
Ayahku anak nelayan
Begitu pula kakek dan moyangku
Darah nelayan mengalir di tubuhku
Daging dan urat-urat nelayan
membaluti tulangku
Ya, aku anak nelayan
Dari kulitku yang hitam berkilat
sampai ke urat dan sumsum
Orang peka menilai suara
Pasti tahu aku nelayan dari suaraku
Bila berbicara tak pernah halus
(biarpun berdua)
Selalu dengan nada tinggi melengking
membuat urat-urat leherku tegang
membujur sepanjang leherku
Aku anak nelayan
dilahirkan di sebuah desa nelayan
di mana penduduknya menggantungkan hidupnya
dari menangkap ikan semata
Aku anak nelayan
Ketika dilahirkan ibuku
pada tanggal hari bulan yang tak diketahui
kecuali bahwa itu terjadi di musim nale
ketika bau laut menerpa desa semata
lebih-lebih menjelang malam
dan orang mulai menghitung-hitung harinya
Masa kanak-kanakku tak bisa lain
berhubung erat dengan laut biru
laut selatan yang jarang tenteram
dengan pantai pasir berwarna hitam
yang berkilau-kilau ditimpa matahari
Pantai yang menjadi lebar dan sempit
menurut pasang surut atau pasang naik
terbentang antara dua tanjung yang akrab
Baofutung di sebekah timur
Dan Sarabia di sebelah barat
Pantai yang kadang berpasir seluruhnya
(dengan ombak kecil-kecil gemersik)
kadang pula kehilangan pasirnya
tinggal batu-batu karang yang putih
atau hitam berlumut
Dengan ombaknya yang bergulung-gulung
dengan suara dan hempasan yang dahsyat
Masa kanak-kanak tak bisa lain
Mesti akrab dengan lifololo
Suatu bagian berbatu-batu karang dari pantai
dengan kolam-kolamnya besar dan kecil
yang di huni ikan-ikan kecil beraneka warna
yang suka diburu anak-anak
dengan anak panah sederhana
terbuat dari kawat halus
Dan kadang dibasmi secara masal
(oleh orang-orang dewasa)
dengan akar-akar beracun
tapi bagi kami
lifololo terutama merupakan tempat
kami melayarkan perahu-perahu kecil
terbuat dari seludang kelapa
dengan layar terbuat dari kain
berwarna tanpa aturan.