Oleh: Anjas Peurapeq, Siswa Kelas XII Seminari San Dominggo Hokeng – Kab. Flores Timur – NTT
Konsep literasi dirumuskan dalam konsep republik literasi atau respublica literaria yang berkembang di Eropa pada abad ke 17-18 sebagai suatu republik imajiner yang tersusun dalam kegiatan korespondensi tulis menulis di berbagai tempat. Kegiatan ini kemudian dikenal sebagai literasi pertama di dunia.
Berkembangnya gairah tulis-menulis korespondensi ini merupakan dampak dari penemuan mesin pencetak tulisan oleh seorang pandai besi bernama Johannes Gutenberg (1398-1464) yang dapat mencetak 250 lembar tulisan sejam. Penemuan ini tentu menggemparkan dunia karena belum ada manusia di masa itu yang dapat melakukannya secara manual.
Literasi merupakan sebuah kata multi arti dari bahasa Latin literatus yang berarti orang belajar; Inggris literacy artinya kemampuan membaca dan menulis. Ia dapat juga diartikan sebagai melek huruf (https://kumparan.com, 30/4/2021). Menurut UNESCO, literasi merupakan seperangkat keterampilan yang nyata dalam membaca dan menulis, terlepas dari siapa dan oleh siapa.
Penulis sendiri, memandang literasi sebagai kondisi seseorang yang secara aktif dan tanpa paksaan melaksanakan aktivitas membaca maupun menulis. Di sini, makna literasi menandai sebuah kondisi yang mencerminkan pembiasaan yang mesti dilalui dalam nuansa kemerdekaan, agar seseorang sungguh mengekspresikan kebebasannya. Meski demikian, pendampingan mesti tetap dilakukan agar lebih mahir dan kompeten.
Indonesia Lemah Literasi
Literasi telah dikenal di Indonesia sejak lama. Bahkan sebelum literasi dikenal, orang-orang Indonesia sadar atau tidak, telah melakukan aktivitas literasi sejak dahulu, lewat kegiatan membaca dan menulis buku. Kitab-kitab terdahulu ditulis oleh nenek moyang bangsa kita dan terkenal hingga sekarang. Sebut saja Mpu Tantular dengan Kitab Sutasoma yang terkenal.
Telah lahir banyak orang hebat Indonesia dengan pengalamannya membaca dan menulis yang luar biasa. Sebut saja, B.J. Habibie, Najwa Sihab, Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. Sayangnya, kehebatan dan kegemaran mereka belum memengaruhi mental generasi muda bangsa ini. Indonesia dinyatakan sebagai negara lemah literasi dan masih kalah dalam persaingan tingkat literasi dalam tiap sensus literasi yang dilakukan.
Menurut Central Connecticut State University dalam artikel berjudul World’s Most Literate National Ranked, menyatakan, Indonesia menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang terdata, mengenai minat baca para penduduknya pada tahun 2019. Tidak hanya itu, UNESCO bahkan mencatat pada tahun yang sama, presentasi minat baca Indonesia adalah 0.001 %. (https://kumparan.com, 30/4/2021).
Tiga Pilar Literasi
Dari data di atas, Indonesia dapat digolongkan sebagai negara yang lemah literasi. Namun, bukan berarti Indonesia tidak dapat melahirkan penulis hebat. Banyak penulis Indonesia yang telah dikenal secara luas. Indonesia memiliki penulis-penulis, yang hebat secara individu tetapi belum cukup menjadikan rakyat Indonesia secara umum sebagai masyarakat literat.
Kita terlena dengan masifnya perkembangan teknologi. Berbagai kemudahan membuat kita tenggelam dalam ego masing-masing. Anak-anak tidak lagi diantar dengan dongeng sebelum tidur; para remaja yang kasmaran tidak lagi berkorespondensi dengan surat cinta; juga orang tua tidak lagi menciptakan kebersamaan di rumah. Suasana yang terbangun menjadi begitu individualistis dan pragmatis.
Kegiatan membaca dan menulis sebagai literasi dasar yang membutuhkan ketenangan, kesabaran, dan penguasaan diri, seolah bertolak belakang dengan mental generasi milenial yang oleh Karl Manheim dalam teori generasi dinamai generasi X, Y, dan Z yang cepat bosan, tak tahan dengan aktivitas monoton, aktif bergerak, serta bermental praktis.
Metode literasi pun terkesan kadaluarsa dan kurang cocok lagi dengan mental generasi muda saat ini. Bila hal ini terus dibiarkan, bangsa kita akan tumbuh dengan generasi muda yang lemah dari segi kualitas, baik secara mental dan intelektual di tengah persaingan lokal, nasional bahkan internasional. Padahal diharapkan mentalitas literatif mestinya terus meningkat dalam diri generasi muda kita.
Dalam menghadapi persaingan dan teknologi yang semakin maju, manusia sebagai pengguna teknologi harus juga mengembangkan diri agar tidak tenggelam di dalam kemajuan yang kita ciptakan sendiri. Membaca adalah salah satu caranya. Ia mesti tumbuh dalam keseharian dan menjadi bagian dari kita, yakni membudayakan literasi. Literasi layaknya menjadi budaya kita.
Budaya literasi mesti kita pertahankan, sambil terus meningkatkannya. Sebab, setiap kebudayaan di dunia timbul dari tiga pilar penting yakni ideologi, aktivitas dan karya. Demikian juga, literasi harus tertanam kuat secara bertahap dalam tiga pilar tersebut. Pertama, ideologi dalam tatanan pemikiran. Sebelum berliterasi, ideologi cinta literasi mesti tertanam dalam pemikiran generasi muda. Tanpa cinta literasi, respublica literaria tidak akan terwujud.
Secara sederhana, penetrasi ideologi cinta literasi dapat dimulai dengan menyempatkan waktu mencari informasi tentang para penulis hebat Indonesia dan mengenal mereka lebih dalam. Belajar dari cara serta suka-duka mereka ketika memulai menulis. Bila kita mengenal mereka lebih dalam, kita akan mengerti betapa pentingnya literasi bagi kita. Literasi perlu diperkenalkan dalam ruang pendidikan paling dasar yakni keluarga.
Kedua, aktivitas dalam tindakan nyata. Kita dapat memilih metode yang paling sesuai, baik literasi digital atau non digital. Ada banyak variasi yang bisa dicoba seperti sambil mendengarkan musik, kita mulai membaca dari teks yang panjang hingga pendek, dari tema yang sederhana dan rekreatif seperti cerpen atau novel, hingga tema-tema yang lebih kompleks seperti buku-buku non fiksi. Kita hanya bisa menyempatkan diri bahkan menyerahkan diri untuk masuk ke dalamnya.
Ketiga, karya yang kita hasilkan dari aktivitas. Tidak semua orang yang bisa membaca, pandai menulis, tetapi semua orang yang pandai menulis sudah pasti suka membaca. Tulisan adalah buah dari cinta literasi dan aktivitas membaca. Dengan rajin membaca, kita dapat menghasilkan tulisan yang baik secara kualitas, sehingga pengetahuan yang kita miliki dapat disebarluaskan secara lebih efektif kepada orang lain.
Dengan menulis kita akan dikenang abadi. Banyak orang memandnag menulis sebagai aktivitas yang sulit. Orang yang berpikir seperti ini melihat kegiatan tulis-menulis dengan kerangka berpikir yang rumit. Padahal kita bisa memulainya dengan hal-hal sederhana seperti menulis jurnal harian, refleksi, opini pribadi, mengenai apa yang kita alami, lihat dan rasakan. Semuanya akan menjadi mudah jika dibiasakan.
Literasi menjadi bahan penting dalam konstruksi kemajuan bangsa. Najwa Shihab mengatakan, cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cari buku itu, mari jatuh cinta. Rasa cinta kita pada literasi tidak tumbuh begitu saja. Semua butuh proses. Kita punya begitu banyak kemudahan dari kemajuan teknologi dan semua itu justru melemahkan, apabila kita terlena pada kenikmatannya.
Manusia terus berkembang dan teknologi pun terus mengalami kemajuan. Dalam perkembangan itu, manusia menciptakan sejarah dengan bahasa dan tulisan. Dengan demikian, setiap orang dipanggil bahkan dituntut untuk melanjutkannya dengan menanamkan budaya literasi dalam ideologi, aktivitas dan karya kita masing-masing. Marilah membaca, menulis dan jatuh cinta padanya. (*)
—————————————————————————————————–
Membudayakan masyarakat literat mestinya dari rumah masing-masing memotivasi anak-anak untuk membaca dan menulis. Berkomunikasi dengan anak-anak sesering mungkin, agar mereka merasakan kenyamanan bahwa di rumah mereka dapat membaca berbagai literasi.
Rumah harusnya menyiapkan berbagai buku bacaan anak sesuai perkembangan usia mereka. Atau bersepakat dengan anak-anak agar mempunyai waktu khusus untuk membaca dan menulis kesimpulan dari apa yang mereka baca atau anak-anak dapat bercerita kembali apa yang telah dibaca mereka.
Masalahnya tentu sangat kompleks biaya yang besar untuk satu buku tentu akan jadi beban tersendiri. Pemerintah pernah punya yaitu mobil Pustaka keliling, tapi saat ini mandek mungkin soal besarnya biaya operasional.
Proviciat anak, sudah mulai belajar mengg3luti dunia literasi dengan menulis. Teruskan gelora literasimu mulai sekarang untuk mencapai sukses gemilang di hari esok. Banyak orang hebat dan terkenal karena jadi penulis buku.