Karya Yoseph Yapi Taum
Puisi “Trilogi tentang Timor Leste” karya Yoseph Yapi Taum mencerminkan perjalanan emosional dan politik Timor Leste dalam beberapa periode yang berbeda. Setiap puisi mengungkapkan peristiwa dan perasaan yang berbeda, dengan latar belakang sejarah dan peristiwa tertentu. Berikut adalah makna yang dapat disimpulkan dari setiap puisi:
“Bebonuk 1994”:
Puisi ini menggambarkan suasana dan perasaan para penulis atau penyair ketika berada di Bebonuk pada tahun 1994. Penyair mencatat momen-momen kebersamaan, pertemuan, dan kenangan yang terjadi di sana. Puisi ini juga menyiratkan kehilangan yang berkaitan dengan Santa Cruz. Puisi mencerminkan kenangan, rasa kehilangan, dan penderitaan akibat kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut.
“Timor – Timur 1999″:
Puisi ini menggambarkan situasi dan peristiwa yang terjadi di Timor Timur pada tahun 1999. Puisi ini menyatakan keprihatinan dan kekecewaan terhadap situasi politik saat itu, termasuk campur tangan Unamet, IMF, dan Bank Dunia yang dianggap merugikan rakyat. Puisi ini juga mencatat ketidakadilan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat Timor Timur karena kepentingan politik dan ekonomi.
“Di Perbatasan Motaain”:
Puisi ini menggambarkan suasana dan perasaan di perbatasan Motaain. Puisi ini mencatat kenangan dan ingatan penyair tentang peristiwa masa lalu yang masih hidup dalam ingatannya tentang Timor Timur yang kini berganti nama menjadi Timor Leste. Puisi juga menggambarkan perasaan penantian dan harapan akan masa depan yang lebih baik untuk wilayah tersebut.
Secara keseluruhan, trilogi puisi ini menggambarkan perjalanan emosional dan politik Timor Leste dari waktu ke waktu, menyoroti momen-momen penting dalam sejarahnya dan perasaan yang terkait dengan peristiwa tersebut. Puisi-puisi ini juga mengekspresikan harapan dan harapan akan masa depan yang lebih baik untuk Timor Leste.
BEBONUK 1994
Kami datang merebahkan diri,
Memindai hutan dan semak
Terhuyung-huyung menyusun batu demi batu
Menggali sumur dan melentingkan api
Kami alirkan air ke tubuhmu
Di atas tanah datar ini
tertanam rindu purnama
agar tuntas perjalanan kami
Hari-hari menjadi senandung
menyusun pertemuan dan kenangan
Kapur tulis dan gelombang asin
Serta bercanda dengan empat kanak-kanak
Dalam kesunyian yang menembus kulit
Kami baringkan satu cinta di Santa Cruz:
ia sudah berbahagia!
Amarah dan dendam melumuri Dili 1999
Langkah kami terhenti sebelum berayun
Kami tinggalkan Bebonuk dan Santa Cruz
dijaga mantra leluhur. Awan bergegas berarak!
Sungguh, mimpi ini pecah berkeping-keping
Di langit cahaya bintang berkedip-kedip
serupa sembab doaku di altar rumah-Mu.
Denpasar, 23 Februari 2019
TIMOR – TIMUR 199
Kutulis sajak ini dalam kerumunan orang berwajah dingin,
Mahidi, Gadapaksi, Besi Merah Putih, Halilintar, dan Aitarak
Di tengah siasat Unamet, IMF, dan Bank Dunia dengan paket bailout
Timor Timur, Indonesia, 30 Agustus 1999
karena rupiah dan dollar telah menelikungi nurani
Di sana tak ada Che Guevara yang tidak menjual dirinya.
Kutulis sajak ini buat Armindo Soares, Basilio Araujo, Laffae,
Hermenio da Costa, Nemecio Lopez de Carvalho, dan Eurico Gutteres,
yang berbicara sampai larut malam dalam bayang-bayang komprador
dan fatamorgana para jenderal pengecut mengumbar otonomi khusus
Kutulis sajak ini buat polisi Unamet, IMF, dan Bank Dunia
Kaum kapitalis yang bermimpi membawa Firdaus larut malam
bagi para petani miskin Ainaro dan Liquica, Los Pallos dan Viqueque
Sambil mengkalkulasi keuntungan dari darah yang harus mengalir
Sebuah panggung seiarah dimulai dengan darah dan api
mengucur dan membakar Dili menjadi lautan merah
merobek ikatan keluarga, memecah sebagian ke Atambua
Dada disesaki marah dan dendam, gelisah dan takut
Di Timur, Patung Kristus Raja yang berdiri di puncak bukit
mendaulat ombak samudra yang mendesis sejak dahulu
Sesekali Dia menekan jantungnya yang miris
karena rupiah dan dollar telah menelikungi nurani
Di sana tak ada Che Guevara yang tidak menjual dirinya.
Dili, 30 Agustus 1999; Yogyakarta, 3 Januari 2014
(Dari Antologi Puisi Ballada Arakian, 2015)
DI PERBATASAN MOTAAIN
Ada suara yang ganjil memanggil namamu
remah-remah kenangan bersorak menyambutmu
Di sini api membakar hari-harimu yang memar
hingga raung rindumu berpijar dari ruang gelap sejarah
Di sini masih tersisa benih-benih kenangan
ingatanmu ternyata belum juga rapuh
Di sini telah tegak berdiri monumen perbatasan
lidahmu serasa mengecap dusta yang manis
Di sinikah akhir penantianmu?
Di ulu hati inikah ujung perjalananmu?
Ada suara yang ganjil memanggil namamu
remah-remah kenangan bersorak menyambutmu
Di sini telah tegak berdiri monumen perbatasan
lidahmu serasa mengecap dusta yang manis
Kefamenanu, 27 Juni 2022
——————————————————————–
Tentang Penulis
*Yoseph Yapi Taum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember 1964. Saat ini menjadi ketua Program Studi Magister Sastra di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pendidikan: (1) SMA Seminari San Dominggo, Hokeng (1984), (2) Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta (1984-1985) dari biara Oblat Maria Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998. Melakukan penelitian tentang Konflik dan Kekerasan di Papua (2015-2016). Antologi puisinya Ballada Arakian (2015), Ballada Orang-orang Arfak (2019), dan Kabar dari Kampung (2023).Imaculata (OMI). (3) S-1 dari di IKIP Sanata Dharma (1990); (4) S-2 dari Universitas Gadjah Mada (1995); (5) S-3 dari FIB Universitas Gadjah Mada (2013) dengan disertasi berjudul “Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism atas Teks-Teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998.”