Oleh Ignas Kleden
PENCANANGAN bulan buku tentulah dimaksudkan untuk mengingatkan kita semua akan arti pentingnya buku, khususnya dalam peranannya sebagai sarana utama untuk mencerdaskan bangsa. Dalam hubungan itu yang bisa dibuat ialah melihat jumlah judul yang terbit setiap tahunnya, lalu membandingkan dengan jumlah penduduk, untuk melihat berapa besar konsumsi bacaan yang diserap oleh tiap-tiap penduduk. Kalau kita dapat mengandalkan pemberitaan surat-kabar, maka jumlah buku yang terbit di Indonesia termasuk sangat rendah, dan hal ini menjadi lebih rendah lagi kalau masih dihubungkan dengan jumlah penduduk. Bagian pertama dari dua tulisan Jumlah judul yang terbit setiap tahunnya secara rata-rata di beberapa negara adalah sebagai berikut: Indonesia 2.400 judul, Malaysia 4.000 judul, Thailand 8.000 judul, Korea Selatan 43.000 judul, Australia 7.500 judul. Dari negara-negara maju dapat dicatat: Negeri Belanda 13.000 judul, Jepang 44.000 judul, Inggris 61.000 judul dan Amerika Serikat 100.000 judul (Kompas 5 Mei 1995). Apakah artinya angka-angka tersebut? Sekurang-kurangnya dapat diandaikan adanya dua macam hubungan. Pertama, diandaikan bahwa buku adalah sumber informasi dan rekaman pikiran-pikiran pengarang yang telah teruji oleh publik dan karena itu bisa dijadikan pegangan dan pedoman. Dengan membaca lebih banyak buku, penduduk negara bersangkutan mendapatkan informasi yang berguna, dihadapkan dengan pikiran-pikiran yang sudah teruji dan karena itu menjadi lebih cerdas.
Buku adalah input untuk kecerdasan penduduk suatu bangsa. Dari segi itu kita lalu dengan mudah berkesimpulan, bahwa dengan mencetak lebih banyak judul buku, maka suatu bangsa seakan- akan dengan sendirinya menjadi lebih cerdas. Pada titik inilah anggapan pertama ini harus diuji dengan anggapan kedua, yang berhubungan dengan pertanyaan: mengapa gerangan penduduk Jepang misalnya lebih banyak membaca buku dari bangsa kita? Bolehkah kita berkata bahwa keinginan bangsa Jepang untuk menjadi cerdas lebih besar dari keingingan bangsa kita? Apakah bangsa Jepang menjadi cerdas karena membaca banyak buku, ataukah justru karena tingkat kecerdasan umum di negara itu sudah demikian tinggi sehingga permintaan intelektual (intellectual demand) mereka hanya bisa dilayani dengan produksi buku yang besar-besaran? Barangkali kita perlu merelatifkan sedikit anggapan pertama di atas dengan mengandaikan bahwa buku bukan hanya sarana mencerdaskan bangsa, akan tetapi indeks atau petunjuk tingkat kecerdasan bangsa itu. Ini berarti, hanya bangsa yang cukup cerdaslah yang akan menghasilkan penulisan buku secara teratur. Buku bukan hanya input untuk kecerdasan, tetapi adalah output atau produk kecerdasan penduduk bangsa bersangkutan.
Semakin cerdas suatu bangsa, akan semakin banyak buku dihasilkan, dan kita bisa mengandaikan seterusnya bahwa semakin banyak buku dihasilkan akan semakin cerdas pula bangsa itu. Kedua anggapan ini pada hemat saya perlu dipertahankan secara berimbang, agar supaya kita dapat melihat peranan buku dalam kaitan yang lebih realistis.
Persoalan penulisan buku mungkin bisa dihadapi sebagai masalah teknis seorang pengarang. Demikian pun persoalan penerbitan buku barangkali adalah masalah teknis sebuah penerbit. Tetapi persoalan pembacaan buku dan penggunaan buku dalam kehidupan sehari-hari adalah persoalan sosial-budaya, dan karena itu menangani persoalan buku secara tuntas hanya bisa dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji kembali kaitan-kaitan sosial budaya yang berhubungan dengannya. Harga kertas yang sekarang naik lebih dari 20 persen sudah langsung menunjukkan bahwa bahkan produksi buku pun bukan hanya masalah penerbit tetapi masalah yang langsung berkaitan dengan kebijaksanaan ekonomi umumnya dan kebijaksanaan perdagangan pada khususnya. Hal ini merupakan suatu aspek yang tentu amat penting dan menarik, tetapi tidak akan menjadi fokus tulisan ini. Kembali kepada persoalan sosial budaya, dapatlah kita berangkat dari pertanyaan yang sederhana: apakah yang menyebabkan kecerdasan umum suatu bangsa meningkat atau tidak meningkat? Jawabannya adalah pendidikan. Yang dimaksudkan dengan pendidikan di sinni bukan hanya pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah formal, yang menyangkut pedagogik, didaktik atau metodik tetapi suasana umum yang memungkinkan atau menghalangi perkembangan inteligensi, baik secara individual maupun secara kolektif. Dengan lain perkataan pendidikan yang secara mikro merupakan masalah pedagogis, secara makro lebih merupakan masalah sosial budaya.
Sebagai contoh yang banal saja, marilah kita bayangkan dua buah keluarga. Keluarga A dengan tiga anak adalah keluarga yang amat rukun. Ayah dan ibu adalah orang yang mempunyai pekerjaan tetap. Hidup mereka berkecukupan, dan suasana dalam rumah tertib karena semuanya sudah diatur oleh kedua orangtua dan anak-anak hanya harus menjalankan segala sesuatu yang sudah diatur. Yang tidak ada dalam keluarga itu adalah waktu untuk berbicara bersama dan berdiskusi. Keluarga B adalah keluarga dengan 2 anak. Ibu dan ayah juga bekerja, tetapi keduanya selalu melibatkan kedua anak mereka dalam persoalan keluarga. Kalau kedua orangtuanya kebetulan kekurangan uang, anak-anak juga diberitahu. Anak-anak selalu diminta pendapatnya dan kalau pendapat anak-anak tersebut berbeda dengan kedua orangtuanya, hal itu diterima sebagai normal, dan bahkan pendapat mereka dapat diterima kalau alasannya lebih kuat dan meyakinkan. Kalau tingkat inteligensi anak-anak keluarga A dan B diandaikan sama, maka bisalah kita andaikan bahwa anak keluarga B akan lebih cepat berkembang inteligensinya, karena kepada mereka diberi kesempatan untuk itu. Dengan kata lain, pendidikan yang dimaksudkan di sini, adalah penciptaan dan pengadaan kesempatan untuk mengembangkan inteligensi, yang praktis berarti terhalang atau tidak terhalangnya seorang atau sekelompok orang untuk menggunakan pikirannya.
Tentu saja pendidikan mencakup aspek yang lebih luas dari inteligensi dan penggunaan pikiran, tetapi dalam membicarakan hubungan antara buku dan kecerdasan, hal inilah yang sebaiknya menjadi pokok tinjauan di sini. Kesempatan mempergunakan pikiran adalah syarat minimum yang harus ada supaya kecerdasan bisa meningkat. Ibaratnya, sebuah mesin mobil yang bagus, baru ketahuan fungsinya kalau kita menjalankan mobil itu, dan tidak hanya menyimpannya dalam gudang atau diparkir sepanjang tahun.
Inteligensi, dalam arti tertentu, sama dan berbeda dengan mesin mobil itu. Mesin mobil itu berfungsi dengan baik kalau dihidupkan dan dijalankan, sementara inteligensi yang diberi kesempatan berkembang bukan hanya berfungsi tetapi dalam berfungsi itu langsung pula mengalami perkembangan dan menjadi tajam dan hidup. Namun demikian, inteligensi yang kita maksudkan adalah inteligensi manusia dan bukannya inteligensi buatan (artificial intelligence) seperti yang ada pada komputer. Kalau anda menghidupkan komputer dan mengerti programnya, komputer itu akan bekerja dengan baik selama Anda memberinya perintah yang benar. Inteligensi komputer hanya perlu dikomando dan tidak perlu dimotivasi. Inilah perbedaan pokok sebuah komputer dengan inteligensi seorang anak manusia. Seorang anak akan berpikir dengan baik, kalau dia dimotivasi untuk itu. Dan motivasi selalu berhubungan dengan suatu tujuan. Dalam praktek ini berarti, seseorang akan terdorong untuk mempergunakan pikirannya, kalau memang terbukti dalam lingkungannya bahwa mempergunakan pikiran memberinya manfaat dan kemajuan yang lebih besar daripada tidak mempergunakan pikiran.
Dalam sekolah-sekolah di Jerman salah satu pokok yang amat diperhatikan untuk memberi angka kepada rapor anak murid adalah seberapa seringnya anak tersebut mengacungkan tangannya dalam kelas untuk menjawab pertanyaan. Hal ini dianggap penting karena inisiatif dan keberanian berpikir dianggap sama pentingnya dengan soal apakah jawaban anak itu benar atau salah. Jadi kalau seorang anak yang pintar tetapi malas mengacungkan tangan, guru-gurunya akan menurunkan angkanya dengan alasan bahwa dia kurang berinitiatif dalam kelas. Terlihat di sini bahwa berpikir artinya bekerja dan berusaha dengan memakai otak sebagai modal dan alat. Akan tetapi hal itu akan berkembang jikalau suasana yang ada mendorong seseorang untuk menggunakan otaknya. Kalau seorang anak terus-menerus mengalami bahwa diam lebih berguna daripada bertanya maka lambat laun dia akan memilih diam. Kalau kesalahan dalam menjawab pertanyaan ditertawakan atau dimarahi, dan bukannya dibantu untuk dibernarkan, maka dia akan enggan berinisiatif. Seorang guru sekolah menengah di Bielefeld yang menjadi teman dekat keluarga kami, selalu mengatakan bahwa dalam pendidikan menjawab salah dan menjawab benar sebetulnya sama manfaatnya secara ilmu pendidikan.
Kesalahan murid selalu memberi ilhan kepada guru untuk menemukan jalan baru untuk membimbing muridnya kepada jawaban yang benar. Kesalahan murid justru membuka cakrawala bahwa ada begitu banyak jalan menuju jawaban yang benar, dan jalan-jalan itu tidak akan kelihatan kalau semua murid selalu menjawab benar. Tanpa kesalahan-kesalahan yang dibuat murid, guru juga akan kehilangan kreativitasnya dalam mengajar dan membimbing.
——————————————-
Sumber Tulisan dari Buku “Buku dalam Indonesia Baru, Editor Alfons Tariyadi, Obor – Jakarta