Dalam beberapa tahun terakhir, tanpa saya sadari, cukup banyak pembaca yang mengkategorikan saya sebagai penulis ‘eulogi’ khusus bagi yang wafat. Julukan ini bisa disebut berlebihan. Yang saya lakukan hanyalah mengangkat hal yang terlupakan atau kalau tidak ditulis maka ada potensi untuk dilupakan.
Tetapi saya kesulitan menulis tentang Ignas Kleden. Banyak orang telah menulis dan tulisannya itu ‘spektakuler’. Saya harus akui. Karena itu saya berpikir, kalau harus menulis, tidak akan menarik perhatian pembaca yang sudah terlanjur mendapatkan bacaan yang lebih hidup dan berkualitas.
Tetapi karena sudah terlanjur dapat julukan itu maka ada saja yang masih menagih. Jadilah tulisan ini, disampaikan setelah 4 hari wafatnya sastrawan, filsuf, dan sosiolog itu.
Sekali, Cukup
Kalau berbicara dengan orang hebat tidak perlu berulang-ulang. Sekali saja cukup. Itulah ingatan yang masih kuat terpateri. Saya hanya bertemu secara personal dengan Ignas sekali saja. Pertemuan kedua di dekat peti mati kali ini.
Pertemuan perdana dan satu-satunya itu terjadi tahun 2005 saat menjadi orang asing di Jakarta. Kata orang, ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Karenanya saya berusaha mencari kebijaksanaan pada orang pilihan: Daniel Dhakidae dan Ignas Kleden. Keduanya saya kagumi dan saya patut bersyukur, keduanya mengiyakan untuk adanya pertemuan pribadi.
Saat bertemu Ignas, selain saya memperkenalkan diri sebagai seorang murid P. Leo Kleden SVD, juga saya membawa beberapa artikel yang sudah saya tulis di Kompas (saat itu baru 10 artikel).
Strategi pertama, berjalan lancar. Ignas sangat bangga dengan sang adiknya yang berkeliling hampir ke semua negara di dunia dalam jabatannya sebagai anggota Dewan Jenderal SVD di Roma.
Saya juga mengungkapkan kebanggan saya pada Pater Leo yang mengajar kami Filsafat Ketuhanan. Mata kuliah dengan 4 SKS ini jadi momok bagi banyak mahasiswa. Tetapi di tangan Leo, mendapatkan nilai ‘A’ kelihatan begitu mungkin. Memang itulah orang pintar yang bisa memungkinkan kecerdasannya dipahami orang lain dengan cara mengajar yang memukau.
Strategi pertama ini sebenarnya hanyalah pintu masuk untuk memperkenalkan diri sekaligus ‘mengaku dosa’. Saya merasa telah menjadi bagian yang telah melukai banyak orang karena harus berhenti dari imam.
Ignas memandang saya dan mengatakan hal yang tidak saya duga. Sebagai sosiolog ia dengan jelas menyampaikan bahwa semasa masih di biara dengan dosis pembelajaran teologi, seseorang sangat hebat dalam teologi-spekulatif. Teologi baginya merupakan ilmu spekulatif tempat di mana rasio menjadi begitu berperan.
Pada sisi lain, sosiologi, ilmu yang ia dalami lebih bersifat empiris. Di sana orang bergaul melalui pengalaman langsumg.. Kenyataan dan pergulatan melewati aneka kenyataan itu akan membuat seseorang menjadi sangat membumi.
Karena itu agar mengakar maka konektivitas dengan bumi dengan orang yang ada, dengan pengalaman, akan menjadi bantuan yang bisa memmbelajarkan orang tentang hidup dan ketika diolah dengan baik, dapat membuat orang menjadi bermakna.
Saya terdiam dan merasa bahwa apa yang disampaikan oleh sosiolog yang saya kagumi itu benar. Minimal membenarkan pengalaman di Amerika Latin di mana iman begitu menyata dan membumi. Di sana agama dipaksa untuk harus membumi, merakyat, dan mengumat. Praktik keagamaan karena itu meski tidak ‘seramai’ dan semasal di Indonesia, tetapi menjadi sangat mengena. Itulah yang dilakukan dan dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan untuk selalu berpijak menjawab pertanyaan yang ditanyakan umat dan bukan pertanyaan yang ‘diada-adakan’ oleh teolog spekulatif.
Saya lalu menyadari bahwa mungkin dengan profesi yang baru, saya harus belajar bagaimana bisa menjadikan teologi membumi dan bisa belajar dari sosiologi yang akrab dengan empiris untuk dijadikan bahan refleksi teologi. Sebuah pemikiran cemerlang tetapi saya masih merasa bagaimana bisa ‘mengawinkan’ keduanya dalam profesi saya yang aneh ini.
Dengan nasihat ini, saya pun mulai berusaha melangkah di tanah yang sebenarnya bukan ‘kapling’ saya lagi. Dengan latar belakang sedikit studi homiletik, saya pun mulai coba masuk ke ruang yang bukan untuk saya masuki lagi. Saya telah keluar dan harus keluar sama sekali. Itulah hal paling logis. Tetapi hati kecil saya mengatakan, ilmu yang ada tidak selesai. Mulailah saya ‘ngoceh’di Mingguan HIDUP yang kebetulan masih ingat saya dan mau berikan ruangan.
Saya pun kemudian tanpa malu-malu menawarkan untuk menerbitkan buku HOMILI YANG MEMBUMI. Saya bermaksud meminta Kardinal Ignasius Suharyo memberikan kata pengantar. Itupun permintaan yang tidak tahu malu. Beruntung, Yang Mulia lalu menugaskan Rm Danto (Ketua Komisi Liturgi KAJ) untuk memberikan kata pengantar. Melaluinya saya hanya mau ‘ngoceh’ bahwa homili yang ‘tinggi-tinggi’ dan spekulatif itu perlu lebih membumi. Tujuannya agar ilmu yang ‘tinggi-tinggi’ itu bisa membumi.
Ada keberuntungan lain dari buku dan tulisan-tulisan ini. Saya pun diminta memberikan kursus homiletik di beberapa paroki. Kepada umat yang kelihatan tidak mau tahu banyak tentang latar belakang saya, saya hanya berpesan: ikuti apa yang saya sampaikan tetapi jangan ikuti apa yang saya buat.
Setelah tulisan itu, saya pun semakin ‘tidak tahu diri lagi’ dan lupa bahwa sekarang sudah jadi awam. Semakin tidak terkontrol untuk terus menulis renungan rohani. Beberapa buku renungan begitu mudah diterbitkan. Karena buku dan tulisan-tulisan itu, banyak orang yang berikan apresiasi dan tetap memanggil ‘pater’. Saya pun tidak pernah sampaikan bahwa jangan panggil. Saya biarkan saja sampai mereka tahu sendiri atau pun karena sudah tahu tetapi mereka tetap nekad. Atau bisa saja sebuah panggilan ‘ironi’. Saya tidak tahu.
Strategi kedua juga sebenarnya lebih dahsyat. Saya mendapatkan masukan tentang bagaimana menjaga api semangat untuk terus menulis. Menulis tidak hanya menghamburkan simbol-simbol biasa tetapi menyampaikan konsep yang bisa memengaruhi orang lain, itu pesan Ignas.
Inilah nasihat yang sangat kuat sambil saya terdiam. Saya terdiam untuk mengukur, apakah lebih dari 100 tulisannya di Kompas dari Pak Ignas (saat wafat sudah mendekati 200 artikel opini Kompas), bisa saya capai. Rasanya sulit, tetapi minimal pikirannya yang cemerlang dapat menghidupkan obor semangat saya, untuk menulis sejauh saya bisa dan mampu (Saat ini saya baru capai 65 artikel di Kompas, masih jauh tentunya).
Dengan menulis, kata Ignas, kita tidak hanya dikenal tetapi lebih terutama, pikiran kita dapat masuk dan mengubah banyak orang dalam berpikir dan bertindak. Inilah nasihat yang sangat kuat. Karenanya ketika diundang PDIP dalam Kongres di Sanur Bali 2010 sebagai narasumber, saya jadi sadar bahwa itu yang dulu disampaikan oleh Ignas dalam pertemuan itu. Dalam forum bergengsi itu, saya menyampaikan ke PDIP yang saat itu masih berada di luar pemerintahan: kalau ingin sukses, maka harus dicari kepala daerah sukses seperti yang terjadi di Amerika Latin.
Itulah topik yang diberikan kepada saya dan sebuah kehormatan kalau sejak saat itu wacana ‘menasionalkan’ figur kepala daerah sukses semakin digaungkan. Saya ingat ada peserta yang menyebut bahwa saat itu PDIP punya kader di Solo yang saya tidak sempat ingat namanya. Baru kemudian ketika diusung jadi Gubernur DKI, saya baru ‘ngeh’. Sejak saat itu saya pun mulai klaim diri ‘ikut melahirkan Jokowi’ (Mungkin karena klaim yang terasa keterlaluan ini maka ketika Jokowi seakan lupa akan PDIP dan membiarkan MK ‘tak etis’ menetapkan Gibran sebagai cawapres, saya pun ikut terpukul, padahal saya bukan orang partai).
Kembali ke topik. Inspirasi pembicaraan personal dengan Ignas, itulah pengalaman pertama dan terakhir kali. Ada kesempatan lain masih bertemu dengan Ignas, tetapi saat itu ia jadi narasumber dalam diskusi Lingkar Muda untuk para penulis Kompas. Bagi saya, berbicara dengan orang pintar seperti Ignas, cukup sekali. Pesannya sudah sangat masuk hingga ke sum-sum dan berkesan hingga kini.
Menyentuh Kaki
Di Rumah Duka Carolus, lt. 8 “Mikael”, memori dengan Ignas seakan dihidupkan lagi. Ada kekuatan baru ketika saya terdiam di samping jasadnya. Tentu saja sebelumnya saya minta izin pada P. Leo Kleden SVD yang duduk di samping peti jenazah agar mengizinkan saya berdiri di samping abangnya.
Saya menatap wajahnya tetapi saya tidak berani menyentuh wajahnya. Yang saya berani hanyalah menyentuh sepatunya sambil terdiam tanpa kata. Saya rasa ini sikap yang tepat untuk membiarkan roh Ignas merasuki saya dan bukan sebaliknya saya memaksakan kata-kata saya pada seorang sosiolog yang sangat disegani di republik ini.
Setelah merasa cukup berada di sana sambil bertemu dengan sahabat-sahabat yang kerap hanya dikumpulkan kalau ada kematian, saya pun pamit pulang. Di jalan keluar, tepatnya perempatan, saya merogoh dompet, ternyata hanya ada Rp 20.000 di saktu. Uang itu tidak cukup untuk bisa pulang. Cara terbaik naik kereta karena selain murah juga karena kendaraan saya dititip di sebuah stasiun. Saya kebingungan, jalan apa yang akan saya ambil. Kalau harus ke Stasiun Tanah Abang, butuh Rp 36.000 begitu tertulis di aplikasi gojek.
Meski bingung, saya coba gunakan pikiran saya yang sudah dijernihkan Ignas. Saya ambil keputusan melangkah saat lampu merah ke seberang jalan, depan Fakultas Kedokteran UI. Setelah sampai di seberang, saya jadi sadar, kalau cara terbaik adalah jalan kaki menuju Stasiun Cikini yang jaraknya sekitar 2 km dan bisa ditempuh 19 menit. Inilah cara terbaik agar uang Rp 20.000 itu tetap utuh. Dan langkah pun saya ayunkan.
Di sinilah kesadaran pun muncul tentang jalan kaki. Berjalan kaki adalah ekspresi terdalam dari seorang ilmuwan yang melewati jalan-jalan sepi untuk bisa membumikan pikiran-pikirannya yang melangit untuk bisa membumi.
Jalan kaki adalah ajakan untuk selalu injak tanah, hal mana ditunjukkan Ignas yang meski merupakan sosilog yang hebat tetapi ia tidak mau agar ilmunya hanya menjadi miliknya. Ia banyak terlibat dalam gerakan ‘Go East’ yang tidak kalah hebatnya dengan ‘Go West’yang dicanangkan di Amerika Serikat. Itulah ilmuwan yang membumi.
Jalan kaki juga adalah ekspresi terdalam bagi Ignas sebagai seorang beriman. Ia merasa dan sangat yakin bahwa teologi yang kerap sangat spekulatif, harus membumi. Itulah tugas yang Ignas tinggalkan dan saya merasa perlu meneruskan sekuat yang saya bisa. Karena itu saat sudah di atas kereta, saya pun pikir: apakah ini makna dari kaki Ignas yang saya sentuh?
Saya pun sadar bahwa di balik keputusan TERPAKSA JALAN, saya justru mendapatkan pesan mendalam yang saya sharingkan ini. Saya memang awalnya terpaksa jalan tetapi akhirnya bukan jalan terpaksa tetapi saya justru mendapatkan kesempatan untuk memaknai Ignas dengan cara ini.
——————————————–
Robert Bala, Pengagum Ignas Kleden, Penulis buku “INSPIRASI HIDUP”; Pengalaman Kecil Sarat Makna (Penerbit Kanisius, Jogjakarta, 2021)