Oleh J. Sumardianta
MASYARAKAT zaman mutakhir abad ke-21, sebagaimana diuraikan sosiolog David Myers dalam Spiritual Hunger in an Age of Plenty (2000), sedang menderita kebangkrutan jiwa. Busung lapar spiritual di tengah kemakmuran material. Digaji lebih baik, mengonsumsi makanan lebih kenyang, punya rumah lebih bagus, akses pendidikan lebih tinggi, lebih sehat ketimbang masa lalu, berkomunikasi lebih lancar, serba kecukupan informasi, dan didukung transportasi sangat nyaman.
Ironisnya, perceraian berlipat ganda, bunuh diri remaja berlipat tiga, kriminalitas berlipat empat, dan populasi penjara berlipat lima.
Kemarau panjang spiritual tidak hanya mendera masyarakat zaman mutakhir. Tujuh abad lalu sudah membuat sesak masyarakat Eropa. Saat itu gereja Abad Pertengahan dikuasai para ilmuwan yang terlalu bersemangat dalam mendewakan filsafat dan teologi. Kaum intelektual larut dalam perdebatan yang tak jelas juntrungannya. Mereka terlalu mengagungkan akal budi, menyombongkan kepandaian, sibuk berwacana, dan bersilat lidah. Debat kusir para ilmuwan bukan demi kebenaran, melainkan nafsu mendapatkan pengakuan serta kemasyhuran sebagai cerdik pandai.
Para pemuka agama dan biarawan sibuk mengurusi harta benda. Nafsu keduniawian tentu bertentangan dengan semangat Injil. Kehidupan rohani mangkrak. Spiritualitas terbengkalai. Ritual agama bercorak artifisial. Umat terjerumus di kubangan ritual berbagai sekte. Larut dalam praktik takhayul guna mendatangkan keajaiban (mukjizat) yang tak masuk akal.
***
Gereja mendapatkan terobosan pembaharu. Reformasi, sebagaimana diuraikan Sindhunata dalam Mustakaning Pangabekti Thomas A. Kempis (2019), digerakkan para anggota biara pertapaan kontemplatif. Gerhard Groote (1340–1384) pelopor gerakan kebangunan rohani devotio moderna (bakti zaman modern). Gerakan pembaharuan hidup menggereja yang mengutamakan kedalaman batin sekaligus kesalehan sosial.
Thomas A. Kempis (1379–1471), tokoh disrupsi gereja, mendapat inspirasi dari devotio moderna. Dia melihat, merasakan, dan mengalami kemerosotan gereja. Dia tidak membongkar atau merobohkan gereja. Dia memperbaikinya dari dalam.
Thomas terkesan kurang memberikan tempat pada budi dan ilmu. ”Saya lebih ingin merasakan hati nelangsa ketimbang mengerti bagaimana cara mengungkapkannya secara teliti. Lebih terpuji menjadi petani bersahaja yang istiqamah ketimbang jadi cerdik pandai takabur yang abai merawat jiwa. Tiada faedah memperdebatkan perkara absurd bergelimang simbol. Di pengadilan terakhir kelak tak akan ditanyakan karena memang sebenarnya tak paham.”
Thomas bukan cerdik pandai yang menekuni ilmu. Tidak berarti dia meremehkan ilmu. Thomas gemar membaca. Dia piawai menulis. Keduanya merupakan kesenangan obsesif. ”Dalam seluruh pencarian hidup tenteram, tidak pernah kedamaian saya temukan selain saat sendirian membaca buku.” Di pusara Thomas tertulis Hoexken met en Boexken – in angello cum libelo – Mojok sendiri sambil baca buku.
Thomas digolongkan contemptus mundi. Tulisannya seperti meremehkan segala yang bersifat keduniawian. Sebaliknya, meluhurkan keilahian dan keabadian. Thomas pernah berujar, ”Jika kamu menghindari menggosip tiada guna, tidak keluyuran ke mana-mana, pasti punya waktu untuk mempertimbangkan perkara-perkara mulia.”
Pernah dituduh sebagai penganut Quietismus. Menganjurkan sikap pasif. Menjauhi keramaian. Pandangan seperti itu keliru. Thomas memang menekankan kesabaran, kerendahan hati, dan kepasrahan. Ketiganya hanya bisa diwujudkan dalam aktivitas nyata keseharian yang berguna bagi sesama. Dia tidak mengagung-agungkan sikap pasif menikmati hidup damai sebagai rahib.
Seorang pekerja keras yang tekun. Pernah menjadi wakil pimpinan biara. Pernah bertugas sebagai bendahara. Guru bagi para calon anggota pertapaan. Bukan hanya pertapa yang pasif berdoa. Thomas punya keyakinan begini. ”Demi menolong mereka yang menderita dan sengsara, pekerjaan boleh kau tinggalkan sementara. Pekerjaan utama tidak dibatalkan, tapi diganti yang lebih luhur. Tanpa cinta kepada sesama, pekerjaan tidak akan bermakna.”
Thomas sering disebut pemikir exselsus mentis, kidung cinta. Kidung cintanya sejalan dengan gagasan reformis Martin Luther (1483–1546). Simul justus et precator. Sola fide et sola gratia. Aku yang berdosa ini, karena iman dan rahmat, beroleh kebahagiaan dan keselamatan. Wir sind bettler, das ist wahr. Aku ini hanyalah pengemis, itu nyata. Nah, Thomas Kempis juga menyebut manusia sebagai orang berdosa yang tidak pantas di hadapan Tuhan. ”Bagaikan pengemis yang diundang pesta orang kaya.” Martin Luther dan Thomas memang menekankan sikap rendah hati.
Thomas mumpuni dalam menelisik kejiwaan manusia sekaligus memberikan terapinya. Kesucian sebenarnya bisa diraih melalui perkara-perkara sepele dan bersahaja dalam keseharian hidup. Jika bisa membebaskan diri dari jerat keinginan yang tak mungkin dipenuhi, manusia pasti bakal merasa ringan, tenteram, dan merdeka.
Jiwa merana terjerat godaan mendapat pertolongan. Mereka yang dirundung kesedihan mendapat penghiburan. Yang ragu-ragu dibuat bergairah. Yang letih lesu karena berbeban berat dikuatkan. Manusia yang kepribadiannya seperti kincir angin bakal terus diombang-ambing perasaan kecewa, sedih, khawatir, dan bosan. Sumber emosi tak terkendali adalah rasa cinta diri yang keterlaluan. Manusia menjadi gila hormat dan haus pengakuan. Galau dalam ketegangan bila tak dihargai.
Ketergantungan akut akan pengakuan orang lain itulah yang menjadi salah satu keprihatinan Thomas. Pemikirannya, sudah berabad-abad, menjaga dan merawat keyakinan umat gereja. Thomas melakukan interiorisasi perihal yang baik dan buruk. Pun yang benar dan salah. Dari wilayah eksterior masyarakat yang memuja keduniawian menuju suara hati yang amat personal (interior).
”Jangan pergi keluar. Pulanglah ke dalam bilik diri. Dalam pribadi yang mengarah di kedalaman bersemayam kebenaran.” Itulah ungkapan St Agustinus yang memengaruhi Thomas A. Kempis. Thomas kembali ke puri kedalaman batin. Di sana dia menemukan kehendak sebagai juru perantara damai antara nalar dan nafsu.
Thomas A. Kempis penulis buku De Imitatione Christi. Sudah berabad-abad kitab kebaktian Kristen karyanya diandalkan sebagai senjata ampuh gereja. Merupakan bacaan kedua terbanyak setelah kitab suci. Para santo, santa, pujangga gereja, dan orang biasa mengambil manfaat dari buku tersebut. Santo Carolus Borromeus, Paus Pius V, Philiphus Neri, Benediktus Labre, dan Petrus Kanisius tak pernah lepas dari buku itu. Sampai ada seloroh: jika Anda ingin menjadi orang suci, bacalah De Imitatione Christi. Sejarah kekeringan spiritual selalu berulang. Kendati demikian, mari tetap bersyukur untuk segala hal. (*)
______________________________________
Sumber Tulisan, Jawa Pos, Minggu, 22 – 12 – 2019
J. Sumardianta, guru sosiologi SMA Kolese De Britto Yogyakarta