Harapan pada masa depan, sumber foto: Pexels
Oleh Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada, Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara
Harapan dalam Merriam-Webster (2024) dapat diartikan sebagai keinginan disertai dengan keyakinan akan pemenuhan. Pemenuhan itu tentu saja secara manusiawi bukan tanpa kendala dan proses yang menyertai, karena kadang manusia lewat berbagai tantangan hidup mengalami keputusasaan.
Ayub dalam kitabnya menggunakan istilah Torak untuk menggambarkan gulungan benang yang berakhir pada kata putus “asa”. Panjang benang ada batasnya. Batas itulah yang menyangkut hak manusia, yang berakhir ketika masa hidupnya selesai. Ada berapa filsuf pun mengalami keputusasaan dengan yang namanya kematian.
Jean-Paul Sartre (1905-1980) meneropong kehidupan manusia melalui lensa kematian, dan menggambarkan sebagai pemicu absurditas yang merajai eksistensi manusia. Menurut Sartre, kematian, yang seringkali tiba secara tiba-tiba dan tanpa pandang bulu, memberikan sentuhan frustrasi dan menghapuskan makna dari setiap perjalanan kehidupan.
Dalam pandangan filosofisnya, kematian menggiring orang pada pengalaman tanpa arti, menggulingkan segala makna yang telah disusun. Sartre menegaskan bahwa kematian tidak dapat diintegrasikan ke dalam rencana eksistensi manusia, menjadi sebuah dimensi yang terpisah dan tidak dapat direncanakan dalam perjalanan eksistensial manusia sebagai being-for-itself.
Namun, di tengah pemikiran Sartre yang mendalam tentang kematian, muncul pertanyaan filosofis yang menarik: bagaimana manusia dapat menemukan makna dan tujuan dalam kehidupan, ketika kematian terus mengintai tanpa memberikan petunjuk yang jelas?
Gagasan Sartre, mendorong orang melalui catatan kritis untuk merenung, tidak hanya tentang absurditas kematian, tetapi juga tentang kemampuan manusia menciptakan makna sendiri dalam keadaan yang serba tidak pasti.
Dengan demikian, pandangan tentang kematian bukanlah sekadar penggambaran kekosongan, melainkan panggilan untuk menemukan arti yang lebih dalam di tengah ketidakpastian eksistensi manusia. Manusia, dengan kebebasan eksistensial yang dimiliki, bukanlah pengada yang berjalan menuju kematian, apalagi menantikan atau mengharapkan kematian sebagai tujuan akhir.
Kematian, dalam perspektif Jean-Paul Sartre, merupakan realitas yang datang dari luar dan dengan cara yang radikal mematahkan eksistensi manusia yang sejauh ini terarah kepada dan melalui kebebasan. Dalam pandangannya, kesadaran akan kematian tidak hanya memberikan tanda bahaya terhadap hidup yang akan berakhir, tetapi juga mengharuskan manusia untuk merenung mendalam tentang makna eksistensi diri di dunia.
Kesadaran akan kematian membawa seseorang mempertanyakan nilai dan makna dari pekerjaan manusia di dunia ini. Konsep kematian mengajak orang untuk mengevaluasi apakah upaya manusiawi dalam mengejar barang-barang duniawi, yang nilainya pada akhirnya terbatas, memiliki makna sejati. Dalam konteks ini, makna fundamental eksistensi manusia tidak dapat terletak pada akumulasi materi atau kekayaan pribadi yang hanya dipergunakan untuk kepentingan pribadi semata.
Sebaliknya, kematian mengingatkan kita bahwa pada saat akhirnya tiba, segala sesuatu yang dikejar dan dimiliki dalam kehidupan ini akan ditinggalkan. Oleh karena itu, pertanyaan tentang makna hidup dan tujuan eksistensi manusia menjadi semakin mendalam dan mendesak.
Harapan yang tidak padam, walau kadang sinar meredup, sumber foto: Pexels
Sebagian filsuf mempunyai keyakinan bahwa kematian, sebagai guru kebijaksanaan terakhir, meruntuhkan ilusi kekayaan dan kepemilikan yang hanya bermuara pada kepentingan pribadi semata-mata. Pandangan ini menggambarkan bahwa segala harta dan materi yang diakumulasi dalam hidup ini, jika hanya diperuntukkan bagi kepuasan diri sendiri, hanyalah bentuk kesia-siaan.
Sebaliknya, kematian menyinari jalan menuju pemahaman bahwa nilai sejati terletak pada bagaimana barang-barang hasil kebudayaan dapat dijadikan alat untuk meningkatkan martabat sesama manusia. Seperti yang diutarakan oleh Emmanuel Levinas (1906-1995), barang-barang bukanlah benda yang harus ditumpuk demi kekayaan pribadi, melainkan sarana yang harus diberikan untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini, hidup menjadi lebih berarti ketika berbagai aspek kehidupan diarahkan untuk memberikan kontribusi positif kepada orang lain.
Lebih lanjut, pandangan ini mengajak kita untuk menangkap makna kebebasan dengan merangkai pengalaman hidup yang membangun, melebihi batas diri, dan menciptakan kebaikan bersama. Oleh karena itu, hidup di masa kini menjadi lebih bermakna ketika diisi dengan tindakan nyata yang mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebebasan.
Adanya kematian tidak meredupkan harapan yang dimiliki manusia. Menurut Fyodor Dostoyevsky (1821-1881), hidup tanpa harapan berarti berhenti hidup. Harapan menjadi kunci untuk menjalani kehidupan dengan makna yang mendalam. Kematian bukanlah entitas yang merampas harapan. Bahkan, dalam tradisi keagamaan kuno, diungkapkan bahwa upah dari menjalani kehidupan ini adalah kesempatan menyampaikan kabar gembira tanpa imbalan. Imbalan yang didapat jelas yakni kemampuan untuk berpartisipasi dalam menjalani kehidupan dengan baik. Oleh karena itu, jangan pernah berhenti berharap dan teruslah menjalani hidup menuju harapan yang mulia.