Oleh Kurniawan Junaedhie
Saya menyambut baik ketika Julia Utami merencanakan penerbitan buku puisi tentang biografi Ibu. Saya senang dengan judul yang dipilih Julia Utami: Mata Ibu. Ini mengingatkan saya pada ucapan Mitch Albom, seorang wartawan olahraga di AS: “Saat kamu melihat ke dalam mata ibumu, kamu tahu itu adalah cinta paling murni yang bisa kamu temukan di bumi ini.” Yes, Albom betul. Dan ketika saya membaca semua puisi Julia di buku puisi ini, –yang ditulisnya setiap malam dengan air mata—semakin sadarlah saya, tentang kedalaman cinta seorang Ibu itu.
Ada kenangan yang tak pernah saya lupakan bersama Ibu Elisabeth. Hari itu, Kamis sore 8 September 2022. Setelah melalui proses yang melelahkan oleh Mbak Tutik, kakak Julia, yang selalu setia merawat dan mengurus surat-surat perawatan dan keperluan tindakan, akhirnya Ibu Elisabeth masuk di kamar rawatnya di sebuah rumahsakit di Jakarta karena Ibu dijadwalkan akan menjalani operasi jantung-nya keesokan paginya. Ini adalah operasi jantung Ibu yang kedua kalinya setelah sebelumnya menjalani operasi.
Ketika tahu Ibu sudah berada di kamar rawat, kepada Julia yang saat itu menemaninya, saya minta ber video call dengan beliau.
Begitu layar gajet terbuka, saya langsung melihat Ibu tertawa melihat saya, dan dengan semangat Ibu melambai-lambaikan tangan. Wajahnya bersemangat, dan suaranya jelas. Ibu langsung menanyakan kabar istri saya yang saat itu sedang sakit. Saya tercekat. Di saat seperti itu Ibu masih ingat dan bersimpati dengan keadaan istri saya. Saya pun cepat-cepat memotong, dan mengatakan, semoga besok pagi operasi lancar, dan meyakinkan bahwa Ibu akan segera sehat seperti sediakala. Beliau mengangguk dengan gembira tanda menangkap kata-kata saya. Alih-alih cemas, saya justru merasa tenang melihat kondisi Ibu itu, sehingga saya tak punya firasat sama sekali menjelang esok subuh Ibu akan dibawa ke ruang operasi.
Esok paginya, Jumat pagi, sekitar pukul 10, saya terima WA dari Julia: “Ibu sudah tidak ada.”
Saya buru-buru angkat telepon: “Tidak ada gimana?
“Ibu meninggal.”
Ya Tuhan. Saya lemas. Saya tak menyangka bahwa pertemuan dan percakapan saya dengan Ibu Elisabeth kemarin sore adalah yang terakhir. Mungkin saya ada dalam jepretan mata Ibu, karena saya termasuk orang yang dalam detik-detik terakhirnya berjumpa dan berbincang dengan saya.
Buat saya Ibu Elisabeth adalah ibu istimewa, yang selama ini mengingatkan saya pada Mami saya almarhum. Melalui cerita-cerita yang dikisahkan Julia kepada saya, dan melalui beberapa kali interaksi saya dengan beliau –meski terbatas melalui video call—Ibu Elisabeth sungguh mirip dengan almarhumah Mami saya. Itu sebabnya mungkin, saya merasa ada jalinan batin dengan Ibu.
Saya mengagumi kecintaan dan kemandirian Ibu sebagai seorang single mother, utamanya setelah ditinggal almarhum Bapak. Dengan caranya yang khas, saya selalu memperhatikan bahwa beliau selalu mencoba untuk menjadi pohon pelindung yang rindang dan teduh bagi keenam anak-anaknya. Ibu yang hingga sepuh jago naik motor itu juga sangat kreatif, semangat, terutama saat anak-anak masih kecil, selalu menjadi penopang semangat Bapak untuk bisa membeayai sekolah anak-anaknnya. Meski anak-anaknya sukses di kota berbeda, ia tetap memilih tinggal seorang diri di rumahnya yang luas tapi lengang, di Totokarto, Adiluwih, Lampung Selatan, sambil menemani Bapak, yang makamnya di dekat rumah. Saya melihat Ibu sudah merasa bahagia, selama anak-anaknya berbahagia, meski harus berpisah di kota-kota berbeda. Ibu tak pernah ikut cawe-cawe terhadap rumah tangga anak-anaknnya.
Saya juga menjadi saksi, betapa beliau berhasil mendidik ke-6 putra-putrinya untuk selalu berempati dan memiliki kepedulian pada sesama. Beliau juga berhasil membuat anak, menantu dan cucu-cucunya untuk selalu rukun dan kompak saling membantu satu sama lain.
Saya ingat ketika awal mula saya dikenalkan dengan Ibu. Kata Julia: “Ibu itu heran, wong cino karo wong jowo kok melu njawani ya nduk?” Ketika saya bilang saya suka kelanting, dan kerupuk Lampung, Ibu juga heran. “Heran ya, Nduk, Oom KJ kok suka makanan ndeso.”
Setiap Ibu berkunjung ke Jakarta, atau Julia pulang ke Lampung, Ibu pun selalu tak lupa mengoleh-olehi saya dengan penganan lokal. Seperti lanting, kemplang, pisang kapok mentah, kopi Lampung, kerupuk dan marning jagung kesukaan Maria, istri saya, bahkan khusus ibu membuatkan keripik pisang untuk kami, Ibu konon membungkusnya secara spesial.
Saya tak pernah lupa pada senyum Ibu yang tulus, dan matanya itu yang selalu berseri: Mata Ibu. Ya, saya melihat mata Mami, pada mata Ibu. Mata yang penuh kasih sayang yang begitu dalamnnya.
Ketika Julia Utami terbaring sakit di sebuah rumahsakit di Jakartai selama tiga minggu pada akhir tahun 2022, suatu hari saya bertemu Ibu di dalam mimpi. Dalam mimpi itu, saya coba memberitahu Ibu, bahwa Julia sakit. Tapi saya hanya melihat Ibu tersenyum. Dan lagi-lagi, mata Ibu, yang lagi-lagi bercahaya.
Akhir tahun lalu, saya kebagian kiriman beras hasil sawah Ibu Elisabeth almarhumah. Dan setiap kami menikmati beras itu, saya selalu membayangkan saat Ibu berlari-lari membunyikan kentongan/goprak bambu pengusir burung.
Buku puisi ini pada akhirnya merupakan sebuah buku puisi cinta – sebuah homage – yang ditulis oleh seorang anak tentang ibu yang dicintainya. Buku puisi ini juga buku puisi biografi karena selain menghimpun foto-foto kenangan, buku puisi ini juga mencatat dengan runtut dan detil tentang kenangan-kenangannya, perasaan-perasaannya dan tentang cintanya yang tak terperi pada sang ibu yang melahirkannya, dalam bahasa puisi serta dalam perspektif berbeda.
Buat saya buku puisi ini juga meneguhkan keyakinan saya, bahwa cinta ibu itu sepanjang jalan, sedang cinta anak sepanjang galah. Dan saya menjadi saksi mata keluhuran budi Ibu Elisabeth.
Tahun lalu, ketika keluarga besar Julia Utami mengadakan peringatan genap acara pendhak setahun berpulangnya Ibu, di Lampung, diam-diam saya menulis puisi ini:
CERMIN IBU
– Ibu Elisabeth Siti Rejeki dalam kenangan
Setelah mengancing kutubarunya, Ibu mematut-matut kebayanya di depan cermin. Cermin menatap wajah ibu dengan riang. Ibu sungguh cantik dan menawan, kata cermin. Ibu jengah. “Kamu berlebihan,” kata Ibu.
Ibu lalu merapikan sanggulnya dengan hairnet, dan mengikatnya dengan karet lalu menguncinya dengan tusuk konde. Cermin itu takjub, tak berkedip menatap wajah Ibu.
Langit suwung. Hari berlalu. Kesibukan meraja seperti putik dan aroma arumdalu.
Sekarang Ibu yang baik hati, cantik dan menawan itu telah berpulang. Hampir setahun cermin itu kesepian dan kehilangan. Cermin yang sedih itu bertanya padaku, ke mana peniti, tusuk konde, kebaya dan sanggul ibu itu harus dilabuhkan. Aku tak bisa menjawab. Aku terlalu sibuk bercermin pada wajah Ibu.
(2023)
Buku ini sungguh buku puisi yang sangat layak dibaca oleh siapa saja yang merasa dilahirkan oleh seorang ibu.
———————————————
*Kurniawan Junaedhie, Penerbit KKK, dan Sahabat Keluarga
*Sumber: Tulisan ini adalah Kata Pengantar Buku Puisi Mata Ibu, Julia Utami, Penerbit KKK, 2023
Ibu adalah tempat kita pulang saat palung hati. Kit lelah