Oleh Paskalis Kossay
Akhir – akhir ini kita dikejutkan dengan aksi – aksi demo rakyat Papua yang memprotes ujaran rasisme dan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Aksi protes tersebut berkembang luas dan bahkan tak terkendali hingga menimbulkan korban harta benda serta nyawa. Massa bertindak anarkis merusak dan membakar fasilitas umum milik pemerintah dan swasta.
Dampaknya menimbulkan ketakutan warga dan melumpuhkan aktivitas sosial dan ekonomi. Sekolah ditutup, kantor pemerintah ditutup, toko dan pasar ditutup. Warga masyarakat dihantui dengan ketakutan, saling menjaga jarak, terganggu relasi sosial antara warga non Papua dengan asli Papua. Sejumlah warga non Papua mulai mengkonsolidir diri membentuk kelompok – kelompok di sejumlah titik di kota Jayapura. Sebaran isu hoax bertebaran tak terkendali membuat eskalasi keamanan kota semakin tercekam.
Mencermati perkembangan situasi sebagaimana tersebut di atas, maka bisa dikatakan konstelasi politik Papua tengah mengalami pergeseran arah. Dari arah konsep politik membangun, bergeser ke arah politik menentang pembangunan bangsa. Hal ini terbaca dari mencuatnya aspirasi Papua merdeka lepas dari NKRI yang semakin menggema belakangan ini.
Dimotori para mahasiswa, aspirasi Papua merdeka sudah hadir di tengah kota. Orang Papua sudah tidak merasa ragu lagi berteriak merdeka dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di tengah kota. Gejala ini menunjukkan ada perubahan cara pandang atau persepsi politik orang Papua tentang masa depan politik Papua itu sendiri.
Dinamika tersebut tidak serta merta menghadirkan jaminan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Papua dalam tempo relatif dekat, namun perlu proses waktu yang lama dan panjang. Dalam proses perjuangan pun harus dengan kerja keras dan dengan pengorbanan jiwa dan raga. Proses perjuangan tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak 1961 cikal bakal terbentuknya Papua sebagai sebuah negara bangsa.
Riak – riak politik yang mewarnai selama 50 tahun bersama Indonesia, sebenarnya sikap gugatan orang Papua terhadap peristiwa politik masa lalu tersebut. Perjuangan tersebut kini sudah tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Bahkan sudah bergulir di forum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB).
Orang Papua sendiri sudah mulai menata diri, membentuk sebuah organ perjuangan yang bergerak di berbagai fora perjuangan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan terbentuknya organ perjuangan ini, maka seluruh aktivitas politik menyangkut politik Papua dikendalikan langsung di bawah kendali organ yang bersangkutan.
Sehingga sejumlah aksi – aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat Papua di dalam negeri tentu di bawah pengawasan organ pengendali. Semua agenda aksi di dalam negeri dilakukan dalam skenario organ. Dengan demikian, maka dapat dikatakan aksi caunter balik kasus Surabaya dan Malang merupakan skenario apik diperjuangkan organ perjuangan Papua tersebut.
Jika pemerintah tidak hati – hati dan tidak bijaksana menangani Papua maka cukup besar peluang bagi Papua untuk melepaskan diri dari Indonesia. Indonesia tidak sanggup membendung lagi jika adanya intervensi PBB terhadap upaya perjuangan Papua.
Indonesia tentu tidak rela Papua harus lepas dari Indonesia. Karena itu dengan bergai cara dan pendekatan , Indonesia mau mempertahankan Papua tetap dalam NKRI. Karena itu banyak pendekatan coba diterapkan di Papua. Namun sejumlah pendekatan tersebut rupanya belum mampan merubah Papua menjadi maju dan sejahtera.
Pemerintah pasti mencari jalan lain untuk menjaga Papua agar tetap damai, tanpa adanya provokasi dari kalangan tertentu. Upaya pemerintah bisa ya, tetapi juga tidak bisa dinilai tepat. Oleh karena pola pendekatannya selalu berubah – ubah. Kadang represif, tetapi juga pendekataan kemanusiaan.
Seperti akhir – akhir ini , pemerintah coba menerapkan pendekatan persuasif terhadap aksi – aksi demo. Namun akhirnya para pendemo justru bertindak anarkis merusak fasilitas umum dan milik masyarakat. Hal ini memancing amarah dari masyarakat lain kemudian menciptakan ketegangan di antaran warga. Situasi ini jika dibiarkan, akan berpotennsi kuat pecahnya konflik horisontal.
Di sisi lain jika aspirasi massa demo tidak diarahkan baik, kemungkinan blundernya konstelasi politik Papua terbuka luas. Bisa saja muncul manuver politik lain yang memperparah konstelasi kondisi politik Papua.
Kemungkinan situasi seperti Timor Timor sebelum refrendum bisa terulang di Papua. Pengalaman Timor Timur sebaiknya dijadikan guru yang baik menghadapi arus perlawanan politik Papua terhadap keutuhan NKRI.
Memang masalah rasisme dianggap masalah kecil atau sepeleh. Tetapi jika masalah ini ditanggapi dengan uncur politik, tentu akan berbahaya bagi Indonesia. Karena alasan politik yang dibangun adalah masalah derajat kemanusiaan, maka respon dunia akan bergerak lebih luas, sehingga mengkerdilkan kepercayaan dunia kepada Indonesia.
Penilaian ini lebih kurang akan memberikan bobot tingkat kepercayaan dunia kepada perjuangan Papua merdeka. Dengan demikian diplomasi Indonesia tentang masalah Papua semakin tidak mendapat tempat dalam percaturan politik dunia. Semoga pemerintah bisa belajar dari pengalaman Timor Timur.
Sumber : Status FB Paskalis Kossay 1 September 2019