OLEH IGNAS KLEDEN
DALAM seminar Indonesia- Myanmar yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi di Jakarta, 29 Oktober 2013, muncul sebuah pertanyaan yang mengundang debat yang hangat. Apakah masih ada alasan membela dan memajukan demokrasi kalau sebagai sistem politik, demokrasi di negara-negara yang dinamakan young democracies tidak sanggup mencegah korupsi dalam pemerintahan dan gagal juga menghentikan praktik-praktik yang melanggar HAM dalam masyarakat?
Kita bisa menambahkan keberatan lain, misalnya mempertanyakan kemampuan demokrasi mewujudkan keadilan sosial yang lebih baik atau mendorong pemberantasan kemiskinan dan pengangguran. Dalam tulisan ini kita membatasi pertanyaan pada korupsi dan pelanggaran HAM saja. Sanggupkah demokrasi memperbaiki keadaan dalam hubungan dengan dua masalah tersebut? Rupa-rupanya demokrasi tidak bisa diharapkan menghilangkan korupsi dan pelanggaran HAM dengan kecepatan sebuah tablet dari apotek menghilangkan sakit kepala atau sakit perut. Demokrasi merupakan sebuah sistem besar yang hanya efektif kalau dia berhasil membangun mekanisme-mekanisme lain dalam dirinya, yang membuatnya menemukan jalan mencapai sasaran dalam kinerjanya. Ada sistem-perantara yang harus ada terlebih dahulu agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik.
Korupsi, misalnya, bisa dikurangi dan bahkan dicegah kalau sudah ada tata kelola yang rapi dan tangguh dalam pemerintahan, yaitu tegaknya good governance. Tata kelola yang baik dalam pemerintahan terbangun kalau ada kombinasi yang optimal antara birokrasi yang bersih dan efisien dan kemauan politik dan kekuatan politik yang tecermin dalam kebijakan publik yang dapat diimplementasikan.
Tata kelola dalam pemerintahan dapat dibandingkan dengan tata kelola dalam perusahaan bisnis, di mana birokrasi yang bersih dan efisien dapat disejajarkan dengan administrasi dan manajemen dengan SOP yang jelas, sementara kemauan politik dan dukungan kekuatan politik dalam pemerintahan mendapat padanannya dalam struktur kepemimpinan perusahaan. Administrasi Pemerintahan dan Administrasi Bisnis jelas tidak sama, tetapi beberapa fungsinya dapat dibandingkan sekalipun hanya secara analog. Dalam arti itu public good governance dapat mengambil pelajaran dari corporate good governance dan sebaliknya.
Birokrasi dan SOP adalah ibarat mesin yang hanya dapat berfungsi kalau dijalankan dengan mengikuti tuntutan mekanik mesin itu. Sebuah mobil bisa dihidupkan, kemudian dimasukkan gigi 1 atau gigi 2 dan diberi gas, tetapi tidak akan berjalan baik kalau sopirnya menarik rem tangan. Tindakan ini menyalahi mekanik mesin mobil. Atas cara yang kurang lebih sama, birokrasi dan SOP hanya berfungsi kalau dilaksanakan dengan mengikuti tuntutan prosedur di dalamnya.
Efisiensi dan bersihnya birokrasi
Hubungan efisiensi birokrasi dengan bersihnya birokrasi bersifat timbal balik. Efisiensi birokrasi menuntut bersihnya birokrasi sebagai syarat mutlak meskipun bukan syarat yang mencukupi, karena efisiensi selalu bisa ditingkatkan dengan memperbaiki dan menyederhanakan prosedur birokrasi melalui cara-cara yang lebih baru. Sebaliknya, birokrasi yang tidak bersih dapat dipastikan tidak akan mencapai efisiensi karena prosedurnya diselewengkan untuk tujuan lain yang bertentangan dengan tuntutan prosedur.
Seterusnya, kemauan politik dan kekuatan politik dalam implementasi kebijakan publik pemerintah, dan struktur kepemimpinan dalam perusahaan, dibutuhkan untuk memberikan sekurang-kurangnya tiga hal penting dalam implementasi kebijakan publik atau suatu program bisnis, yaitu sense of mission dalam menetapkan tujuan, sense of direction dalam menentukan arah, dan sense of commitment yang melahirkan motivasi yang kuat. Dalam berbagai kasus, terbanyak pemimpin politik sekarang hanya sanggup menunjuk tujuan (yang bersifat umum), seperti Indonesia 2025 atau Indonesia 2045, tetapi tak dapat menunjuk arah yang harus dan bisa ditempuh, dan juga sangat lemah dalam memberikan motivasi untuk melewati berbagai tahapan yang harus dilalui.
Situasi ini dapat dipahami karena merumuskan tujuan adalah hal yang paling mudah untuk seorang pemimpin, karena tujuan sering kali terdiri dari impian yang bersifat normatif. Menetapkan arah lebih sulit karena mengandaikan adanya kepekaan terhadap situasi, dan wawasan tentang kemungkinan bagi kesempatan atau munculnya halangan. Memberi motivasi merupakan hal yang paling sulit karena mengandaikan adanya kepercayaan diri seorang pemimpin (apakah dia bersih atau tidak, yakin atau ragu) dan adanya kepercayaan kepada orang lain (yang harus merasa mereka mempunyai potensi, dan potensi itu benar-benar dibutuhkan).
Seorang pemimpin yang peragu cenderung mereplikasikan keraguannya pada mereka yang dipimpinnya, sedangkan pemimpin yang terlalu yakin tentang kemampuan dan kepandaiannya cenderung gagal membentuk tim kerja yang berhasil karena dia tidak mampu menimbulkan perasaan pada orang-orang lain bahwa mereka mempunyai potensi, dan potensi mereka dibutuhkan.
Hal yang sama berlaku juga dalam usaha menghentikan pelanggaran HAM. Sudah jelas bahwa pelanggaran HAM hanya bisa dicegah atau dihentikan kalau ada penegakan hukum yang mendukungnya. Masalah yang harus diklarifikasi ialah apakah penerapan demokrasi dengan sendirinya mendorong tegaknya negara hukum yang kuat? Dalam sejarah politik di berbagai tempat di dunia, segera terlihat bahwa penerapan demokrasi dan penegakan hukum dapat berjalan secara tidak simetris. Ini terjadi karena hukum dapat ditegakkan dengan baik, dalam negara yang kurang demokratis, tidak demokratis, dan bahkan dalam negara yang otoriter. Otto von Bismarck mempersatukan Jerman dan berhasil membangun negara Prusia dengan menggunakan tangan besi, sambil menerapkan semboyan yang kemudian diwariskan dalam seluruh birokrasi Jerman, Ordnung muss sein, yaitu semua harus tertib dan teratur. Lee Kuan Yew barangkali bukan seorang demokrat yang patut dicontoh, tetapi dia sanggup membangun rule of law di Singapura.
Terlihat dari contoh-contoh ini bahwa penegakan hukum tidak dengan sendirinya melahirkan demokrasi sebagai produknya, karena tertib hukum dapat diterapkan untuk mendukung suatu pemerintahan yang tidak selalu demokratis. Dari sisi lainnya, kita bertanya apakah dalam suatu masyarakat yang semakin demokratis, penegakan hukum lebih mudah dilakukan dan dapat diperkuat sedemikian rupa sehingga mampu menghentikan pelanggaran hak-hak asasi manusia?
Kalau diingat bahwa demokrasi adalah sistem politik yang tujuan akhirnya adalah mempertahankan martabat manusia, sedangkan martabat manusia direalisasikan dalam perwujudan hak-hak politik dan hak-hak sipil, sebagai konkretisasi hak-hak asasi manusia, maka dapat ditegaskan bahwa demokrasi yang berhasil akan lebih memungkinkan terjaganya hak-hak asasi itu, karena terjaminnya hak-hak itu bentuk konkret penghormatan kepada martabat manusia yang dibela dalam setiap demokrasi.
Asimetrinya terletak di sini, bahwa sekalipun tegaknya hukum tidak dengan sendirinya memperkuat demokrasi, tetapi perkembangan demokrasi yang matang dapat memperkuat rule of law, sejauh sistem hukum itu mengakui hak-hak asasi manusia. Dimasukkannya hak-hak asasi dalam sistem hukum suatu negara akan memberikan nuansa demokrasi yang kuat kepada penegakan hukum, karena hak-hak adalah masalah hukum, tetapi sifat asasi hak-hak itu adalah persoalan demokrasi, yang memberikan watak universal kepada hak-hak tersebut, sebagai realisasi dan jaminan bagi martabat manusia.
Ancaman korupsi
Namun, terlepas dari diskusi di atas, kita sebaiknya memberikan perhatian kepada masalah lain yang sangat mungkin dihadapi Indonesia pada hari-hari ini dan hari-hari mendatang. Kenyataan yang ada sekarang ialah bahwa pemerintahan yang bersih dan kesejahteraan rakyat semakin terancam oleh praktik korupsi yang meluas dan semakin meningkat besarannya. Kegagalan suatu pemerintahan demokratis untuk mengurangi dan bahkan menghentikan sama sekali praktik-praktik korupsi dapat menimbulkan keraguan di kalangan orang banyak tentang dua hal. Pertama, apakah ada sistem lain yang lebih efektif mengakhiri korupsi? Kedua, apa yang terjadi kalau sistem yang lebih efektif itu bukan sistem yang demokratis, tetapi sistem yang otoriter?
Untuk Indonesia saat ini kedua pertanyaan tersebut bukanlah masalah teoretis dalam debat akademis, melainkan masalah politik yang sangat mungkin harus dihadapi sebagai pilihan politik, kalau pemerintahan yang demokratis tidak mempunyai kekuatan dan determinasi cukup untuk mengakhiri praktik korupsi yang merugikan negara dan menghambat kesejahteraan rakyat, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Korupsi yang terlalu meluas dapat dianggap menimbulkan krisis politik, sedangkan krisis politik hanya dapat diatasi dengan suatu tindakan darurat yang tegas. Tentu saja diharapkan bahwa tindakan mengatasi keadaan darurat itu tidak menggunakan cara-cara otoriter, yang biasanya dijustifikasi sebagai langkah yang bersifat sementara. Indonesia sudah terlalu berpengalaman dengan pembenaran seperti itu. Munculnya Presiden Soeharto ke atas panggung nasional juga akibat krisis politik, dan tindakan-tindakan yang nondemokratis juga pernah ditoleransi sebagai langkah sementara mengakhiri krisis. Akan tetapi, setiap tindakan darurat yang bersifat otoriter hampir tak mungkin menentukan sendiri, sampai kapan tindakan-tindakan darurat itu perlu dipertahankan dan kapan pula sifat darurat dari tindakan-tindakan yang otoriter itu harus berakhir. Setiap kepemimpinan darurat yang cenderung otoriter selalu tergoda untuk melestarikan dirinya dalam sistem politik.
Sampai tingkat tertentu pemberantasan korupsi dan usaha menghentikan pelanggaran hak-hak asasi akan menjadi batu ujian bagi legitimasi demokrasi sendiri. Karena, seandainya sistem demokrasi di Indonesia, yang telah direbut kembali melalui reformasi politik 1998 gagal mengakhiri korupsi secara tuntas, dan gagal juga mencegah pelanggaran hak-hak asasi, maka kegagalan ini akan mengundang masuk sistem yang lebih otoriter, yang memberi janji menegakkan pemerintahan yang bersih, sekalipun dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan barangkali juga dengan mengorbankan hak-hak asasi manusia.
Ignas Kleden, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Sumber: Kompas, 18 November 2013