Paul Budi Kleden, SVD
Dari tanggal 3 sampai dengan 15 Desember2017 digelar Konferensi PBB tentang Pemanasan Global di Denpasar, Bali. Pertemuan penting ini di selenggarakan karena masalah pergeseran iklim bumi sebagai akibat dari pemanasan global. Hujan dan salju yang tidak datang pada waktunya membawa kebingungan dan kecemasan pada manusia. Suhu yang semakin naik membuat makhluk hidup kehilangan orientasi. Bukan mustahil, kebingungan dan kehilangan orientasi itu berakibat pada perubahan wajah bumi dan punahnya spesies tertentu dan makhluk hidup.
Tampaknya pergeseran serupa kita alami pula dengan perayaan-perayaan keagamaan,seperti Natal. Suasana yang khas, yang boleh jadi dialami dahulu, terasa sudah bergeser. Taka da lagi yang khusus. Banyak orang kehilangan orientasi. Masa advent tidak lagi menyajikan suasana istimewa persiapan Naatal. Akibatnya seperti tiba-tiba, kita telah berada di ambang Natal.
Namun, sebenarnya peristiwa ini terlampau agung untuk dibiarkan pergi bersama berlalunya waktu. Belum terlambat untuk memberi makna padanya. Untuk dapat menyelami makna yang mendalam dari perayaan Natal, kita perlu membongkar berbagai pemahaman yang kurang tepat dari praktik yang menyeleweng. Dengan demikian Natal menjadi sebuah moment untuk belajar dan berubah.
Desakan Harapan
Pada dasarnya setting Natal bukan terutama kandang hewan yang mudah membangkitkan rasa haru. Aktor utamanya bukan sepasang suami istri yang ketiadaan tumpangan, yang merah mukanya mendengar umpatan tuan rumah yang menolak memberikan penginapan. Natal bukan pertama-tama diistimewakan oleh bintang yang bersinar benderang di malam yang kelam, yang menjadi inspirasi untuk sebuah lagu dan syair yang menggugah. Juga bukan terutama berkenaan dengan nyanyian merdu para malaikat yang membangunkan dan mengundang rasa kagum para pekerja di padang gembalaan.
Memang, semua yang disebutkan di atas termasuk dalam kisah Natal. Namun, kisah itu hanya dipahami secara benar apabila kita menempatkannya pada suatu latar belakang yang jauh lebih luas. Natal harus ditempatkan pada horizon penantian yang sangat panjang, mendesak sekaligus aktual. Karena itu, bukan tanpa alasan orang-orang Kristen melewati masa penantian selama empat minggu, sebelum merayakan pesta Natal. Masa penantian itu melambangkan harapan yang panjang dari umat manusia.
Natal adalah jawaban Allah atas harapan yang mendalam dari sejarah panjang umat manusia. Di tengah situasi kehidupan dengan berbagai persoalannya, terkristalisasi harapan yang mendesak akan intervensi ilahi yang mengatasi semuanya. Secara sangat padat harapan itu diungkapkan oleh Yesaya, seorang nabi Yahudi dari abad ke-8 SM: “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan itu telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar….sebab kuk yang menekannya dan gandar yang di atas bahunya telah Kaupatahkan……..sebab setiap sepatu tentara yang berderap-derap dan setiap jubbah yang berlumuran darah akan menjadi umpan api. Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan bagi kita” (Yesaya 9: 1-6).
Pernyataan sang nabi itu merupakan ungkapan kerinduan manusia yang mengalami ketertekann karena tanggungjawab kehidupan yang semakin berat. Tidak hanya pada waktu itu. Sang nabi membahasakan kerinduan dan harapan kita juga. Tuntutan dan beban kerja yang kian tidak manusiawi di bawah ancaman PHK yang sangat riil, ruang gerak ekonomi yang semakin sempit, yang tak jarang memaksa orang menjual harga dirinya sebagai manusia; kerakusan akan kekayaan yang menghancurkan keseimbangan alam. Di tengah situasi seperti ini, manusia merindu dan berharap agar beban yang menekan, yang sering membuatnya malu, diangkat. Warga bangsa seperti ini tidak ingin lagi terus menunduk, menyembunyikan wajahnya, terpuruk dalam kehinaan.
Dalam kenyataan, memang banyak orang mesti hidup di bawah komando orang lain yang bertindak sewenang-wenang. Kesewenangan itu tidak jarang menampilkan diri dalam bentuk kekerasan dan symbol-simbol kekerasn. Ada pemaksaan yang menggunakan perangkat perundangan dan aparat negara. Negara dan perangkatnya dialami sebagai institusi yang mewakili kepentingan para pemodal besar daripada kesejahteraan umum. Mereka menekan masyarakat untuk bekerja di bawah kondisi yang tidak bersahabat demi peningkatan profitnya sendiri. Lembaga-lembaga demokrasi lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas wacana demokrasi, karena kuantitas lebih gampang memberikan kriteria objektif untuk mendapat uang dan serentak memperbanyak kesempatan untuk melakukan korupsi. Rakyat kehilangan instansi dan oknum yang bersedia menyuarakan desahan penderitaan mereka. Dalam situasi seperti ini tumbuh harapan agar tongkat penindas sefera dipatahkan. Tak akan ada lagi penguasa yang bertindak sewenang-wenang di atas penderitaan orang banyak.
Kenyataan lain yang sangat membelenggu masyarakat adalah rantai balas dendam yang sengaja dibiarkan tidak pernah putus. Kerusuhan-kerusuhan yang secara terencana tidak pernah diselesaikan dengan tuntas, yamg selalu menyembunyikan tokoh kunci di balik nama misterius ‘dalang’ atau ‘aktor intelektual’, menimbun rasa dendam yang berkelanjutan pada masyarakat. Di tengah kondisi masyarakat seperti ini, dibutuhkan sebuah pemicu yang sangat tidak berarti untuk memunculkan aksi kekerasn yang meluas. Maka tindak kriminal pun menjadi semakin tidak terbendung. Ketidakpercayaan terhadap penyelesaian masalah oleh lembaga publik menemukan kompensasinya dalam tindakan main hakim sendiri. Banyak mantel menjadi berdarah-darah. Dari dalam kondisi ini terumus harapan agar mantel berdarah yang memendam dendam itu dihanguskan. Bayang-bayang penderitaan masa lalu yang menghantaui akan ditiadakan, agar dengan lebih bebas orang menatap dan melangkah ke depan.

Kesederhanaan Natal
Memahami Natal dalam prespektif kerinduan dan harapan yang panjang dan mendesak itu, memunculkan pertanyaan: Apakah harapan besar itu menemukan pemenuhannya dalam peristiwa yang dirayakan sebagai Natal? Allah datang ke dunia dalam sosok seorang bayi, putera sepasang suami-istri yang miskin secara ekonomi dan tidak berpengarug secara politis. Dapatkah kerinduan itu mendapatkan jawabannya dalam kehinaan dan ketakberdayaan serupa itu?
Hemat saya di sini kita mengenal ironi Natal. Betapa tidak! Kesukaan besar, dapatkah itu ditemukan pada kelahiran seorang anak dari sebuah keluarga miskin yang sedang ketiadaan tumpangan? Berita gembira bagi seluruh bangsa, mungkinkah itu bermula dari pinggir sebuah kota kecil? Juruselamat, bisakah Dia dijumpai dan dialami di dalam diri seorang bayi? Pembebas, dalam sosok anak kecil yang terikat lampin di kawan hewan? Yang membebaskan, dalam Dia yang dikandangkan? Kristus yang diurapi, di tengah bau binatang, pemilik sah dari kandang itu? Rentetan pertanyaan ini mengungkapkan ironi Natal.
Orang Kristen merayakan Natal sebagai pesta Allah memberikan jawaban-Nya kepada harapan manusia. Apakah ini sebuah jawaban yang memadai? Yang diimpikan adalah keselamatan, namun yang ditemukan adalah sebuah kemiskinan. Yang dinantikan adalah pembebasan, tapi yang diberikan adalah sebuah ketakberdayaan. Yang dirindukan adalah kepastian, sementara yang dijumpai adalah seorang bayi, tanda paling jelas dari ketidakpastian. Ini adalah sebuah ironi, karena jawaban yang diberikan Allah terlampau kecil untuk segudang pertanyaan yang kita kandung dalam diri kita. Kelahiran itu tampaknya terlalu tak berarti untuk kerinduan kita yang sangat besar. Palungan itu terlalu sederhana untuk membungkus hadiah yang kita harapkan. Lalu apa makna ironi itu?
Natal bukanlah jawaban tuntas dari Allah yang sanggup mendiamkan semua pertanyaan manusia. Natal tidak dapat sebagai akhir dari sejarah. Ke;ahiran Kristus bukanalah jawaban yang memberikan kepenuhan bagi serba kerinduan dan impian manusia. Sebaliknya! Kelahiran itu menyingkapkan sederetan pertanyaan baru, membakar kembali kerinduan manusia, menyalakan lagi impiannya. Natal, kelahiran Kristus, bukan titik final dari segala ziarah, bukan penyelesaian semua tugas dan akhir segala beban kehidupan. Sejarah Allah dan manusia tidak berhenti di sini.
Natal berarti Kristus lahir dalam sebuah kehinaan, ditengah kekelaman nasib para miskin, dalam kepeutusasaan sekian banyak bangsa yang terpenjara karena kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Kristus tidak datang untuk menutupi semua itu. Sebaliknya, Dia datang untuk menyingkapkan semua itu. Dia datang agar kemiskinan, keputusasaan, aib dan ketakberdayaan itu tidak terus disembunyikan.
Tempat kelahiran-Nya adalah sebuah wilayah kumuh, daerah gelap, daerah yang sengaja digelapkan agar tidak tampak, yang disembunyikan di balik tirai. Dia lahir di tengah kelompok orang miskin. Mereka ini adalah kelompok yang disembunyikan, yang ditutup-tutupi supaya tidak mencoreng kejayaan sebuah rezim. Apa yang tidak semestinya, hendak disembunyikan, supaya ada kesan baik tentang rezim yang sedang berkuasa. Lalu, perlahan yang miskin sebagai korban ketidakadilan itu dianggap tidak ada. Pertanyaan yang seharusnya timbul kareana kenyataan ini perlahan hilang. Manusia hidup seolah semuanya beres, tanpa masalah, tanpa pertanyaan yang mendesak semua jawaban.
Terang Natal bukanlah terang yang menyilaukan dan membutakan. Kesyahduan Natal bukanlah sebuah undangan untuk tenggelam dalam sebuah histeria massal. Natal memang jawaban Allah, namun jawaban itu memancarkan sinar atas banyak hal yang belum beres. Jawaban itu membangkitkan sederetan pertanyaan baru tentang apa yang mesti dilakukan. Natal berarti Allah memberanikan manusia untuk melihat kekelaman yang masih saja merundung banyak bangsa dan sekelompok masyarakat, menyoroti kegelapan yang masih tersisa dalam hidup kita sebagai manusia.
Natal memiliki sebuah ironi. Namun ironi itu bukan untuk mematikan, melainkan untuk membongkar semua rasa puas diri dan mental triumfalistis. Ironi Natal mengingatkan bahwa kita masih terus menempuh sebuah jalan panjang mengubah kandang menjadi rumah yang layak bagi semua. Natal adalah sebuah simpul pada harapan panjang umat manusia.
Sumber Tulisan dari Buku ‘DI TEBING WAKTU’ Penerbit Ledalero, 2009