Pengantar : Untuk semakin mengenal tradisi semana santa, sejarah dan kebudayaan wilayah Larantuka dan sekitarnya, berandanegeri.com menurunkan beberapa tulisan sejak hari Rabu 26 Februari 2020 hingga menjelang Paskah 12 April 2020. Tulisan akan dikemas sebagai esey budaya. Ini merupakan artikel kelima. Semoga berguna.
Penulis: Benjamin Tukan
Pelabuhan tempat kapal berlabuh, sesungguhnya bukan sekadar dapat berlabuh, tapi bagaimana tempat itu memberikan rasa aman, terlindung dari ombak besar, angin dan arus yang kuat.
Sejarahwan Maritim, AP. Lapian menuliskan “Pelabuhan harus mempunyai daya tarik yang besar bagi kapal-kapal dari luar, misalnya pasar yang ramai tempat hasil hutan dari pedalaman diperdagangkan serta bahan makanan dan air minum disediakan untuk konsumsi di kapal”.
***
Apa yang dituliskan AP Lapian, baik juga untuk memotret kembali keadaan Larantuka tempo dulu, ketika tempat ini disebut memiliki pelabuhan yang cukup ramai, sekaligus penghubung perdagangan di antara kerajaaan besar di nusantara abad 16 terutama dalam lintasan perdagangan yang menghubungkan zona perdagangan di sekitarnya seperti Bima-Sumbawa, Lombok, Ende, Waingapu dan Kupang.
Sebelumnya, pada jaman Majapahit dengan ekspansi armada ke nusantara, sebenarnya wilayah ini sudah cukup dikenal. Dalam buku M. Yamin tentang Gadjah Mada dituliskan bahwa daerah Mananga adalah daerah yang cocok untuk melabuhkan kapal.
Mananga sendiri letaknya di Pulau Solor, tidak jauh dari Larantuka dan sama-sama berada dalam teluk. Hingga memasuki jaman pelayaran Portugis di nusantara, Solor dan Larantuka menjadi tempat persingahan yang cukup aman.
Menjadi menarik di sini Larantuka dan sekitarnya (kepulauan Solor) yang dulu menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal yang melintasi perairan Flores dan sekitarnya tidak sekadar memiliki teluk yang tenang dan aman tapi juga memiliki potensi lain yang menunjang aktivitas kepelabuhanan.
Jika Larantuka dilihat dari satu bentangan peta Nusantara yang berhubungan dengan pelayaran kapal-kapal dagang yang melintasi perairan dari timur ke Barat demikian sebaliknya, maka satu tempat yang tidak bisa dilupakan adalah Tanjung Bunga. Sebuah tanjung paling ujung timur pulau Flores. Di tempat inilah atau di perairan ini, klasi kapal memutuskan untuk memutar haluan menuju tempat yang dituju.
Jika pelayaran itu datang dari arah barat, maka lautan di Tanjung Bunga adalah tempat yang tepat untuk memutar haluan ke arah Banda dan Ternate, atau juga bisa ke arah selatan menuju Kupang dan Dili. Sebaliknya kapal yang datang dari arah timur, di tempat inilah haluan kapal diarahkan entah ke Makasar, Jawa, ataupun meneruskan perjalanan ke Malaka sebagai bandar yang ramai ketika itu.
Tanjung Bunga memberi daya tarik terendiri. Pemandangan pantai nan indah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon flamboyan dan berbagai tanaman berbunga merah seperti pohon dadap dan kapuk hutan, selalu menggoda para pelaut untuk menghampiri. Tak berlebihan keindahan yang disuguhkan oleh alam inilah yang oleh pelaut Portugis menyebut pulau ini Cabo da Flora, pulau bunga, yang menjadikan nama pulau Flores hingga saat ini.
Letak yang strategis dari wilayah Tanjung Bunga untuk memasuki daerah kepulauan Solor, dapat juga dilihat dari perjalanan kapal Victoria pada bulan Desember 1521. Kapal sisa armada Magelhaes ini berlayar dengan misi menemukan tempat-tempat penghasil rempah. Dari Amerika selatan, kapal ini tiba di Filiphina terus ke Ambon pada 8 Januari 1522 dan kemudian memasuki perairan kepulauan Solor menuju Timor. Kapal melewati perairan antara pulau Lembata dan pantar menuju Pulau Timor dan dari ujung pulau Timor, mengarahkan haluannya ke Tanjung Pengharapan dan terus ke Spanyol.
Tapi soalnya bagaimana dengan Larantuka? Jika posisi kapal sungguh berada persis di ujung Tanjung Bunga dengan haluan kapal arah timur, maka Larantuka sebenarnya tidak jauh dari situ. Memutar haluan ke arah barat, kapal-kapal akan memasuki sebuah teluk dengan apitan pulau-pulau dengan penghuni yang terbilang cukup banyak. Inilah yang dilakukan armada Portugis yang dipimpin Antonio de Aberu pada pada tahun 1511. Armada yang dikirim Alfonso de Albuquerque ini menyinggahi wilayah ini untuk beberapa lama.
Selat Larantuka memang dikenal dengan arusnya yang deras. Jika waktu yang tepat, para pelaut tak butuh banyak kerja, cukup mendayung ataupun memasang layar pelayaran akan juga tiba. Arus selat yang deras, cukup dapat membantu mengantarkan perahu hingga ke dalam teluk Larantuka.
Dengan memilih berlabuh di Larantuka atau teluk-teluk di perairan kepulauan Solor merupakan pilihan yang tepat untuk menghindar dari amukan badai di utara atau selatan Flores. Di sinilah, kapal-kapal yang melintasi perdagangan tempo itu berlabuh menunggu mengisi perbekalan dan menunggu redahnya badai musim barat. Letak yang strategis ini juga sebagai tempat para pelaut, berteduh untuk menambah perbekalan di perjalanan kemudian. Hasil-hasil bumi juga merupakan daerah barteran yang cukup terkenal.
Karena itu, bukan satu yang berlebihan, bila laporan pendeta Jesuit Balthasar Dias yang mengunjungi Solor pada tahun 1559 melaporkan adanya 200 pedagang dan pelaut Portugis yang beristirahat selama bulan Desember dan Januari untuk menghindari badai yang ganas.
Perhatian lebih terarah lagi, saat Benteng Portugis di Malaka di ambil oleh VOC pada 1541. Solor kemudian menjadi alternatif Portugis untuk mengantikan Malaka. Hal ini pun dikaitkan dengan Peta Dunia yang dipublikasikan Mercator dalam tahun 1569 yang menempatkan Flores sebagai tempat yang penting di sebelah timur Malaka.
Kehadiran Portugis di wilayah ini pada abad XVI membuka hubungan perdagangan antara Malaka dan Solor, juga terjadi kontak antara Solor dengan pos-pos perdagangan Portugis di Cina Makao. Apa yang terjadi dengan ini semua tidak lain, kepulauan Solor dan Larantuka khususnya dijadikan tujuan para pengungsi Portugis di Malaka ini. Dalam berbagai tahapan, para pengungsi mulai berdatangan ke Larantuka.
Sejak abad 16 daerah ini telah menjadi perhatian para pedagang yang meramaikan perdagangan di kepulauan Nusa Tenggara. Ketika itu, rempah-rempah dan kayu Cendana termasuk barang mahal dan dibutuhkan di daratan Eropa. Dan permintaan ini dapat terjawab dari wilayah-wilayah di Flores, Maluku, Ternate yang banyak menghasilkan rempah-rempah.
Menurut I Gde Parimartha, pada tahun 1756 ditemukan banyak pedagang pribumi yang berlayar dari Makasar menuju Flores. Mereka membawa barang-barang seperti: ikan mas, ikan salem, ikan haring, gading gajah, porselin, dan barang-barang dari tembaga, kain lena, porselin, parang. Sebaliknya dari timur mereka kembali ke Makassar dengan membawa sarang burung, karet, barang anyaman dan budak.
Selain barang-barang itu, di kepulauan ini ikut juga diperdagangkan teripang. dari Flores juga dibawakan kain tenun dan anyaman, mede, cendana, buah asam, kapas, jagung, minyak ikan paus, sirip ikan, dan balerang, atau jalur seltn lewat timor. Catatan sejarah juga menyebutkan daerah ini memiliki pasar-pasar pada hari tertentu.
Dituliskan bahwa, pada abad XVII, kain tenun dari Nusa Tenggara ada yang dikirim sampai Maluku. Semua ini memberi gambaran bagaimana gugusan kepulauan Nusa Tenggara telah berada di tengah-tengah jaringan perdagangan yang luas. Flores termasuk dalam zona perdagangan Laut Jawa,juga terletak di antara zona perdagangan yang ramai seperti antara Makassar dan Maluku. Bima dan Solor merupakan jalur utara perdagangan di Nusa Tenggara.
Ada pengaruh lain dari pelintasan perdagangan semacam ini,adalah proses asimilasi dan kawin-mawin, juga pertukaran budaya serta masuknya pengaruh agama-agama besar seperti Islam dan Katolik ke wilayah ini. Seperti pengaruh Portugis terhadap masuknya agama Katolik di daerah ini, datangnya para mubalik melalui jalur perdagangan, bahkan jauh sebelum itu sekitar abad 14-15 M, memberikan pengaruh bagi perkembangan agama Islam di wilayah ini.
Kembali ke Larantuka, pertikaian dan persaingan yang terjadi dalam merebut benteng Solor yang berlangsung hampir seabad, menjadikan Larantuka pilihan yang terbaik untuk melabuhkan kapal dan menjadi tempat yang ramai untuk perdagangan di wilayah tenggara nusantara.
Runtuhnya benteng dan pemberotakan penduduk Solor 1598, menyebabkan seluruh kegiatan kepelabunanan dipindahkan ke Larantuka. Sementara dalam masa-masa ini sudah mulai terbentuk wilayah-wilayah di Adonara Barat dan Timur, termasuk semakin berpengaruhnya kerajaan lima pantai yakni Adonara, Terong, Lamahala, Lawayong, dan Lamakera.
Larantuka di abad XVII seperti diteliti Didik Pradjoko, merupakan pelabuhan alam yang bagus karena terlindungi dari amukan badai. Daerah sekitar pantainya cukup subur, sehingga tanaman jagung yang ditanam oleh orang-orang Portugis tumbuh dengan baik di sana. Di lihat dari sisi pertahanan Larantuka juga sangat baik, karena meskipun ada blokade laut, penduduk dapat melintasi pedalaman dan menuju daerah pantai yang lain.
Dengan teluknya yang tenang karena dilindungi oleh dua buah pulau kecil, Adonara dan Solor, Larantuka yang sebelumnya hanya sebagai tempat persingahan, lama kelamaan daerah ini berkembang semakin pesat lebih-lebih dengan masuknya kapal-kapal dari Jawa dan Cina secara rutin.
Di luar perkembangan agama, secara ekonomi kehadiran pedagang-pedagang yang meramaikan wilayah ini cukup membantu perkembangan ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan-hubungan perdagangan mulai berpindah ke Timur seiring dengan jatuhnya benteng Portugis di Kupang ke tangan Belanda pada 1653.
Dengan perpindahan wilayah kekuasaan Portugis, berakibat Larantuka perlahan mulai tidak dilirik para pedagang. Penduduk wilayah ini yang semula dikenal sebagai pelaut, mulai memilih hidup bertani. Larantuka hingga 1915 berangsur-angsur sepi, menyusul pola pelayaran dan perdagangan telah berubah. Hubungan perdagangan baru yang diperkenalkan oleh Belanda lebih menyerupai suatu hubugan yang terintegrasi di bawah satu sistem kekuasaan.(*)