Pengantar : Untuk semakin mengenal tradisi semana santa, sejarah dan kebudayaan wilayah Larantuka dan sekitarnya, berandanegeri.com menurunkan beberapa tulisan sejak hari Rabu 26 Februari 2020 hingga menjelang Paskah 12 April 2020. Tulisan akan dikemas sebagai esey budaya.Ini merupakan artikel Kesepuluh. Semoga
Penulis : Benjamin Tukan
Pada tanggal 15 Mei 1942, kira-kira pukul 06.00 pagi hari ketika itu nagi Larantuka masih sunyi senyap, tiba-tiba ada dua pesawat udara Jepang melintas-lintas di atas langit. Di ujung Lewotobi, muncul sebuah kapal perang besar dan dua buah kapal kecil yang membawa meriam.
Tapi anehnya, orang nagi merasa biasa-biasa saja. Di jembatan Postoh, orang menaikkan bendera putih, sebagai tanda tidak mau berperang. Tetapi pesawat Jepang tetap berputar-putar kesana kemari. Lantas kapal yang berlayar di Lewotobi kelihatannya tidak beringsut maju.
Tiba-tiba nagi dliputi kabut gelap, ada asap terbungkus menutupi selat Lewotobi. Laut dan darat penuh kabut gelap, dan begitu terperanjat, kapal besar tersebut sudah merapat ke dermaga.
Prajurit Jepang terjun ke darat, mereka membawa bedil sambil berlari mengejar musuh yang menurut mereka berbaju biru. Parjurit Jepang mencari ke sana ke mari, tetapi mereka tidak menemukannya. Karena lelah, Komandannya Yamamato san duduk menghentikan penatnya.
Prajurit bercerita, mereka mengejar musuh berbaju biru tersebut sejak dari Lewotobi. Mereka tidak dapat melihat musuh tersebut, sebab Nagi diliputi kabut kelam. Terus menerus memberondong peluru, tetapi tidak bisa menembus musuh. Mereka berhenti menembak, dan begitu terperanjat, mereka sudah berada di daratan. (Kutipan Buku : “Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana: Mempertimbangkan Tradisi Katolik di Larantuka- Konga-Wureh, YPPM, Jakarta 2001”).
***
Jepang datang ke Larantuka masih dalam suasana perang dunia ke II. Musuh-musuh peperangan belum semuanya pergi, sementara muncul keinginan untuk segera menata Larantuka dan sekitarnya termasuk juga daerah Flores dan nusantara lainnya untuk menjadi daerah di bawah pengaruh Jepang.
Perang memang tidak mengenal siapa-siapa hanya demi Negara semuanya bisa terjadi. Hal yang menyita waktu dan perhatian ketika itu adalah bagaimana agar orang-orang Belanda dimasukkan ke dalam camp agar tidak terjadi saling pengaruh di masyarakat. Jika demikian, mau tak mau misonaris katolik asal Belanda juga menjadi target untuk dimasukkan ke dalam penjara.
Misionaris di penjara, berarti umat kehilangan pastornya. Tapi tak sekedar itu saja, misionaris telah masuk dalam kehidupan masyarakat yang membuat perpisahan begitu menyedihkan, apalagi dengan sangat terpaksa. Jepang tahu tentang ini karena mengambil orang yang telah berakar dalam hidup masyarakat bisa menimbulkan gejolak di kalangan penduduk.
Uskup Yamaguchi dan beberapa imam Jepang didatangkan dari Jepang, untuk terus menjadi pelayan di tengah masyarakat, disamping menjadi penghubung yang baik antara misi katolik dan pemerintah pendudukan Jepang.
Uskup yang berkedudukan di Ende ketika itu, sekali-sekali waktu datang mengunjungi umat di pelosok-pelosok Flores untuk memberikan karisma. Uskup Yamaguchi juga banyak memberikan laporan dan pengertian kepada pemerintah Jepang ketika itu tentang apa artinya keberadaaan misionaris termasuk menepis kecurigaan orang atas keberadaan misonaris yang nota bene berasal dari Belanda.
Jepang tidak lama di Nusantara, hanya 3 tahun. Sejak 8 Maret 1942 komando angkatan perang Belanda di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada Jepang, dimulailah apa yang dinamakan pendudukan Jepang di Nusantara hingga 1945.
Di Flores, angkatan perang Jepang tiba pertama kali 13 mei 1942 di Reo Manggarai kemudian menyusul pasukan angkatan laut dan 3 buah kapal angkutan laut mendarat di Ende. Dengan menjadikan Makasar sebagai pusat angakatan Laut Jepang untuk kawasan Timur, pasukan Jepang mulai mendaratkan kapalnya di bagian tenggara yakni Flores dan Timor.
Suasana perang kala itu, nampaknya tidak memberikan ruang untuk memikirkan tentang penataan pemerintahan yang berbeda dari sebelumnya. Bahkan sebaliknya untuk pemerintahan hanya diganti saja istilahnya. Itulah sebabnya, bekas wilayah afdeeling dirubah menjadi Ken dan tetap ada 3 ken yakni Timor Ken, Flores Ken dan Sumba Ken.
Untuk wilayah Indonesia bagian Timur dikepalai oleh Minseifu yang berkedudukan di Makasar. Di bawah Minseifu adalah Minseibu yang untuk daerah Nusa Tenggara Timur termasuk ke dalam Sjoo Sunda Shu (Sunda Kecil) yang berada di bawah pimpinan Minseifu Cokan Yang berkedudukan di Singaraja. Disamping Minseibu Cokan terdapat dewan perwakilan rakyat yang disebut Syoo Sunda Sukai Yin. Dewan ini juga berpusat di Singaraja.
Ken ini masing-masing dikepalai oleh Ken Kanrikan. Sedangkan tiap Ken terdiri dari beberapa Bunken (sama dengan wilayah onder afdeeling) yang dikepalai dengan Bunken Karikan. Di bawah wilayah Bunken adalah swapraja-swapraja yang dikepalai oleh raja-raja dan pemerintahan swapraja ke bawah sampai ke rakyat tidak mengalami perubahan.
Kendati demikian, beberapa orang yang berumur 50 an tahun pada 1980-an, sangat fasih berceritra tentang kedatangan orang Jepang di Larantuka. Selain pesawat-pesawat tempur hilir mudik ketika itu, orang-orang Larantuka sering berceritra tentang perjumpaan dengan orang-orang Jepang ketika itu.
Mereka terkenang pada sapaan orang Jepang ketika itu, bahkan ucapan terima kasih yang selalu diucapkan orang Jepang setiap kali mengakiri suatu pembicaraan dengan mereka. Ada beberapa tempat peninggalan Jepang yang sering disebut saat hingga saat ini yakni gua persembunyian tentara Jepang. Yang lain adalah cerita tentang prilaku orang Jepang. Tapi untuk ceritra itu kini hampir tidak ada lantaran generasi yang mengalami banyak yang sudah meninggal.
***
Kalau saja bukan karena perang, kehadiran orang-orang Jepang bukanlah bermasud meniadakan budaya yang sudah dibangun, apalagi membawa budaya baru untuk penduduk setempat. Jepang sendiri adalah Negara yang sangat menjunjung tinggi tradisi bahkan dari tradisilah mereka menciptakan kemajuan yang besar untuk negaranya.
Melalui nilai-nilai yang berkembang dalam tradisi, Jepang segera menemukan kesukesesan baik dalam mengelola Negara, maupun berusaha tumbuh setara dengan Negara modern. Sekalipun demikian, tradisi bagi masyarakat Jepang tidak dianggap sebagai suatu yang statis, bukan pula hal yang lahiriah. Tradisi yang dimaksud adalah semangat budaya yang terus diwariskan.
Ada dua babakan sejarah yang cukup mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Jepang yaitu masa Jengoku Jidai atau zaman Tokugawa (masa perang) berkisar antara abad XV – XVII dan masa Restorasi Meiji (masa damai) berkisar dari abad XVII – XIX. Ketika masa Jengoku Jidai, para Samurai menjadi pasukan bela negara yang kuat dan merupakan kelas masyarakat tertinggi di sana.
Sementara ketika terjadi Restorasi Meiji (masa damai) selama 200 tahun, para samurai tidak lagi menjadi gangster (tukang berkelahi) tetapi mengabdi menjadi guru dan mengajari anak-anak orang-orang kaya (kelas pedagang). Sudah dapat dibayangkan bahwa buah dari usaha selama masa damai ini, melahirkan generasi-generasi baru yang berpendidikan yang menjadi modal Jepang melangkah lebih maju lagi.
Para Samurai yang menjadi guru adalah pekerja keras. Mereka selalu menanamkan sikap bekerja keras, disiplin, dan tanggungjawab kalau itu untuk kemajuan. Maka tidak heran kalau orang Jepang dikenal pekerja yang menghabiskan waktu lebih panjang untuk bekerja.
Oleh karena mencintai pekerjaan, mereka pun mencintai siapa dan apa saja yang berhubungan dengan kerja termasuk hasil dan produk kerja. Mereka merawat pekerjaan hingga mengetahui pada bagian perhatian pada kerja harus diprioritaskan.
Orang Jepang juga dikenal sebagai orang yang sangat menjaga hubungan baik. Untuk menjaga hubungan baik itu, mereka selalu berusaha menempati janji. Dalam hubungan dengan rasa saling menghargai, justru membuat orang Jepang sangat tertib dan tidak berusaha menerobos “barisan” kalau bukan haknya. Sikap terbuka dalam kerja adalah contoh lain betapa orang-orang Jepang menghargai setiap orang yang bekerja.
Sejak restorasi Meiji, Jepang mengambil budaya yang bagus dari Barat seraya mengembangkan budaya asli Jepang, antara lain: monozukuri, hitozukuri, sunao, dan kokoro. Di kalangan elite Jepang, ada Nilai Bushido.
Monozukuri mengacu pada pentingnya proses untuk menghasilkan sesuatu (mono=produk, zukuri=proses). Hitozukuri adalah pentingnya sumber daya manusia dalam proses produksi (hito=manusia). Semua kemajuan ditentukan oleh kualitas SDM.
Sunao artinya ketulusan atau keikhlasan. Kokoro artinya hati nurani. Sementara nilai Bushido menjunjung tinggi integritas (Gi), Keberanian (Yu), Kemurahan hati (Jin), Hormat dan santun kepada orang lain (Rei), Kejujuran (Makoto), Martabat (Meiyo), Kesetiaan (Chungi), Kepedulian (Tei), dan Harakiri, tak mau hidup menanggung malu.
***
Tak banyak dokumentasi selama Jepang berada di Larantuka, tapi ada sebuah buku yang menarik berjudul “I Remember Flores” ditulis P Mark Tennien dan Maryknoll berdasarkan cerita Kapten Tasuku Sato. Buku ini diterbitkan Penerbit: Nusa Indah, dengan Cetakan II: 2005.
Buku ini awalnya dalam bahasa Inggris dengan Penerbit: Farrar, Strauss and Cudahy, New York, 1957. Alih bahasa ke bahasa Indonesia oleh Thom Wignyanta dan pernah menjadi serial di Majalah DIAN no 3 Tahun I 1973 hingga No 18 Tahun II, 1975.
Siapakah Kapten Tasuku Sato? Tasuku Sato adalah kapten Angkatan Laut Jepang. Lahir di Taipei, Oktober 1899. Masuk Pendidikan Angkatan Laut Jepang dengan spesialisasi navigasi di Etajima pada usia 17 tahun dan tamat usia 22. Mengajar di Sekolah Pendidikan Angkatan Laut di Etajima selama 15 tahun. Tahun 1940 bekerja di Departemen Angkatan Laut.
Setelah dipercayakan tugas di sejumlah bidang, pada 1943, Tasuku Sato ditunjuk sebagai Komandan Pasukan Pengawal Angkatan Laut Kerajaan Jepang di Flores. Jepang menduduki Wilayah Hindia Belanda tahun 1942. Tasuku Sato Bertugas di Flores 1943-1945. Berada di NTT hingga 1947. Dua tahun dipenjara Sekutu di Sumba dan di Timor.
Buku ini hanya sedikit menjelaskan tentang perang. Sebagian besar buku ini justru bercerita tentang pengalaman Tasuku Sato, mengunjungi berbagai wilayah di Flores hingga Adonara dan interaksinya dengan penduduk Flores yang beragama Katolik dan para pengurus Gereja Katolik, yakni uskup dan para imam.
Buku ini juga menceritakan aktivitas dua uskup (Uskup Ogihara dari Hiroshima dan Uskup Agung Yamaguchi dari Uskup Nagasaki) dan sejumlah imam asal Jepang yang dikirim Departemen Angkatan Laut Jepang. Pengalaman di penjara. Penilaian dan kesan Tasuku Sato tentang Flores dan agama Katolik.
Di Flores Tasuku Sato memiliki kesan bahwa agama begitu berakar, sehingga bisa merupakan satu perintang bagi pemerintahan Jepang. Bahkan dia menyebutkan “Tidak ada yang lebih merugikan dan malahan merupakan penghalang terbesar terhadap tugas kita memerintah pulau ini selain agama Katolik. Membiarkan Gereja tetap berpengaruh berarti menghalangi pemerintah sipil kita dalam menjalankan tugas secara efektif. Demikian kesimpulan laporan pimpinan sebelum Tasaku Sato. hal 49
Dalam kunjungan ke Larantuka ketika itu seperti ditulis dalam buku ini, pertama kali ia datang ke Larantuka, ia disambut dengan sangat meriah dalam upacara penyambutan yang terkesan seperti upacara-upacara kemiliteran dan pesta-pesta rakyat yang penuh dengan mabuk-mabukan. Penyambutan di Larantuka, merupakan penyambutan kesekian kalinya ia di Flores dan menunjukan bahwa setiap kali upacara selalu dibuat lebih meriah dari penyambutan sebelumnya.
Di Larantuka, kedatangannya diterima oleh dua orang raja sekaligus, yakni Raja Larantuka dan Raja muslim Adonara. Ia pun merasakan betapa ia disambut dengan tarian dan upacara semi militer bagaikan Eropa abad pertengahan.
Dia menuliskan kesaksiannya bahwa “betapa masyarakat Larantuka yang menganut agama katolik, raja Larantuka yang disegani masyarakatnya, juga hubungan persaudaraan yang baik antara raja Larantuka yang katolik dengan raja Adonara yang muslim.
Terhadap kota Larantuka, dia menyebutkan, “sekalipun kota Larantuka adalah kota terpenting ketika itu ujung timur Flores, kota inipun bisa dibilang sangat sepi.
Dia menggambarkan Larantuka sebagai berikut : “Larantuka cumalah sebuah perkampungan kecil, meskipun merupakan kota terbesar di Flores Timur. Di muka rumah penginapan saya, kantor pemerintahan sipil, ada sebuah sekolah, dermaga yang cuma dapat dilabui oleh motor-motor kecil. Dari sana, jalan raya kota terbagi ke utara dan barat. Sepanjang jalan terdapat toko-toko, boleh dikatakan kosong akibat perang dan kekurangan barang-barang. Memang gereja katedral dengan megahnya mengawasi seluruh kota , berbangga dengan sejarahnya. Masih dalam kompleks gereja katedral, masih ada lagi sekolah, asrama, rumah sakit dan biara . Lonceng gereja bergaung menyambutku datang seakan-akan mengingatkan sejarah gereje yang sudah cukup lama.”
Lebih lanjut dia menulis: “Ketika mendengar gaung lonceng bertalu-talu itu, saya seolah-olah mendengar orang berkata bahwa peperangan datang dan pergi, tetapi Gereja bertahan sepanjang masa. Tampaknya, ada garis-garis yang tak dapat mati dan abadi dalam babakan sejarah Gereja bahkan dirasakan oleh orang luar seperti saya”.(116).
***
“Meskipun kami tidak memenangkan perang, tetapi Insya Allah, barangkali kami meninggalkan bekas-bekas kejujuran dan harga diri yang pada waktunya akan diungkapkan juga oleh sejarah,” demikian tulis Tasuku Sato (hal 167).
Memang kehadiran Jepang di Flores atau di Larantuka begitu singkat. Tapi ibarat pertemuan singkat yang sering terjadi antar manusia, setelah pertemuan singkat itu berlalu, maka orang akan bertanya “siapa dia”?
Belajar dari Tasuku Sato yang mengenal Larantuka dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, begitu pun bila kita mau mengenal masyarakat Jepang. Orang hanya dapat maju dan berkembang, bila mempraktikan nilai-nilai baik yang ada dalam masyarakat. Bukankah kemiskinan, kemelaratan, dan keterbelakangan yang masih ada di masyarakat kita karena kita kurang memperhatikan mereka yang miskin dan melarat?
Dalam masyarakat patrilineal seperti di Indonesia, perubahan harus mulai dari atas yang memberikan suri teladan dalam kesalehan sosial. Barangkali ini yang bisa diambil dari kunjungan saudara tua itu.