Oleh Hendrik Berybe, CSsR
ADA berbagai cara merumuskan apakah politik itu. Misalnya, “politik” sering didefinisikan sebagai “strukturalisasi dan sistem pemerintahan lewat lembaga-lembaga politik yang menjadi implementasi dari demokrasi rakyat”. Demokrasi rakyat mengasumsikan bahwa rakyat adalah subyek dan agen politik tertinggi dan utama, sementara institusi-institusi politik yang ada dengan sistem hukum positif, seperti UUD dan peraturan-peraturan konkret lainnya, menjadi sarana atau instrumentum politik. Tidak bisa dibantah bahwa mungkin inilah satu definisi ilmiah mengenai politik.
Namun yang menjadi soal atau pertanyaan adalah, mengapa dalam dunia real politik definisi yang indah mengenai politik sering tidak jalan atau tidak operasioanal? Jadi, ada semacam political gap antara politik sebagai ilmu dan politik sebagai praksis hidup. Sebagai contoh, dalam politik praktis sering rakyat yang seharusnya menjadi subyek politik terpojok atau dipojokkan sebegitu rupa sehingga cuma menjadi obyek politik dari sekelompok elit politik dan birokrat yang mempunyai self-interest tertentu. Lalu lembaga-lembaga politik yang ada tinggal menjadi sarana manipulasi politik dan kelompok elit politik dan birokrat demi mendapatkan justifikasi bagi self-interest mereka.
Political gap semacam ini ada karena dua alasan. Pertama, tidak semua pejabat birokrat adalah politikus dalam arti yang sebenarnya. Paling tidak sebagian besar dari mereka lebih sebagai pekerja politik daripada orang profesional di bidang politik. Kedua, politik sebagai profesi dalam konotasi ilmiah sering dilepaskan dari etika politik sebagai conditio sine qua non bagi politik sebagai praksis hidup.
Demokrasi dan The Biased Politics
Justru demokrasi pada hakikatnya berfungsi menghilangkan dikotomi antara politik de iure dan politik de facto atau antara politik sebagai ilmu dan politik sebagai praksis hidup. Itu berarti bahwa demokrasi adalah suatu proses rasionalisasi politik, yakni upaya agar praksis politik yang dijalankan dapat dijustifikasi berdasarkan kebenaran politik sebagai ilmu.
Rasioanalisasi politik itu diperlukan agar tidak terjadi apa yang disebut the biased politics atau praksis politik yang membias dari prinsip-prinsip etika politik yang diasumsikan oleh politik sebagai ilmu. Misalnya, dalam praksis politik, berlakulah prinsip etika berikut ini: vox populi suprema lex atau suara rakyat adalah hukum tertinggi. Namun dalam konflik politik yang menyangkut konflik kepentingan seringkali yang menjadi hukum tertinggi dan kata terakhir adalah vox imperatoris (suara sang penguasa).
Biasanya justifikasi untuk the biased politics tidak sulit dicari. The biased politics sering dibenarkan atas nama atau demi “stabilitas nasional, kesatuan dan persatuan, kelangsungan pembangunan, memblokir kelompok sektarian dan kelompok sempalan”. Biasanya kambing hitam dan tumbal pun dicari agar proses justifikasi terasa lebih canggih, sahih dan meyakinkan. Karena itu, dalam konteks the biased politics ini juga political lie and political violence (tipuan politik dan kekerasan politik) dibenarkan.
Plato adalag figur politik utama dari the biased politics yang membenarkan, bahkan memperbolehkan tipuan dan kekerasan politik demi demi mempertahankan stabilitas politik dan meredam konflik-konflik politik yang ada. Jadi, menurut Plato, seorang pemimpin politik boleh menipu rakyatnya karena pemimpin itu omniscient (tahu segala-galanya) sedangkan rakyat itu ignorant (tidak tahu apa-apa). Dalam etika politik Plato, akhirnya, tujuan menghalalkan segala macam cara: end justifies all means. Dengan kata lain, bukan cuma penipuan melainkan juga kekerasan politik adalah halal. Tidak usah heran bila Plato menghabisi Socrates yang menjadi momok bagi Plato, sang pemimpin yang tidak lain dari the Philosopher King. Socrates yang menjadi pengkritik utama Plato adalah tumbal bagi etika politik Platonik yang otoritarian.
Kekerasan Politik Masa Kini
The biased politics dan etika politik otoritarian Plato yang sudah ada sebelum masehi itu masih tetap hidup juga dalam khasanah politik dunia kontemporer. Seorang pejuang sosial-humanitarian dari Amerika Latin, Dom Helder Camara, mengatakan bahwa “kekerasan (violence) adalah malapetaka (misery) abad kita”. Helder Camara menyebut, sekurang-kurangnya, tiga macam kekerasan abad ini: (a) the violence imposed by the developed world on the underdeveloped world, (b) the violence of ‘heredian’ oppressors, (c) the violence exercised by goverments which support the two forms of violence.
Kekerasan pertama terjadi pada level internasional. Negara-negara industri dan teknologi maju, lewat ekonomi pasar bebas dan lembaga-lembaga keuangan mondial seperti World Bank, atau IMF dan lembaga-lembaga bantuan dan kerjasama ekonomi dunia seperti CGI, mengeksploitasi negara-negara sedang dari Dunia Ketiga dengan tujuan-tujuan: (a) mengeruk kekayaan alam Dunia Ketiga dan (b) membuat Dunia Ketiga tergantung pada negara-negara industri-teknologi maju dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua, (c) lewat ideologi pembangunan sebagai sarana hegemoni.
Negara-negara dari Dunia Ketiga diupayakan sebegitu rupa sehingga mereka mau tidak mau mesti mengikuti pembangunan atau perkembangan (development theory) di Dunia Pertama dan Dunia Kedua sebagai model yang dijustifikasi secara ideologis. Ini yang biasa disebut sebagai the internationally political, economic and cultural imperialism. Agar ambisi imperialistik ini terjamin, maka para elit birokrat dan teknorat negara-negara industri-teknologi maju dari Dunia Pertama dan Dunia Kedua mencari kaki tangan sebagai kolaborator mereka di negara-negara Dunia Ketiga, lewat lembaga-lembaga kerjasama politik, ekonomi dan budaya yang disusul dengan perjanjian kerjasama dan proses alih teknologi. Dari sini lahirlah kekerasan dari tipe kedua dan ketiga di mana terjadi semacam internal colonialism atau kolonialisme internal.
Dalam kolonialisme internasional, sekelompok elit politik birokrat dan teknokrat nasional mengklaim diri sebagai the privileged group karena mereka memiliki segala macam akses terhadap kekuatan politik, ekonomi dan kultural sebegitu rupa sehingga dalam percaturan politik dalam negeri self interest kelompok mereka tetap terjamin. Pinjaman luar negeri dan PMA sering dilegitimasikan sebagai upaya mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan karena itu bakal mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Kata pembangunan menjadi agama baru yang setiap saat bisa dipakai untuk membenarkan apa saja yang diinginkan oleh the privileged group menurut pola etika platonik. Biasanya self-interest dan the privileged group dijamin untuk langgeng dengan menciptakan struktur-strukrur politik, ekonomi, budaya dan pendidikan yang ofensif dan opresif. Pengembangan SDM dalam negeri akhirnya tidak lain adalah upaya perpanjangan tangan dari the internal privileged group dan menjadi kolaborator dari the international vested interest groups.
Demokratisasi, Power Game dan Konflik
Inilah panorama dari dunia real politik yang sering ditemukan dalam hidup sehari-hari terutama dari Negara-negara dari Dunia Ketiga. Real politik sering menjelam menjadi the biased politics karena politik, mau tidak mau, menyangkut soal kekuasaan atau power. Politik lalu menjadi sebuah power game yang tidak luput dari instink atau nafsu akan kekuasaan dari manusia sebagai animale rationale. Demokrasi sebagai proses rasionalisasi politik adalah upaya agar kekuasaan tidak semata-mata dikomandoi oleh hukum instink manusia melainkan oleh pertimbangan akal budi. Dengan kata lain, politik adalah pertama-tama dan terutama adalah soal membatasi dan memagari kekuasaan politik agar dia tidak menjadi buas dan liar. Singkatnya, demokrasi adalah upaya menjinakan kekuasaan politik.
Inilah sebenarnya pesan Ibu Pertiwi ketika terbentuknya sebuah negara bangsa. Ibu Pertiwi adalah homonim Indonesianya “the nation-state”. Begitu nasionalisme dimengerti sebagai patriotisme atau cinta tanah air yang mesti bebas dari pamrih. Cinta tanah air yang tanpa pamrih tampak, misalnya dalam tokoh-tokoh nasionalis yang mengutamakan “the common interest” dari rakyat banyak dan memperjuangkan suatu open politics agar salah kaprah dalam politik bisa dihindarkan. Karena seorang politikus tidak luput dari human error maka “kritik dan kontrol terhadap pengemban kekuasaan politik (penguasa atau pejabat) adalah mutlak perlu”. Mengingkari kenyataan ini, dengan dalih dan argumentasi apa pun, adalah sebetulnya sebauah escape, yakni pelarian demi mengamankan the biased politics berdasarkan self-interest pribadi sang penguasa.
Karena itu, bila ada konflik politik dan konflik kepentingan, maka upaya menghindari suatu pendekatan sepihak dan sikap ingin menang sendiri lewat justifikasi sewenang-wenang adalah mutlak perlu. Pendekatan dan justifikasi dari satu pihak, hanya benar dan pantas bila siap untuk dikritik dan diuji oleh pendekatan dan justifikasi dari pihak lainnya. Hanya dengan cara ini sebetulnya kita dapat mengakses the political truth. Cara ini pantas untuk dicamkan lantaran politik itu menyangkut soal kekuasaan dan untuk menggunakan kekuasaan tidak ada ilmunya. Yang ada untuk itu cuma political wisdom. Kebijaksanaan politik pada hakekatnya bersikap anti kesewenang-wenangan dan main kuasa. Kebijaksanaan politik menuntut agar setiap justifikasi dapat dikalkulasi menurut pertimbangan rasioanal sehingga politikus tidak menjadi barbar dan politik tidak menjadi buas dan liar.
Political Truth: Politik sebagai Panggilan
Political truth juga mengasumsikan bahwa perkara paling penting dan hakiki dalam politik bukan soal “siapa berkuasa” melainkan soal “bagaimana orang itu menggunakan dan mengoperasionalkan kekuasaan”. Banyak konflik politik muncul karena politik direduksi ke soal pertama, yakni soal siapa yang berkuasa. Begitu soal “figur politik” menjadi fokus perhatian sehingga soal bagimana memagari dan membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang kurang diperhatikan. Di sini yang menjadi soal dasar sebetulnya adalah prinsip legalitas atau konstitusional. Bila politik dibatasi ruang lingkupnya pada “soal berkuasa”, maka ada bahaya bahwa prinsip legalitas diabaikan.
Contoh paling gamblang dari pentingnya prinsip legalitas ini tampak dalam kasus kepemimpinan Soerjadi versus kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Yang ironis di sini ialah bahwa lembaga tinggi negara setelah Munas PDI mengakui dan menyatakan kepemimpinan Megawati sah. Namun anehnya tanpa ada sebab yang jelas kepemimpinan Soerjadi setelah Kongres Medan diakui sah oleh lembaga tinggi negara sementara sebagian besar warga PDI tidak mendukung kepemimpinan Soerjadi karena legalitas dari Kongres Medan pun tetap menjadi pertanyaan atau soal bagi sebagian besar warga PDI. De facto, kepemimpinan Soerjadi jalan terus. Namun setelah merosotnya perolehan suara PDI dalam Pemilihan Umum 1997 kentaralah bahwa cara Soerjadi mendapatkan kekuasaan untuk menjadi pemimpin PDI tidak direstui dari dalam tubuh PDI sendiri. Karena legalitas Kongres Medan sebagai legitimasi bagi kepemimpinan PDI masih menjadi soal bagi warga PDI.
Bila soal “siapa berkuasa” yang diutamakan, maka soal legalitas dan prosedur seseorang memperoleh kekuasaan menjadi tidak penting. Bila soal “bagaimana orang itu berkuasa” itu penting, maka prosedur yang ia tempuh untuk mengemban kekuasaan pun mesti legal dan justifiable pula. Yang tragis bagi kepemimpinan Soerjadi adalah absennya prinsip legalitas dan justifikasi inernal. Dengan kata lain, yang tragis dan ironis bagi Soerjadi ialah bahwa “tujuan tidak menghalalkan segala macam cara”. Menjadi pemimpin yang berkuasa tanpa legalitas atau prosedur yang konstitusional, ditinjau dari etika politik demokratis-humanitarian, tidak dapat dibenarkan, kecuali kalau social political engeneering mau diklaim sebagai prosedur yang secara etis dibenarkan.
Jadi, demokrasi mengasumsikan bahwa setiap penguasa atau pemimpin memperoleh kekuasaan lewat prosedur yang legal dan justifiable pula. Tanpa prosedur ini yang terjadi adalah rekayasa politik yang melahirkan karbitan. Hal ini juga berkaitan dengan kenyataan bahwa politik, menurut Max Weber, adalah sebuah panggilan. Mengatakan “politik adalah panggilan” berarti bahwa yang menjadi soal bukan cuma “saya mendapatkan sesuatu, yakni jabatan atau kursi, dari kerja politik” melainkan juga “saya memberikan sesuatu, yakni pelayanan atau dedikasi saya, kepada kerja politik”.
Mengatakan “politik adalah panggilan” berarti bahwa politik menuntut tata krama yang pas. Berpolitik tidak sama artinya dengan ‘boleh apa saja’. Mengatakan “politik adalah panggilan” berarti berpolitik tanpa tangan kotor bukan sesuatu yang mustahil. Jadi, perlulah menolak klaim yang selama ini mengatakan bahwa ‘politik itu kotor”. Mengatakan “politik adalah panggilan” berarti bahwa “menjadi politikus profesioanal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin”. Karena untuk menjadi pekerja politik siapa pun bisa.
Sumber Tulisan: Majalah Prisma No. 4 Tahun XXVI April-Mei 1997.