Oleh Paul Budi Kleden
“CATATAN SUNYI”, demikian penyair kita memberi judul bagi kumpulan puisinya ini. Mencatat kesunyian, mengeja huruf dari dalam kesunyian. Bagaimanakah itu? Bagaimana relasi sunyi dan kata? Kesunyian, mungkinkah dia disesaki kata? Adakah kesunyian yang dijejali kisah? Sunyi yang dipadati gagasan? Atau, sunyi adalah kelepasan dari kebisingan kata? Adakah sunyi merupakan keheningan dari segala pengertian?Tidakkah sunyi berarti pula tiadanya catatan? Tak ada catatan dalam sunyi?
Sunyi biasanya berkonotasi pada situasi tanpa suara, tanpa bunyi. Tempat yang sunyi adalah tempat yang jauh keramaian, suasana yang sunyi berarti kondisi tanpa kebisingan. Namun, itukah makna terdalam kesunyian? Memahami kesunyian sebagai situasi tanpa suara berarti menempatkan kesunyian pada wilayah indra pendengaran. Dalam alur berpikir seperti ini, maka sunyi berarti secara sengaja menutup telinga bagi suara atau secara tidak sengaja tidak menangkap sumber bunyi apapun. Namun, agaknya pandangan ini bermasalah. Sebab, apakah pengalaman seseorang yang dapat menutup telinganya di tengah pusat keramaian disebut sebagai kesunyian? Apakah saya sedang mengalami atau mungkin menikmati kesunyian saat memakai penutup telinga untuk menangkal gelombang suara menghantam gendang telingaku sedangkan mata saya tengah terbelalak menyaksikan keramaian orang-orang yang sedang menari? Apakah seorang penjahat buronan disebut sedang berada dalam kesunyian saat dia tinggal jauh dari suara apapun dan sedang hatinya tidak tenang dipenuhi kecemasan kalau-kalau tempat persembunyiannya diketahui?
Sunyi bukan hanya soal tidak menangkap suara atau kesuksesan memasang kedap suara. Sunyi adalah juga kondisi batin seseorang yang mengambil jarak dari dunia luar. Orang menarik diri dari keramaian untuk berkonsentrasi pada pergumulan dengan diri sendiri. Sunyi adalah jalan menuju diri. Sunyi bukanlah suasana tenang ketika orang tekun mempelajari pikiran orang lain atau menyelesaikan tugas yang diberikan orang. Karena itu, dalam kesunyian orang dihadapkan pada diri sendiri.
Di dalam kesunyian orang berada dengan dirinya sendiri. Berada dengan diri sendiri dapat mengantar orang ke dalaman diri. Orang merenungi dirinya, menyusuri sejarah dan mengais pengalamannya. Orang akan mengalami sumur dengan dasar tak terduga dan tak kunjung diraih. Rahasia kedirian manusia diselami dan selalu menghadirkan pertanyaan baru.
Tetapi sunyi dapat pula menjadi penjelajahan fantasi sampai ke tepian semesta. Sunyi membuat orang terbawa dalam gelombang sejarah dan alunan alam. Orang merasa menyatu dengan semesta dan menjadi bagian dari sejarah yang panjang dari umat manusia.
Sunyi membawa ke kedalaman dan keluasan. Dalam dimensi yang tak terjangkau ini, orang mengalami dilema eksistensi diri manusia. Betapa unik tak tergantikan dan berharganya setiap kehidupan, serentak betapa kecil dan tak berdaya bak buah kelapa yang dipermainkan gelombang samudera raya. Dalam sunyi orang mengalami akunya, serentak kebesaran jagad dan kedahsyatan sejarah yang menempatkan dirinya hanya sebagai sebuah titik kecil yang gampang diabaikan. Maka, dari kesunyian seperti ini Amir Hamzah melahirkan puisinya Nyanyi Sunyi yang terkenal itu: “Sunyi itu duka; sunyi itu kudus; sunyi itu lupa; sunyi itu lampus.” Sunyi mempertemukan orang dengan kepahitan pengalaman dan kegoyahan kehidupan. Ada duka tersimpan di dalamnya. Duka memandang wajah-wajah yang dikasihi dari bening sumur kenangan yang tak dapat digenggam. Pedih mengenang kisah-kisah yang tidak selesai, benang-benang yang rapuh dari relasi yang pernah terjalin. Sunyi adalah duka eksistensi manusia yang memiliki kerinduan tanpa batas di tengah kemungkinan pemenuhan serba terbatas. Tetapi justru di sana sunyi dapat menjadi perjumpaan dengan yang kudus. Orang mengalami persentuhan dengan yang terbatas dan membenam di dalamnya. Pembenanam ini dapat membuat orang lupa. Kenikmatan pada segukan transendensi mengangkat orang ke dalam sebuah dimensi kehidupan yang tak biasa. Sunyi yang membuat orang lupa akan dunianya yang keras dan tak bersahabat. Sebab itu, sunyi dapat memabukkan. Ada pengalaman eskstase dalam kesunyian.
Penyair kita memberi refleksinya tentang sunyi dalam pengantarnya:“Lantas mengapa berjudul “Catatan Sunyi?” Tak ada alasan lain selain bahwa puis-puisi itu lahir dalam saat-saat sunyi; saat di mana pengembaraan intelektual dan rohani saya berlangsung secara intens. Saya hanya berusaha menuruti kehendak hati, menggali dan mengolah kemungkinan yg ada, hingga yg paling mustahil sekalipun. Di dalam “Catatan Sunyi” ini ada perjalanan panjang seorang petualang, pencarian jati diri yg tak henti-henti. Ada teka-teki kehidupan yg mesti diurai dan dipecahkan. Ada cinta dan kesakitan. Misteri kematian. Rahasia alam dan kepekatan malam, terlebih lagi kerinduan pada sang Khalik.“Lebih lanjut dalam puisinya Catatan Sunyi, penyair kita bersajak,
Lewati lorong malam,/ membasuh senyap subuh// Dingin//Angin//Sehelai daun jatuh.// Sunyi.
Dalam Pelabuhan kita baca:
Kutambatkan perahu pada ranting-ranting sujud,
Menelusuri belantara sunyi untuk menjumpaiMu.
O, jadilah Kau telaga tanpa dasar,
Mengganti cintaku yang dangkal dan berbatu.
Kendati dengan refleksi tentang kesunyian seperti ini, pertanyaan kita di atas belum pula terjawab: apakah sunyi adalah pemangkasan kata dan pantang dari semua gagasan?
…
Martin Heidegger, filsuf berkebangsaan Jerman abad ke-20 mengatakan, bahasa adalah rumah dari sang ada. Selama kita ada, kita ber-rumah dalam bahasa. Maka, batas bahasa kita adalah batas dunia kita, seperti dikatakan Ludwig Wittgenstein. Duniaku sejauh bahasaku. Dan bahasa berarti pengertian dan kata. Sebagaimana kita tidak dapat terlepas dari dunia melainkan selalu di dalam dan menjadi bagian dari dunia, demikian pun kita tidak pernah terlepas dari bahasa. Duniaku adalah jaringan yang terbuat dari kata. Terlempar ke dalam dunia, demikian Heidegger mengartikan keberadaan manusia, berarti terlempar ke dalam kata. Kita terjerat dalam kata. Sebab itu, juga kesunyian kita tak pernah bebas dari kata. Kita tidak pernah mampu menarik diri dari kata, sebagaimana kita tak bisa keluar dari dunia selama masih hidup. Pandangan ini kemudian dipertegas muridnya, Hans-Georg Gadamer dengan pernyataan terkenal: Tidak ada pengalaman tanpa bahasa.
Untuk menunjukkan pemahaman tentang dominasi bahasa ini pada bidang sastra, saya kutip permenungan dokter Yurii Zhivago dalam roman besar “Dokter Zhivago” karangan Boris Pasternak (1890-1960). Dokter Zhivago dalam roman karya Pasternak adalah seorang dokter dan sekaligus sastrawan. Petikan yang diambil berikut ini berasal dari pelukisan sebuah malam penuh inspirasi bagi Yurii Zhivago yang terbangun dari tidurnya di samping Lara, kekasih gelapnya, dan Katenka, puteri mereka, untuk menuangkan di atas kertas sejumlah permenungan literarisnya. Adegan di rumah peristirahatan di Varykino itu dilukiskan secara sangat menyentuh perasaan. Pasternak menulis tentang pengalaman kreatif Yurii Zhivago malam itu:
Setelah menulis dua atau tiga bait yang demikian mudah mengalir dari penanya, dan sesudah menghasilkan sejumlah perbandingan yang membuat dirinya sendiri demikian kagum, dia merasa sungguh dikuasai oleh pekerjaannya. Dia merasa sudah dekat sekali pada apa yang disebut inspirasi. Keterpaduan dari sekian banyak daya yang mengarahkan penulisan yang kreatif muncul dalam benaknya. Yang paling menentukan bukan lagi manusia dengan suasana batinnya yang hendak dituangkannya dalam kata. Yang terpenting kini adalah bahasa, dengannya dia hendak menyingkapkan tabir dirinya. Bahasa, tanah pijakan dan bejana keindahan dan makna, mulai berpikir dan berbicara sendiri untuk manusia dan menjadi laksana musik, bukan sebagai bunyi yang keras, namun bagai alur batiniah yang cepat dan kuat. Bahasa mencuat dalam arus yang mengalir dahsyat, yang dengan gerakannya perlahan melicinkan permukaan batu yang ada di dasarnya, arus yang menggerakkan roda kelincir […] Dalam suasana seperti itu Zhivago merasakan bahwa pekerjaan utama tidak terletak di tangannya, melainkan pada sesuatu yang ada di luar dirinya dan yang menuntunnya, yakni pemikiran dunia dan puisi dunia, masa depannya yang sudah ditentukan terlebih dahulu dan langkah ke depan yang mesti dilaksanakan dalam perkembangan historisnya.
Bahasa dapat menjadi semacam alur sungai, dan kita terhanyut dalam alunannya, dibuai olehnya. Bahasa sungguh menjadi Logos, yang memang berarti pikiran dan bahasa mahaluas, yang menjadikan kita percikan-percikan kecil untuk mengungkapkan kehadiran dan pengaruhnya. Tidak jarang kita mengalami kenikmatan, saat kita menemukan sebuah alur berpikir dan berbahasa yang mengalir. Pemikiran kita demikian mudah menemukan bahasanya, dan perasaan kita segera tertuang dalam pilihan kata yang jernih. Kita dapat mengalami kenikmatan itu dalam fantasi atau khayalan, tetapi dapat pula dalam permenungan studi yang serius. Dengan sangat gampang kita menelusuri sebuah persoalan, dan dengan mudah menemukan ruas-ruasnya yang masih tersembunyi, untuk kita angkat dalam kata yang padat makna. Kita mengalami diri sebagai sebuah instrumen pengungkapan diri dari kebenaran.
Kita boleh saja mengalami dan memahami diri sendiri dalam buaian seperti ini. Namun kalau demikian, di manakah manusia sebagai subjek pengguna bahasa yang bertanggung jawab? Apakah itu bukan berarti kita menciptakan sebuah metasubjek, di belakangnya kita dapat bersembunyi dari kewajiban dan tanggung jawab membahasakan sesuatu? Ketika bahasa menjadi terlalu dominan, dia menjadi tameng perlindungan bagi manusia untuk menyembunyikan diri dari kewajiban bertanggung jawab sebagai subjek. Dominasi bahasa dapat beralih menjadi dominasi tradisi dan masyarakat, dominasi pola pikir arus utama dan budaya. Lalu manusia hanya menjadi elemennya tanpa daya dan tanggung jawab. Kesunyian dalam pandangan ini berarti masuk ke dalam jaringan kata yang sudah tertenun tradisi dan budaya. Sunyi dipadati kata, dia bukan lagi pengalaman keunikan diri, melainkan pintu masuk ke gerakan jagad dan alur sejarah yang berada di luar kontrol kita. Manusia hanya menjadi produk sejarah dan serpihan universum.
Namun, pandangan seperti ini mengabaikan dimensi lain dari manusia sebagai pelaku sejarah dan individu khas. Kita bukan hanya bagian dari sejarah dan alam. Kita adalah juga makhluk independen yang dapat mengambil jarak terhadap apa yang terjadi dalam alam dan sejarah. Oleh kebebasan yang dimiliki yang tercermin dalam kesanggupan berkehendak dan berpikir kita dapat memutuskan mata rantai terhadap sejarah dan melakukan sesuatu terhadap alam.
Pereduksian pengalaman ke dalam pembahasaan sebagaimana diusung dalam pandangan terdahulu tampaknya mempermiskin dunia manusia. Dunia kita bukan hanya bahasa kita dan gagasan-gagasan yang dirumuskan. Dunia kita adalah pengalaman kita, dan pengalaman sudah selalu dapat dibahasakan, tidak selalu menjadi bagian dari keluasan alam dan sejarah. Ada pengalaman amat pribadi yang tak terkatakan. Pengalaman pra-bahasa yang tersimpan sebagai gudang kekayaan setiap pribadi. Jika duniaku hanyalah bahasaku, apakah dunia bayi dalam rahim ibu? Sementara psikologi modern mengajarkan kita betapa pengalaman tanpa kata tersebut mempunyai pengaruh terhadap pembentukan kepribadian seseorang.
Ada yang tidak terkatakan, tak terbahasakan. Ada kesunyian yang kosong kata dan bebas pengertian, kesunyian tanpa rumusan. Setelah memberikan ulasan menarik tentang bahasa dalam Tractatus, Ludwig Wittgenstein mengatakan:“Wovon man nicht reden kann, darüber soll man schweigen” (orang harus diam tentang apa yang orang tidak dapat bicarakan). Memang orang masih saja berdebat, apakah sikap diam yang dituntut oleh Wittgenstein itu sikap diam seorang ateis, agnostik, seorang positivis atau seorang teis, entahkah itu sebuah sikap diam tentang ketiadaan atau sebuah kediaman di hadapan Yang Tak Terungkapkan, Yang Mistis. Namun, kalau membaca buku harian rahasia yang ditulisnya bersamaan dengan penulisan Tractatus dan baru diterbitkan kemudian (1961), akan terungkap apa yang dimaksudkan Wittgenstein. Di dalam buku harian itu filsuf ini mendokumentasikan penderitaannya tersebab oleh kebiadaban perang, situasi sulit di front, pergolakan batinnya, kecemasannya terhadap kematian, doanya untuk mendapatkan Roh, untuk mengalami Allah. Menjadi jelas bahwa Wittgenstein, dalam buku hariannya, bergulat pada tapal batas kemungkinan bahasa yang dibayangkannya sendiri dan merasa harus berbicara. Dia menulis: “noch immer kann ich das eine erlösende Wort nicht aussprechen” (Aku belum juga sanggup mengungkapkan kata yang menyelamatkan itu). Itu berarti, ada kata penyelamat, namun kata tersebut belum bisa diungkapkan. Sikap diam Wittgenstein bukanlah diamnya seorang ateis, melainkan sikap diam seorang pemikir yang beriman dan berharap. Ada yang tak terkatakan, ada yang hanya bisa diakui sebagai rahasia.
Saya sering mengutip kata-kata Friedrich Duerrenmatt, sastrawan Swiss yang mengatakan,“Seluruh karya seniku adalah sebuah upaya tanpa akhir untuk mengungkapkan visi yang kuperoleh.”Namun visi itu bukanlah sebuah rumusan yang jelas, dia lebih merupakan sebuah kerinduan yang tidak selalu terungkap dalam kata. Sebab itu, seluruh biografi seninya adalah usaha untuk mencari dan merangkai kata, mengkreasi figur dan menyusun alur kisah, untuk mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam kerinduannya. Dan setiap kali dia menyadari bahwa kata, figur dan kisah yang ditampilkan selalu lebih miskin dari apa yang tersimpan sebagai visinya. Pada mulanya adalah kerinduan tanpa kata, dan kerinduan itu dialami dalam kesunyian, dan selanjutnya penyair mencari kata untuk membahasakan kerinduan itu.
…
Jika yang tersimpan sebagai kerinduan bagi dunia dan cita-cita bagi diri selalu lebih kaya dari kata yang dirumuskan, apakah kita memerlukan mukzijat perbanyakan kata untuk mengenyangkan kerinduan tersebut?
Yang diperlukan bukan perbanyakan kata, melainkan puisi sebagai catatan kesunyian. Yang kita butuhkan adalah mukjizat perbanyakan sunyi untuk melahirkan dan membaca puisi. Puisi mengandalkan diksi dan majas, kekuatan kata untuk menimbulkan imajinasi. Sebab itu, puisi lahir sunyi dan akan membawa kepada sunyi. Puisi adalah catatan sunyi dan mengirim orang kembali ke sunyi. Sebab itu, saya yakin, puisi hanya dapat dinikmati orang-orang yang berani mengalami kesunyian. Dalam Sajak Untuk Tuhan Leo Kleden menulis, “Pada mulanya adalah Sunyi dan Sunyi itu melahirkan Kata dan Kata menciptakan alam semesta dan alam semesta menyanyikan madah. Dan semua madah kembali ke Sunyi di baris terakhir semua puisi. Tapi tak pernah seorang penyair berhasil menulis bait itu.“ Ada sunyi di bait terakhir semua puisi. Penyair, pun pembaca, akan dibawa ke dalam sunyi, tanpa pernah sanggup menulis dan membacanya secara tuntas.
Dan dalam sunyi itu ada kontinuitas dan diskontinuitas, ada pengalaman menjadi bagian dari alam dan sejarah, serentak ada pengalaman akan keunikan diri, tak tergantikan dalam arus sejarah dan luasnya alam. Di atas kita katakan, sunyi membawa kepada kedalaman diri dan keluasan jagad serta sejarah.
Mengalami ketaktergantikan diri dan arus sejarah serta alam berarti mengantar orang untuk menerima dan mengalami aku-nya yang solider. Setiap orang ini otonom, mempunyai hak untuk memberi kepada dirinya sendiri nomos, aturannya, untuk mengejar apa yang disebutnya sebagai cita dan karsa. Namun, setiap makhluk adalah pula serentak solidaritas, dalam ikatan yang menghidupkan dengan yang lain, entah sejarah pun alam.
Sunyi mempertemukan orang dengan diri dan membawanya bersentuhan dengan yang tanpa batas, apapun nama yang hendak diberikan orang untuknya. Orang yang beragama melukiskannya sebagai Tuhan, yang lain menggunakan visi atau gambar kerinduan tanpa batas untuk mendeskripsikannya. Bagi yang beragama, Alfred North Whitehead pernah berkata, “Jika engkau takut terhadap sunyi, engkau tidak pernah dapat sungguh-sungguh menjadi manusia beriman.“ Beriman bukan pertama-tama soal bergerombolan memekikkan nama Tuhan, memadahkan pujian dan meneriakkan permohonan. Beriman pertama-tama adalah kesanggupan masuk dan bertahan dalam sunyi, mengalami keunikan diri yang selalu berarti kerapuhannya karena terentang antara ada dan ketiadaan, dan mengalami keluasan jagad dan sejarah.
Ungkapan ini sejalan dengan pernyataan Karl Rahner, teolog Jerman terkemuka abad ke-20 tentang orang Kristen, yang hemat saya dapat diterapkan untuk para penganut agama manapun: Orang beriman masa ini harus merupakan seorang mistikus, atau tidak menjadi orang beriman sama sekali. Orang harus tumbuh sebagai individu yang beriman dan mempunyai kesadaran pribadi dan rasa percaya diri yang sehat. Orang beriman yang tidak takut akan kesunyian ini adalah manusia yang tidak menggadaikan nuraninya pada orang lain dan akalnya pada sebuah lembaga, orang yang sanggup menanggapi berbagai tawaran dan kemungkinan yang disampaikan kepadanya.
Membaca puisi-puisi Monika N Arundhati dalam kumpulan ini bagi saya merupakan sebuah kenikmatan dalam sunyi. Dia membawa ke dalam sunyi yang menghadapkan pada diri dan melarutkan dalam arus sejarah dan keluasan alam. Penyair ini, seperti ditulisnya sendiri, memang tidak takut mengalami kesunyian, sebab dalam sunyi gagasan dan rasanya dipertajam dan disemai jadi matang. Ya, matang, itulah ungkapan yang tepat untuk mencirikan analogi-analogi cerdas yang ditemukan dan digunakannya. Dapat dibayangkan, puisi-puisi ini lahir dari kreativitas yang diberi ruang untuk berproses.
Kesunyian tampaknya membawa penyair membaca alam sebagai analogi bagi perjumpaan dengan manusia, permenungan tentang hidup, dan kenangan akan mereka yang dikasihi. Dalam sajak Narasi Amplop Hitam kita baca, “Luka-duka kau simpan hingga membangkai di sudut jiwa. Gelap jalanku menjelma embun yang gugur dari matamu sebelum fajar.” Seorang anak yang mengenang bunda yang telah meninggal, yang tak membongkar dan memaklumkan luka dukanya melalui pengeras suara, perempuan yang memendam sendiri kebingungan melihat jalan hidup anaknya yang tak dipahaminya, yang dikonotasikan dengan gelap.
Dalam sajak Inkarnasi kita temukan sebuah analogi alam tentang penjelmaan wujud dengan sebuah akhir berupa pembalikan yang sarkastis. Setelah melukiskan pandangan yang dituturkan leluhur tentang jiwa yang hidup lagi dalam kupu-kupu yang mesti dihormati, penyair menulis: “Waktu terus berlalu. Aku terus tua dan menjelma kupu-kupu. Terbang mengitari rumah tanpa pernah dihiraukan.” Dalam bait ini terungkap hakikat hidup sebagai momentum kontinuitas dan diskontinuitas. Kontinuitas kebenaran tradisi yang ditemurunkan dalam kisah, kemudian menemukan patahannya dalam diri yang harus mengalami sebuah anomali. Tidak demikian kasusnya seperti yang dituturkan dalam kisah.
Puisi yang cerdas sering menampilkan kejutan pada bait terakhir, yang kemudian membawa kita ke dalam sunyi. Orang disuguhkan dengan pernyataan yang tidak dibayangkan sebelumnya dan karena itu orang diundang untuk berkhayal panjang dan tunduk merenung. Ketrampilan seperti ini tampaknya dikuasai dengan baik penyair kita. Salah satunya adalah puisi Lelaki Kayu, yang saya kutip sepenuhnya di sini.
Lelaki Kayu
Ialah lelaki yang terpahat dari batang jati terkokoh
dengan wangi cendana.
Tubuhnya berukirkan tatapan teduh, senyum damai
juga hati penuh belaskasih.
Ia adalah lelaki yang dipelitur
dengan campuran tiner cinta
dan sekaleng penuh vernis ketulusan.
Tangan kanannya menggenggam palu,
anggrek di tangan kirinya.
Ia menjunjung langit dan memeluk bumi.
Lelaki itu Bapak.
Ketajaman pelukisan seperti ini, hemat saya, hanya mungkin lahir dari penyair yang tidak takut akan kesunyian, yang mengalami kesunyian baik sebagai penyelaman ke dalam jaringan kata yang menenun ruang keberadaan, maupun kesunyian yang kosong bahasa. Dalam kesunyian mengamati dan mengenang lelaki itu, lalu muncul dari kesunyian itu berbagai analogi cerdas. Puisi-puisi ini hanya dapat dinikmati apabila orang mengambil waktu untuknya. Mereka terlahir dari sunyi, dan mengantar kepada sunyi.
—————————————————–
Sumber Tulisan: Pengantar Buku Puisi Catatan Sunyi, Karya Monika N. Arundhati