* Simply da Flores
DALAM menghadapi pandemi covid-19, bangsa dan negara kita telah mengupayakan berbagai cara mencegah dan mengatasi masalah. Berbagai upaya penyelamatan, aturan, anggaran dan tim kerja pemerintah maupun swasta dikerahkan dan dilaksanakan. Tujuan utamanya adalah agar kehidupan terselamatkan, penderita diobati dan mereka yang menjadi korban bisa dimakamkan dengan baik, sesuai protokol kesehatan. Memang tidak mudah menghadapi bencana pandemi virus ini, karena semua memiliki kemampuan berbeda-beda; bukan saja di negara kita yang sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju. Covid-19 faktanya menjadi pandemi dan bencana dunia. Apalagi bencana alam pun terus silih berganti di wilayah bangsa kita.
New Normal
Setelah ada kebijakan pemerintah yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar – PSBB, saat ini kita memasuki tahap New Normal. Ada sejumlah daerah masuk tahap ini, yang lain masih PSBB. Sedikit tergelitik bahwa, mungkin karena pandemi virus, para pejabat bangsa kita pun semakin terbiasa merasa lebih mentereng menggunakan istilah bahasa asing, New Normal. Apalagi dengan kemudahan teknologi informasi dewasa ini. Seperti bahaya pandemi covid-19, kiranya layak disadari bahwa ada juga bahaya kelatahan menggunakan istilah asing alias alergi menggunakan bahasa Indonesia, yang menjadi identitas bangsa negara kita. Berbahasa satu, bahasa Indonesia. Mengapa hal ini saya komentari ? Penyebutan tahap baru kebijakan menghadapi pandemi virus Corona, NEW NORMAL, adalah kebijakan untuk kepentingan segenap warga negara, anak bangsa di seluruh pelosok tanah air. Apakah semua warga negara yang ada di seluruh negeri tercinta ini harus dipaksa memahami sebutan New Normal ??? Apakah tidak ada uangkapan bahasa Indonesia yang jelas dan sederhana untuk digunakan ? Misalnya Hidup Baru dengan Protokol Kesehatan – HBPK, atau Masa Pembaruan Hidup sesuai Protokol Kesehatan – PHPK, atau Masa Pembaruan Hidup Normal – MPHN. Apa pun ungkapannya, yang harus digarisbawahi adalah menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang bisa dimengerti oleh segenap lapisan warga negara di seluruh pelosok negeri, karena kebijakan ini untuk kehidupan warga negara bangsa kita, Bukan untuk orang asing. Hal mendasar adalah dengan pandemi covid-19 ini, kita semua diingatkan pentingnya menjaga kesehatan diri dan sesama, mutlaknya menggunakan alam lingkungan secara bijak dan bertanggungjawab, saling peduli – solidaritas sosial dan bertanggungjawab secara sosial, dan di atas segalanya adalah kesadaran hakiki untuk mengandalkan Sang Pencipta dan selalu BERSYUKUR.
Karena itu, New Normal, yang digunakan, bisa dikatakan sebagai sebuah ungkapan bias identitas, karena latah dan kebingungan. Jati diri dan identitas bangsa NKRI perlu tetap dijaga, meskipun kita sedang diuji dengan bencana seperti pandemi virus korona, apalagi ini dilakukan oleh para pejabat kita. Kelihatan sepele, tetapi ini berkaitan dengan cara berpikir dan komitmen kebangsaan dan identitas NKRI. Ini baru soal penggunaan bahasa, apalagi soal kebijakan anggaran dan implementasinya. Semoga lembaga yang berwenang mengontrol: KPK, BPK, KEJAKSAAN, – DPR – DPD, juga pers dan masyarakat luas terus mengawal dengan saksama penggunaan anggaran menghadapi pandemi covid-19.
Ada sebuah fenomen yang ditemukan di Jakarta, bahwa banyak beras yang dibagikan dalam rangka bantuan masalah pangan sehubungan pandemi corona, justru dijual ke warung-warung dan toko sembako. Lanjutan kasus lain adalah pendistribusian yang tumpang tindih, dan salah satu klimaksnya adalah Mensos tertangkap tangan oleh KPK. Sekarang kasusnya sedang diproses hukum. Lalu ditenggarai ada anggota DPR RI terlibat kolusi dan Korupsi dana Bansos. Lanjutan lain soal perdebatan pengadaan dan pelaksanaan vaksin Anti covid-19.
Deretan persolan tersebut, melahirkan pertanyaan mendasar. Mengapa untuk menghadapi masalah pandemi dan bencana alam, justru ada kasus yang timbul, sebagai masalah baru yang sangat memprihatinkan ? Ada indikasi jelas bahwa mengatasi masalah dengan masalah, dimana pandemi dan bencana alam justru membuka aib tentang wabah moralitas dan integritas kemanusiaan sejumlah oknum. Pikiran, hati dan jiwa dikuasai nafsu ego diri dan kelompok untuk meraup untung di tengah penderitaan akibat pandemi dan bencana alam. Diharapkan, jangan sampai ada oknum atau kelompok tertentu yang menggunakan kesempatan pandemi, dan anggaran yang ada, untuk kepentingan ekonomi dan pencitraan politik; baik menjelang pilkada maupun lebih jauh ke arah pilpres 2024. Lalu munculah berbagai polemik dan perseteruan politik yang semakin marak; termasuk upaya pemakzulan Presiden Jokowi. Bisa juga diduga bahwa isu pemakzulan Presiden menjadi alat pressure dan penawaran, agar mendapat jatah dari kue anggaran penanggulan pandemi covid-19, karena lumayan besar anggaran yang telah ditetapkan. Semoga tidak demikian adanya. Inilah tagihan makna hakiki New Normal bagi kita.
Revolusi Diri
Pandemi covid-19 telah memaksa setiap orang yang masih sayangi kehidupannya untuk melakukan ‘Reformasi Diri’. Maksudnya, lahirnya perubahan yang radikal untuk menjaga kesehatan diri, mengelola emosi, mengubah cara berpikir, memperbaharui nilai dan orientasi hidup, memurnikan hati nurani, serta kesadaran jiwa untuk semakin menghayati iman kepercayaan, karena hanya Sang Pencipta yang membuat kehidupan bisa berjalan. Hanya kepada-Nya kita kembali, karena semua kehebatan ilmu dan fasilitas buatan manusia tidak ada yang menjamin untuk menyelamatkan hidup dari bencana pandemi virus, yang tidak dilihat mata tersebut.
Perubahan diri secara radikal ini, tidak bisa ditawar dan ditunda waktunya, ketika setiap pribadi masih sayangi hidup nya sekarang. Karena itu, segala anjuran, himbauan, petunjuk, aturan yang dibuat, kembali kepada tanggapan setiap individu. Panduan dan pegangannya cuma satu, masih sayangi dan mau selamatkan kehidupannya atau tidak. Karena itu, kiranya tidak bijaksana pada saat bencana pandemi ini, justru ada individu dan kelompok yang bersikap mencari kesalahan pejabat dan saling mempersalahkan. Apalagi, jika hal itu dilakukan oleh mereka yang berpendidikan dan figur publik, demi kepentingan selera atau nafsu kekuasaannya. Juga ada yang justru menebar berita bohong, menakuti sesama, dan mencari untung dalam keadaan pandemi dan bencana alam ini; korupsi, menimbun barang sembako dan alkes, lalu menaikkan harga berlipat ganda agar meraup untung besar. Becana alam dan pandemi virus Corona menuntut setiap pribadi melakukan Revolusi Diri, jika masih ingin selamat dan sayangi kehidupannya. Revolusi Diri berkaitan erat dengan perubahan mendasar dan radikal tentang kesadaran akan hakekat hidup, asal dan tujuan hidup setiap pribadi, relasi mutlak degan sesama dan alam, relasi dengan Sang Pemilik segalanya.
Revolusi Komunal
Sejalan dengan Revolusi Diri, maka manusia sebagai makhluk sosial, sekaligus ditagih untuk melakukan perubahan radikal tentang relasinya dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain dalam rumah tangga, satu komunitas adat budaya, satu wilayah administratif, satu pulau, satu bangsa dan negara, serta relasi sebagai satu dunia karena hidup di bumi yang sama. Alasan Revolusi Komunal adalah setiap individu sebagai makhluk sosial , terlahir dalam hukum asaliah dan alamiah: ‘saling membutuhkan dan saling melengkapi’. Itulah hakekat setiap individu sebagai makhluk sosial, terlahir dari yang lain dan untuk yang lain, tergantung mutlak kepada yang lain dan alam lingkungan.
Pandemi virus Corona dan bencana alam, mendesak setiap pribadi untuk berubah secara radikal dan mendasar tentang Integrasi kesadaran diri, akan individualitas yang terarah dan tergantung kepada sesama – lingkungan sosialitasnya, di tengah alam semesta; jika masih menyayangi kehidupannya dan mau selamat dari bencana ini.
Semua pihak dituntut melakukan perubahan cara berpikir – mindset, pola perilaku dan cara hidup, orientasi nilai dalam relasi antar manusia, relasi manusia dengan alam lingkungan, karena terlahirnya kesadaran spiritual bahwa SANG PENCIPTA TIDAK KEBETULAN menciptakan setiap orang di bumi ini. SYUKUR TERIMA KASIH yang minim bahkan hilang selama ini, harus kembali dijadikan yang UTAMA dalam kehidupan di era New Normal.
Dengan Revolusi Diri dan Revolusi Komunal, kiranya New Normal, tidak sebatas peraturan, melainkan upaya dan keharusan melakukan perubahan mendasar dan radikal; baik dalam diri setiap individu maupun dalam berbagai lembaga kehidupan bersama; adat budaya, agama kepercayaan, politik dan hukum, ekonomi, informasi, pendidikan, dan aspek lainnya, yang berkenaan dengan kepentingan kehidupan bersama.
Perubahan mendasar dalam diri, baik relasi antar manusia, relasi manusia dengan alam lingkungan, dan terutama relasi manusia dengan Sang Maha Pencipta. Dalam Era Kesadaran Hidup Normal yang Baru inilah, semua pihak ditagih untuk kembali kepada hakekat kehidupan yang bijaksana dan bertanggungjawab karena kesadaran akan jati diri sebagai makhluk ciptaan Allah yang istimewa di tengah alam lingkungan dunia ini.
New Normal, bukan sekedar kebijakan politik dan anggaran dalam menghadapi pandemi virus Corona, namun lebih utama serta mendasar adalah sebuah kehidupan baru penuh kesadaran hakiki dan kejujuran di hadapan diri sendiri, sesama, di tengah alam lingkungan karena kesadaran rohani di hadapan Sang Pencipta, yang melahirkan manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani.
****************
Simply da Flores, Direktur Harmoni Institut, Anggota Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Alumni STF Driyarkara