- Oleh Simply da Flores
GEREJA di Indonesia pada zaman milenial ini memiliki tantangan yang khas. Konteks yang pluralis dan posisi gereja sebagai kelompok minoritas di Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa gereja seperti seekor domba yang hidup di tengah kawanan serigala. Terhadap kondisi tersebut, secara internal gereja harus terus berintrospeksi, berinovasi dan berintegrasi, agar mampu memerankan tugas sebagai garam, ragi dan terang. Gereja pun ada berbagai kelompok, maka yang mau saya refleksikan hanya terbatas dalam Gereja Katholik di Indonesia.
Potret NKRI dan Sejarah Gereja Katholik di Indonesia
Wilayah NKRI saat ini adalah bagian dari sejarah masa lalu yang dikenal sebagai Nusantara pada zaman Majapahit. Kemudian menjadi wilayah koloni dari bangsa barat antara lain Portugis, Spanyol, Jepang, dan paling lama Belanda selama sekitar 350 tahun oleh VOC.
Dalam zaman kerajaan, khususnya Kerajaan Majapahit, di Nusantara sudah mengenal Gereja Katholik. Data sejarah menulis bahwa sekitar abad 7-8, Gereja Katholik sudah dikenal di Nusantara yakni di Barus – Sumatera. Kemudian, lebih luas di kenal pada masa kedatangan Portugis di Nusantara untuk mencari rempah. Maka banyak pelabuhan yang disinggahi Portugis, ada komunitas masyarakat yang berkenalan dengan para Pastor yang dibawa dalam perjalanan saudagar Portugis. Mungkin dipengaruhi semboyan 3G: Gold, Glory, Gospel; maka kemana perjalanan Portugis mencari koloni untuk mendapatkan emas dan obyek dagang serta kemasyuran, mereka pun sekalian melakukan pewartaan injil – Gereja Katholik. Hal yang sama dilakukan oleh bangsa Spanyol. Artinya sejak pertengahan abad 15, masyarakat di Nusantara sudah mengenal adanya Gereja Katholik.
Pertumbuhan Gereja Katholik semakin pesat sejak abad 18 dengan hadirnya sejumlah pusat Gereja Katholik; baik di Maluku, Timor, Flores, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Dimana ada pusat koloni dan kota perdagangan, sudah mulai tumbuh pusat pekabaran Gereja Katholik.
Dua bidang yang menjadi fokus pekabaran Injil adalah pendidikan dan kesehatan. Hubungan para misionaris memang dekat dengan para koloni Belanda dan Portugis, sehingga secara umum pertumbuhan Gereja Katholik berjalan baik.
Dalam konteks pewartaan Injil oleh para misonari Gereja Katholik, penting digarisbawahi adalah masyarakat Nusantara sudah memiliki religiositas lokal sesuai adat budayanya. Dan di Nusantara telah hidup aneka suku bangsa dan adat budaya, sejak para leluhur. Yang berbeda adalah pencapan – stigma bahwa masyarakat Nusantara disebut sebagai orang kafir kalau belum dibaptis dalam Gereja Katholik.
Selain Gereja Katholik, ada juga berbagai kelompok Gereja Kristen, yang juga diperkenalkan para Zending – Pendeta dari dunia Barat; khususnya Belanda, yang dibawa oleh kolonial Belanda.
Hal utama yang patut ditegaskan dalam refleksi ini adalah: Gereja Katholik dan Kristen bekerjasama dan didukung oleh kolonial Belanda dan Portugis. Juga Gereja Katholik dan Kristen berasal dari bangsa di Barat, lalu disebarkan di masyarakat Nusantara yang sudah memiliki tradisi religiositas sesuai adat budayanya yang beraneka ragam; meskipun dijuluki ‘kafir’ oleh Gereja Katholik dan Kristen, jika belum dibaptis mengikuti ajaran Gereja Katholik dan Kristen.
Yesus Kepala Gereja, Umat dan Hirarkhi Anggota Tubuh
Dalam ajaran iman Gereja Katholik, Gereja adalah persekutuan umat yang percaya kepada Yesus Kristus karena pembaptisan; dimana Yesus Kristus adalah Kepala Gereja dan segenap umat adalah anggota tubuhnya. Yesus Kristus dan umatNya adalah satu kesatuan yang disebut Gereja yang hidup.
Secara organisatoris, pusat Gereja Katholik ada di Roma, dan wilayah kegembalaan di seluruh dunia yakni Keuskupan dan Paroki. Ada juga forum kegembalaan di setiap negara dan wilayah benua, namun semuanya mengakui pimpinan tertinggi Gereja Katholik adalah Paus, yang sekaligus uskup Roma, sebagai penerus penggembalaan Gerejawi sejak zaman St. Petrus.
Untuk Indonesia, sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan dan awal masa Orde Baru, Gereja Katholik berkembang pesat serta memberikan banyak peran positif bagi kemajuan di bidang pendidikan, kesehatan, informasi dan juga politik. Peran para misionaris barat bagi generasi muda Gereja Katholik di Indonesia sungguh besar. Kemudian, lahirlah jumlah umat yang makin bertambah besar, ditandai dengan perkembangan wilayah gerejawi yakni Keuskupan dan Paroki di seluruh wilayah NKRI hingga saat ini.
Sejak masa Orde Baru, patut dicatat bahwa tenaga misionaris barat semakin berkurang dan digantikan oleh para imam, bruder dan suster Indonesia untuk meneruskan tugas pelayanan gerejawi bagi umat.
Gereja lokal Indonesia memasuki kemandirian. Jadi, anggota tubuh Gereja, yang kepalanya adalah Yesus Kristus, terdiri dari para religius – pejabat hirarkhi yang mengemban tugas kegembalaan dan umat. Dari para religius asal Indonesia, tidak saja bertugas untuk melayani umat dalam negeri, tetapi ada banyak yang sudah menjadi misionaris untuk diutus kepada berbagai bangsa lain demi mewartakan Injil. Dewasa ini, meskipun Gereja Katholik Indonesia masih kekurangan tenaga imam – bruder dan suster untuk melayani umat, namun justru semakin banyak para religius yang menjadi misionaris. Saat yang sama lahirlah kondisi Gereja Katholik semakin berdikari sebagai gereja lokal.
Yesus Kristus Sang Revolusioner Kepala Gereja
Jika kepala gerejanya revolusioner, bagaimana seharusnya anggota tubuhnya ? Secara prinsip, Yesus Kristus adalah pokok anggur, maka anggota gereja sebagai tubuhnya, maka harus tetap bersatu dengan pokoknya agar bisa berbuah. Dan pokok anggur yang revolusioner, pastilah cabang dan buahnya harus revolusioner.
Revolusioner yang dimaksud adalah mengatakan benar jika benar dan menyatakan salah jika salah sesuai kehendak Bapa Surgawi. Prinsip kebenaran hakiki sesuai Sabda Kasih Allah. Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja, revolusioner berarti tidak kompromi dengan prinsip dunia yang plin-plan dan munafik. Yesus menegaskan bahwa apa yang menjadi hal kaiser harus diberikan kepada kaiser, apa yang menjadi haka Allah harus diberikan kepada ALLAH. Sebuah penegasan agar hak Allah, prinsip iman, gereja yang hidup jangan dikorbankan demi kepentingan kaisar, politik dan ekonomi dunia. Gereja yang hidup tidak boleh diabdikan kepada urusan duniawi yang sifatnya sementara dan prakmatis.
Dalam perspektif ini, gereja sang revolusioner, maka bisa dicatat bahwa awal pewartaan injil dari barat maupun pengaruhnya dengan gereja lokal sekarang tidak revolusioner. Pewartaan gereja dari barat sudah terkontaminasi dengan spirit gold glory gospel, artinya pewartaan Injil yang berbaur dalam perjalanan dagang serta oencaraian koloni. Selanjutnya gereja lokal di Indonesia pun tumbuh dalam spirit singkretis dan mencari aman dengan multi pihak, agar bisa bertumbuh kembang. Apalagi dalam jumlah, gereja Katholik adalah minoritas di antara kelompok agama lain.
Pernah ada semboyan dari para pendahulu gereja lokal, seperti Mgr. Soegijapranata dan I.J. Kasimo, mengatakan bahwa umat Katholik adalah 100% warga negara dan 100% warga gereja. Semangat yang khas untuk mengaskan posisi umat yang harus setia kepada ALLAH sekaligus taat kepada Negara, sesuai haknya masing-masing. Namun, dalam prakteknya, karena NKRI wilayahnya luas dan majemuk, maka terkesan ada warna-warni karakter umat sesuai kondisi masing-masing wilayah. Misalnya hirarkhi dan umat gereja di Jawa, sangat berbeda dengan umat di luar Jawa; ( Sumatera, Kalimantan, NTT, Maluku, Papua).
Suka duka gereja di Indonesia sangat diwarnai oleh relasi gereja lokal dengan konteks sosial politik dan ekonominya masing-masing di satu pihak, dan di lain pihak soal pengaruh relasi organisasi gerejawi di tingkat nasional dengan pemerintah pusat. Karena kebijakan NKRI selama ini sangat dominan tergantung kebijakan politik di tingkat Nasional, maka pengaruhnya kepada gereja Indonesia pun sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik Nasional. Dan justru karena kondisi ini, maka pilihan aman selama ini adalah Gereja mencari posisi aman dengan negara, bahkan terkesan menjadi loyal kepada negara demi kenyamanan organisatoris serta pihak tertentu dalam gereja (hirarkhi maupun politisi dan pebisnis Katholik).
Dampak dari situasi tersebut, maka anggota tubuh Gereja Katholik di berbagai wilayah NKRI mengalami nasib berbeda. Pertama gereja di Jawa dan luar Jawa, apalagi di Kalimantan dan Papua. Kedua soal peran profetis gereja dalam kebijakan negara oleh politisi Katholik dengan berbagai kolaborasi pragmatis yang terjadi, dimana korupsi merajalela serta banyak masalah sosial budaya yang semakin tak terkendali; kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Salah satu contohnya adalah soal sikap organisasi gereja nasional – KWI, terhadap masalah lingkungan di Kalimantan dan terakir masalah kemanusiaan di Papua. Mengapa Gereja memilih jalan ‘aman dan diam’ dalam masalah lingkungan di Kalimantan dan kemanusiaan di Papua ?
Sebagai gereja Universal, Gereja Katholik Indonesia terpanggil untuk melakukan tugas utama profetisnya yakni menjadi garam, ragi dan terang di tengah dunia. Gereja Indonesia sebagai tubuh Kristus harus revolusioner kontekstual dengan kekuatan iman dan cinta, dalam kesaksian hidup. Harapan ini mengingat bahwa peran profetis gereja selama ini kurang maksimal. Bahkan terkesan oportunis untuk mencari aman dalam percaturan politik di NKRI, demi amannya organisasi gereja dan kelompok tertentu dalam gereja (kelompok hirarki serta politisi dan pebisnis tertentu). Lalu nasib umat yang sederhana di berbagai wilayah menjadi kurang mendapat perhatian, bahkan menjadi korban. Contohnya yang dialami umat di wilayah Papua hingga saat ini.
Hemat saya, untuk mengemban tugas perutusan gereja, seperti domba di tengah kawanan serigala di wilayah NKRI, perlu ada introspeksi dan evaluasi serius, khusus dalam prinsip Yesus Kristus Sang Revolusioner sebagai kepala gereja serta umat dan hirarkhi sebagai anggota tubuhNya. Bagaimana anggota tubuh dari Yesus Kristus harus revolusioner di tengah bangsa dan NKRI ? Bagaimana peran hirarkhi, politisi dan pebisnis Katholik, serta pelaku media massa dapat menjadi garam – ragi dan terang ? Perjuangan ini memang tidak mudah, tetapi dengan prinsip iman dan mengandalkan kekuatan kasih Sang Revolusioner, kiranya peran kenabian dapat diwujudkan.
Semoga didukung oleh kemajuan teknologi infomasi milenial, ada ruang terbuka untuk komunikasi, sekaligus peluang pewartaan dan advokasi untuk keadilan sosial. Secara internal, media teknologi milenial kiranya dapat menjadi sarana peningkatan kualitas iman dan solidaritas kemanusiaa sesama umat gereja Katholik Indonesia. Dengan demikian, moto semangat bahwa gereja Indonesia harus jadi alat kesaksian dan pewartaan, 100% warga gereja – 100% WNI semakin diwujudkan. Yesus Kristus Sang Revolusioner adalah kepala gereja, maka anggota tubuhnya, umat dan hirarkhi di Indonesia, harus juga revolusioner. Bukan gereja cari aman atau oportunis, demi keuntungan pihak tertentu; oknum hirarkhi, politisi, pebisnis dan profesional. Semoga.
*****************
* Simply da Flores, Direktur Harmoni Institut dan Pemerhati Masalah Sosial