APA yang khas pada karya “Catatan Pinggir” Tempo yang dikumpulkan dalam buku ini, yang tiap minggunya ditulis oleh Goenawan Mohamad, adalah suaranya yang lirih dan sikapnya yang bertanya-tanya.
Pengalamannya sejak lama sebagai penyair dan penulis esai telah memberikan karakteristik pada setiap karyanya. Tulisannya menjadi semacam senandung, yang tidak hanya menyimpulkan sikap personalnya menghadapi pilihan-pilihan susah di masyarakat, tapi juga membuka kemungkinan bagi alternatif lain – yang barangkali bisa ditemukan dengan mendalami pilihan-pilihan yang ada.
Barangsiapa sempat membaca tulisan-tulisan Goenawan pada masa Demokrasi Terpimpin, yaitu ketika ia turut terlibat dalam polemik keras dengan pihak Lekra misalnya, akan melihat bahwa di sana juga ia tak terpancing oleh semangat perkelahian lalu menulis dengan cara berseru-seru. Sebab nampaknya, bila orang tidak lagi mau mencari jalan berkomunikasi, maka nasib seluruh zaman dengan segala persoalannya memang telah ditentukan. “Cara yang berkebudayaan” itulah salah satu prinsip.
Skeptisisme sebagai cara untuk mencari kebenaran memang mempunyai tempat dalam khazanah pemikiran filsafat. Ia merelatifikasikan segala macam kebenaran yang sempat terumuskan. Suatu rumus, kecuali bisa mengungkap kebenaran juga berkecenderungan memenjarakan kebenaran baru yang mungkin tercipta. Sikap skeptis memberi ruang untuk tidak terjebak dalam dogmatisme atau fanatisme terhadap suatu sikap atau ajaran. Dan ia bekerja dengan pertanyaan.
Cuma harus diakui, cara semacam ini sering tidak praktis – khususnya dalam menghadapi pertanyaan yang minta jawaban segera. Sebab itu sering ada tuntutan di masyarakat agar para cendekiawan bicara lebih jelas, lebih mengarah, dan kalau perlu mengambil pihak. Apa salahnya sesekali menghardik?
Tapi itu tidak terjadi, dan agaknya memang sebagian orang telah dikecewakan. Apa boleh buat. Seperti nampak dalam seluruh nada “Catatan Pinggir”-nya, Goenawan bukan anti perubahan – namun ia tak punya resep atau cara langsung untuk mengubah masyarakat. Di situlah ia mungkin berada dalam posisi ambivalen – antara ya dan tidak. Ini terutama menonjol bila dilihat dari mereka yang bergerak dalam latar belakang pekerjaan politik, yang minatnya adalah mengubah dan mengubah keadaan sesegera mungkin.
Di situ Goenawan tetap seorang yang bekerja pada latar belakang persoalan-persoalan kebudayaan. Ia mungkin tidak hanya berpikir mengubah keadaan, tetapi juga praktek serta arah perubahan yang bakal terjadi. Ia tetap seorang yang bimbang dengan apa yang ada. Seorang yang tak habis-habisnya mengunyah pertanyaan.
Sikap semacam itulah agaknya yang membedakan “Catatan Pinggir” Goenawan dengan Kompasiana PK Oyong, atau editorial Mochtar Lubis atau Rosihan Anwar semasa koran-koran mereka masih ada. Oyong sangat terlibat pada suatu masa ketika perubahan-perubahan politik yang besar sedang terjadi: ia muncul sebagai salah seorang pembicara dari perubahan tersebut. Sedang Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar selalu sudah mengantungi jawaban terhadap hampir semua persoalan di masyarakat. Perbandingan sepintas ini menyangkut pula dilema kehidupan pers di Indonesia.
Sebagaimana pilihan-pilihan pelik yang lain, dilema kehidupan pers di Indonesia pun terbentang antara tuntutan yang ideal dengan batasan-batasan riil. Idealisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi dan sekaligus pembohong. Sedang realisme tanpa nilai-nilai ideal akan menjadikan orang hidup tanpa martabat. Sikap penulis “Catatan Pinggir” terhadap dilema pelik ini sedemikian rupa, sehingga ia seolah dapat mengatasinya dengan sempurna. Di satu pihak ia tidak kehilangan yang ideal, di pihak lain ia bisa memenuhi batasan-batasan yang ditentukan keadaan. Ia tidak jatuh pada sikap pasrah atau sinisme.
Goenawan bergerak di tataran ide. Di sini masalah efisiensi sebuah tulisan, atau kegunaan serta-merta dari sebuah kegiatan pers demi mengubah masyarakat, tersoroti dengan tajam. Menyimak seluruh rangkaian “Catatan Pinggir” di buku ini, agaknya pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana menumbuhkan dengan sabar kesadaran yang lebih dalam – entah untuk menerima atau menolak keadaan.
Perubahan tidak hanya terjadi ketika orang menolak. Penolakan tidak selalu melahirkan sesuatu yang baru. Penerimaan juga tidak bisa hanya diartikan sebagai langkah pengukuhan status quo. Penolakan terhadap sebagian hal yang dianggap ‘buruk’, ditambah penerimaan sebagian hal yang dianggap ‘baik’, juga tidak menyelesaikan soal. Sikap ‘praktis-pragmatis’ semacam ini melangkahi persoalan dasar – bahwa apa yang dianggap ‘buruk’ dan ‘baik’ itulah justru yang harus dipersoalkan secara lebih mendalam. Namun pemikiran skeptis memang tak jarang menjengkelkan orang, karena ia jauh dari kepentingan praktis.
Dari satu segi – katakanlah segi pemegang kekuasaan – sikap semacam itu secara teknis sering disebut sikap seorang ‘liberal’. Karena titik tumpunya bukan komitmen atau loyalitas terhadap kekuasaan, tetapi justru pemikiran ulang terhadap kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Sedang dari sisi lain – katakanlah sisi para pengkritik keadaan – sikap skeptis dianggap sebagai sikap ragu terhadap perlunya perubahan. Keraguan yang akhirnya menelantarkan penderitaan para korban yang nyata dari keadaan.
Dua tujuan dari dua sisi itu punya arah yang berbeda tetapi tuntutan yang sama – tuntutan untuk mengambil pihak. Dan penulis “Catatan Pinggir” agaknya amat menyadari, bahwa kepadanya juga disodorkan dilema moral intelektual semacam ini.
Dalam usahanya menanggapi dilema tersebut – yang mungkin sebagian sudah menjadi pekerjaan rutin – Goenawan menulis. Dari hampir seluruh nada renungannya, Goenawan secara implisit hendak menjelaskan bahwa sikap skeptisnya tidak dikukuhinya sebagai suatu sistem – tetapi sebagai cara yang terbuka untuk mencari pengertian baru yang lebih lengkap tentang kenyataan hidup sehari-hari.
“Catatan Pinggir’ tidak mulai dengan “berita-berita hangat dalam masyarakat” – kemudian, sejauh bisa, menilainya. Ia menyusup ke dalam “berita-berita hangat” tersebut sambil mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mendalaminya. Syukur bisa ditemukan makna yang lebih dalam di belakang gejala-gejalanya yang nampak.
Dalam hubungan itu Goenawan banyak memanfaatkan tamsil, ibarat, perumpamaan, cerita sejarah (bahkan juga cerita anak-anak), riwayat para tokoh, renungan keagamaan, serta menimba inspirasi dari berbagai literatur – meski jauh dari pretensi untuk membuat suatu karya ilmiah; kumpulan karangan ini pula tidak dimaksudkan sebagai semacam kumpulan kuliah.
Dengan kesabarannya, daya tahannya, panjang napasnya, Goenawan berusaha menulis refleksi tentang soal-soal kemanusiaan, kemasyarakatan, politik, sejarah, masa depan dan lain-lain. Sambil menawarkan pertanyaan-pertanyaan yang syukur bisa merangsang perluasan cakrawala pandangan yang ada. Dan lepas dari hasil akhir yang dicapainya dalam pencarian itu – apakah kita menyetujuinya atau tidak – pertanyaan-pertanyaan yang dirasa perlu telah dikemukakan.
Kebutuhan ber-refleksi
Fokus Kita dan “Catatan Pinggir” yang dikumpulkan dalam buku ini berjumlah 283 nomor. Dirangkum dari Majalah Tempo sejak terbitan tanggal 13 Maret 1976 sampai 12 September 1981. Dibagi dalam 21 tema. Pemilahan tema-tema tersebut dicantumkan sepenuhnya dengan maksud mempermudah pembacaannya. Ia bukan klasifikasi dalam artinya yang ketat.
Sifat renungan yang justru hendak mencari pemahaman yang utuh tentang banyak peristiwa, menyebabkan kita sulit menemukan tema tunggal. Tema yang satu berkaitan erat dengan tema-tema yang lain, sehingga klasifikasi yang tercantum dalam buku ini hanya bersifat relatif. Juga pencantuman indeks (nama) serta daftar kepustakaan lebih merupakan suatu “pelayanan sosial” daripada pertanggungjawaban formal bagi suatu karya ilmiah.
Kenapa refleksi? Pertama-tama mungkin karena Tempo majalah berita mingguan yang mempunyai warna khas sejak pemunculannya. “Catatan Pinggir” memiliki kesempatan minggu demi minggu untuk mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, sehingga lebih leluasa untuk menukik ke inti-inti peristiwa tersebut.
Di situlah kelebihan “Catatan Pinggir” dibandingkan catatan-catatan editorial yang lain. Ia memiliki tenggang waktu untuk mencernakan peristiwa-peristiwa aktual, hal yang amat esensial bagi suatu pekerjaan reflektif – yang dapat dibaca secara khusus, bukan hanya untuk mengetahui kejadian hari demi hari tetapi juga untuk merenungkan maknanya sebagai kesatuan yang utuh. Sehingga ia dapat dinikmati sebagai bagian yang bisa berdiri sendiri.
Di situ pula “Catatan Pinggir” dapat memenuhi salah satu aspek kebutuhan masyarakat untuk memikirkan kembali, dalam suasana yang lebih tenang, peristiwa yang dialami sehari-hari. Suasana reflektif ini merupakan kebutuhan spiritual yang semakin hari semakin meningkat, sepadan dengan perkembangan masyarakat yang semakin disibukkan oleh bermacam kegiatan rutin. Suasana keletihan mental menghadapi rutin inilah yang mungkin akan menempatkan renungan-renungan “Catatan Pinggir” dalam kedudukan sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan yang relevan.
Dengan berpikir ulang, mencari perspektif, dengan mempertanyakan kembali pemikiran-pemikiran yang ada, diharapkan kesadaran yang baru dapat ditumbuhkan dan visi kehidupan dapat disegarkan. Di tengah invasi budaya konsumerisme, ketika semua orang mencari kemudahan yang bersifat “instant”, “Catatan Pinggir” tidak dapat memenuhinya. “Catatan Pinggir” tidak memberi petunjuk apa pun – bahkan tidak mengambil sikap tegas terhadap pilihan-pilihan susah di masyarakat. Ketegasan bukanlah bahasa “Catatan Pinggir”. Di sini sebagian orang – sekali lagi – boleh kecewa.
Goenawan Mohamad dikenal sebagai seorang budayawan penyabar dan tekun melakukan tugas. Jumlah yang banyak dari “Catatan Pinggir”, yang masih akan bertambah lagi, akan turut memperkaya khazanah dunia buku – dunia ide – di Indonesia. Keluasan literaturnya memberikan kemampuan referensial terhadap proses pendalaman perenungannya. Dalam hubungan ini, “Catatan Pinggir” dapat dikatakan salah satu karya jurnalisme yang unik di Indonesia.
Amnesia sejarah
Bila orang membandingkan tulisan dalam kumpulan ini dari tahun ke tahun, mungkin akan menemukan perubahan-perubahan nuansa. Semenjak “Catatan Pinggir” masih bernama “Fokus Kita”, ia memang sudah mempunyai ciri sebagai karya reflektif.
Namun dalam “Fokus Kita” kita dapati bahwa tanda seru – yang kebetulan bertanda-gambar pentung – serta gaya bahasa imperatif cenderung lebih banyak dari tanda tanya serta ulasan yang tinggal terbuka. Persepsi Goenawan terhadap lingkungan sekitarnya dengan segala masalahnya tentu turut mempengaruhi perubahan ini. Dan perubahan lain mungkin masih akan berlanjut.
Mengambil satu contoh dari tema renungan yang mampu menyentuh masalah dasar masyarakat kita, dapat kita tunjuk salah satu “Catatan Pinggir” yang berbicara tentang amnesia sejarah. Sejenis penyakit budaya yang turut melemahkan sendi-sendi kehidupan kita, baik sebagai pribadi, kelompok maupun bangsa secara keseluruhan. Penyakit yang bukan hanya menyebabkan kita cenderung membuat kesalahan yang sama seperti di masa lalu – juga sering menyebabkan kita kehilangan orientasi.
Kita menjadi sekelompok orang yang pangling bukan hanya kepada orang lain atau lingkungan sekitar, tapi juga kepada diri sendiri. Kita hanya seolah tahu apa yang kita perbuat – sementara kejadian demi kejadian lepas dari kemauan serta kehendak kita. Kita kehilangan kesadaran sejarah, sebab itu kendali sejarah pun tidak lagi di tangan kita. Apa yang kita perbuat bergerak sendiri dalam pola yang amat lain dengan apa yang kita kehendaki.
Amnesia sejarah adalah sejenis penyakit yang membuat kita tidak siuman terhadap kesenjangan semacam itu. Dan Goenawan Mohamad dalam “Catatan Pinggir”-nya telah mencatat hal-hal semacam itu. Memang dalam suara yang lirih. Tapi sudah dikatakan.
*********************
*Tulisan ini adalah Pengantar Buku “Catatan Pinggir I”, Garfiti Pers, 1982.