Oleh J. Sumardianta
Apabila kehidupan sehari-hari terasa miskin, jangan kau keluhkan, tetapi sesalilah dirimu karena tidak cukup tabah untuk menggali kekayannya.
-RAINER MARIA RILKE (1872-1926), penyair Austria-Cekoslavakia
Kuang Tzu gemar menyamakan dirinya dengan kupu-kupu. Menjelang wafat, para murid sepakat untuk membaringkan bapak Taisme ini dalam peti indah agar jasadnya tidak dimangsa burung gagak. Dalam peti indah sekali pun,aku tetap dimakan cacing dan rayap. Jadi sama saja. “Sang guru tidak mau terikat dengan apa pun di dunia yang fana. Sebagaimana kupu-kupu, Kung Tzu ingin terbang lepas bebas.
Kupu-kupu memang identik dengan cinta, kerendahan hati, kebahagiaan, kebebasan, dan pengorbanan. Kupu-kupu merupakan ilustrasi bagus buat menggambarkan ketangguhan dan keteladanan spiritual Ram Chander dan Hasari Pal – dua tokoh dalam buku klasik Dominique Lappiere, The City of Joy (1985).
Hasari Pal bersama istri dan ketiga anaknya adalah petani yang terdampar di Kalkuta, India, akibat bencana kekeringan berkepanjangan. Hasari bekerja sebagai penarik angkong (ricksaw). Pelaku pekerjaan kasar ini sering diledek sebagai manusia kuda. Kehidupan pekerja ini miskin, keras, dan menderita. Bekerja nyaris tanpa jaminan kesehatan dan keselamatan. Mereka adalah penghirup polusi udara terburuk di dunia. Jadi obyek pemerasan kota polisi praja. Biasa terbunuh di jalanan karena kejeblos lubang banjir. Menjelang pemilu, sering dieksploitasi pengurus partai yang berdalih membela orang miskin.
Kendati kecingkrangan (tidak berdaya), hidup Hasari sesungguhnya diliputi kebahagiaan dan dipenuhi perasaan syukur. Sebelum mati, dipagut tuberkolosis, Hasari menjual kerangka tubuhnya ke perusahaan alat peraga kedokteran agar bisa mendapat biaya pesta pernikahan Amrita, anak perempuannya. Penganut Hindu yang saleh ini menerima nasib menjalankan tugas suci yang harus ditunaikan agar memperoleh kehidupan lebih baik sesudah reinkarnasi. Bagaimana penarik angkong ini menyalakan harapan hidup supaya bisa bertahan dalam kesulitan, tegar dalam pergulatan dan tabah menghadapi kekerasan?
Ram Chander, bekas petani yang tidak kunjung menhapus utang keluarganya di Provinsi Bihar, bertutur, “Masih terbayang bagaimana istri saya menggandeng tangan anak saya, berdiri di ambang pintu gubuk kami seraya mengusap air mata. Kami sering bicara rencana kepergian dan sekarang saatnya tiba. Ia menyiapkan sebuah ransel berisi satu longhi, kemeja, dan handuk. Ia bahkan membuat chapati (martabak India) dan potongan sayur-sayuran sebagai bekal perjalanan. Sampai mati akan tetap terkenang. Ingatan mesra tentang keluarga yang berdiri di depan gubuk lempung itulah yang membuat saya betahan di kota bengis ini.”
Ram Chander bermimpi bahwa suatu hari ia akan kembali ke desanya dan membuka kedai pracangan di sana, dan duduk di kios itu sepanjang hari, tanpa berlarian. Ia ingin bertakhta di warungnya, dikelilingi karung-karung penuh segala macam kacang dan beras. Dan wadah-wadah yang mengeluarkan aroma rempah, bumbu dapur, dan onggokan sayur. Di rak, tersedia sabun, dupa batangan, biskuit, rokok, dan makanan kecil. Ram tidak pernah bisa pulang ke desanya sebagaimana para penarik angkong lain. Ram mati dipagut radang paru-paru.
Hasari Pal dan Ram Chander adalah wujud kearifan India: “Segala yang tidak kita berikan akan lenyap sia-sia.” Mereka adalah alegori penderitaan, kematian, dan kehancuran yang bergandeng dengan belas kasih, harapan, dan cinta. Inilah kisah bagaimana manusia belajar dalam situasi paling kelam, tetapi tetap bisa menyalakan semangat hidup. Persis seperti yang dikatakan Rabindranath Tagore, pujangga India peraih Nobel, “Penderitaan itu agung, tetapi manusia tetap lebih mulia daripada penderitaan.”
Kaum paria menjadi manusia luar biasa berkat kemampuan mereka melampaui kekejaman hidup yang tidak ramah. Antropolog James Scott menyebut kemampuan ini sebagai Weapon of the Weak (Senjata Kaerifan Kaum Rudin). Ironi melegakan karena memberdayakan kaum rudin untuk bisa menertawakan kenistaan. Kaum paria, mengutip almarhum Karl Rahner, teolog mashyur Jerman abad ke-20, “berkat ironi sukses mencapai transendensi – pengalaman dikuatkan oleh sang adikodrati dalam mistisisme konkret sehari – hari.”
Nasib tukang becak di Yogyakarta, sebagaimana yang dikisahkan Sindhunata, Agus Leonardus, dan Ong Hari Wahyu dalam buku Waton Urip (2005), setali tiga uang dengan penarik ricksaw di Kalkuta. Mereka tak ubahnya pelanduk yang menerjunkan diri ke air guna membebaskan diri dari kejaran bintang buas. Namun, dalam hal ini, mereka mendapati diri dikepung gerombolan buaya. Kendati memelas, bila didekati secara mandalam, dari warung-warung tempat mereka melepas penat seraya mengudap makanan keseharian tukang becak memancarkan kegembiraan, semangat, dan harapan. Inilah sisi terang tukang becak bergelimang ketegaran, kebersahajaan, cinta, berkah, kepuasaan, ketentraman, perasaan syukur, keikhlasan, keberuntungan, dan keselarasan. Tentu juga ada tukang becak yang licik dan suka memeras.
Becak merupakan pantulan hidup bernilai, bermakna, dan tujuan hidup mendasar dari wong kabur kanginan: orang yang tidak berumah, tidur di jalanan. Transendensi terbaca dari tulisan slebor di becak pribadi mereka. Waton Urip (bukan hidup ngawur dan seenaknya sendiri, melainkan berani hidup tanpa memberontak terhadap kehidupan); Banyu Mili atau Lumintu (kendati sedikit, toh rezeki bakal mengalir terus tiada henti); Sr Rahayu (kesungguhan dalam membesarkan dan melindungi anak perempuan); Ningsih (dicintai semua orang); Barokah (terberkati); Prasojo (bersahaja); Marem (kepuasan); Bejo (beruntung); Sami-Sami (penerimaan dan pemberian diri tanpa syarat); Gemah Ripah (subur makmur); Prihatin (bermati raga); dan Raharja (maju). Itu semua sesungguhnya memuat harapan dan motivasi hidup para tukang becak, sekaligus merefleksikan pandangan hidup orang Jawa: manggihaken kabegjaning sak lebeting kecingkrangan (menemukan kebahagiaan dalam ketidakberdayaan).
Becak, di zaman serba motor, seolah-olah merendahkan martabat manusia. Si penghela mengeksploitasi diri layaknya kuda beban. Namun, tidaklah demikian yang terlihat pada diri Pak Kliwon, Pak Zaenal, Pak Sukiman, bahkan Mbok Ponirah, tukang becak perempuan. Tidak ada sedikit pun fatalism dan sikap menyerah pada mereka. Mereka justru mencerminkan konsolasi (filsafat kegembiraan), bukan desolasi (filsafat kemuraman).
Pak Kliwon (60 tahun), yang sehari-hari mangkal di dekat stasiun Lempuyangan, gampang bersyukur karena badan tidak cacat untuk memenuhi nafkah keluarganya. Pak Sukiman tak pernah menumpang bus saat pulang ke desanya. Ia mengayuh becaknya sampai Delanggu, Kalten, Jawa Tengah. Perjalanan ditempuh selama lima jam karena harus berhemat supaya anak-anak tetap bisa bersekolah. Ponirah (55 tahun) lebih heroik lagi. Sudah 15 tahun ibu lima anak ini mbecak. Sejak suaminya meninggal karena kanker, ia harus menanggalkan urat malu. Ia pernah ditempeleng oleh sesama tukang becak dan ditendang oleh polisi demi mencicil utang.
Strategi hidup dengan memaksimalkan kekuatan unik, seperti solidaritas sosial, keberanian, keuletan, integritas, kebaikan hati, rupanya membuat para tukang becak itu mampu mentransedensikan kesulitan dan meloloskan diri dari tirani kekejaman dunia. Transedensi merupakan sinergi berbagai kekuatan dari dalam yang menjangkau ke uar sebagai penghubung mereka dengan sesuatu yang permanen dan lebih akbar. Kekuatan itu antara lain spontanitas, kesadaran diri, visi dan nilai, mental yang utuh, kepedulian, independensi terhadap lingkungan, kemauan untuk mengambil manfaat dari kemalangan, dan keterpanggilan.
————————————–
*J. Sumardianta, Guru SMA Kolese de Britto, Yogyakarta
*Sumber Tulisan dari buku Simply Amazing, J Sumardianta, Gramedia 2009.