Oleh A. Bagus Laksana
Hope is the passion for the possible. (Pengharapan adalah gairah untuk segala sesuatu yang mungkin).
—Soren Kierkegaard——
Berkepanjangan! Pandemi Covid-19 terasa menjengkelkan karena tak kunjung mau pergi sesudah hampir setahun virus ini keras kepala, bertahan, dan bahkan bermutasi. Alhasi, Pandemi Covid-19 telah tampil sebagai sebuah momen dan situasi eksistensial, sebuah krisis yang membawa banyak persoalan, drama bahkan tragika dalam kehidupan manusia. Ada pengalaman kesedihan, kelemahan, dan kerapuhan, juga pengalaman kehilangan (loss) dan kematian.
Secara kolektif, Pandemi ini juga mengoreksi banyak proyek dan optimisme dunia yang setelah Perang Dunia II praktis tidak mengalami krisis yang sungguh global sifatnya. Pandemi ini berpotensi menghilangkan kemajuan yang telah dicapai dalam bidang kesehatan di banyak negara. Program-program penanganan atau penghapusan penyakit-penyakit lain (polio, malaria) terhambat karena persoalan Covid-19. Dalam dunia Pendidikan, disrupsi Covid-19 masih menyisakan banyak kebingungan dan khekawatiran. Sebuah artikel di Kompas (14 November 2020) menyitir laporan Bank Dunia. Menurut laporan itu, rata-rata siswa di Indonesia kehilangan setengah tahun pemelajaran akibat Pandemi sampai saat ini. Kerugian jangka Panjang di bidang Pendidikan bahkan di kuantifikasi dalam jumlah uang, yaitu hilangnya pendapatan seumur hidup yang setara dengan 222,4 miliar dolar AS (Rp. 3.336 triliun) pada 68 juta siswa. Hal ini terjadi karena pendapatan anak di masa depan sangat terkait dengan seberapa banyak hal yang mereka pelajari di sekolah, dengan pengandaian bahwa Pendidikan membekali mereka dengan ketrampilan untuk menjadi produktif. Pertanyaannya adalah: apakah kerugian dan ketertinggalan (kemunduran) ini akan dibayar atau diganti dengan memberikan pendidikan yang hilang itu? Kalau demikian, sebetulnya kita melangkah mundur. Ataukah, dibutuhkan sesuatu yang justru baru, yang melebehi kualitas dari apa yang dianggap telah “hilang” itu? Bukankah kualitas pendidikan kita selama ini, yang sering diukur dengan standard PISA ( Programme for International Student Assessment), yaitu kemampuan membaca, penguasaan matematika dan sains, yang sebenarnya belum memberikan apa yang paling dibutuhkan oleh generasi muda kita, baik di masa sekarang, maupun di masa depan. Kita tahu bahwa Pendidikan dengan standard seperti ini, dalam keadaan biasa saja, sering dilakukan dengan cara yang mencekik siswa dan tidak efektif, belum terbukti bisa memberikan sumbangan yang sungguh formatif secara personal bagi para peserta didik.
Seperti setiap krisis besar lainnya, Pandemi Covid-19 adalah moment pembelajaran kolektif yang lebih mendalam-self questioning, bahkan soul searching, bukan sekedar mengejar “ketertinggalan”. Kalau kita sekedar berusaha meraih kembali yang “hilang”, pengandainnya adalah target dan tujuan sebelumnya tidak pernah kita pertanyakan. Akibatnya, segala pertanyaan dan gugatan serta rasa perasaan kolektif yang sedang bergejolak selama proses “kehilangan” juga tidak diperhitungkan secara mendalam, tidak dibiarkan untuk menginterogasi kita dan mengubah peta perjalanan kita ke depan.
Pandemi Covid-19 pasti akan berlalu dengan cara tertentu, tetapi dunia pasca Covid-19 akan sungguh berbeda. Selain itu, Pandemi Covid-19 juga telah menyadarkan kita akan potensi munculnya penyakit dan epidemi lain. Kehidupan kita di planet ini tidak akan sungguh-sungguh bisa dijamin ketenangan dan stabilitasnya. Maka, agar kita tidak terus dihempaskan oleh pelbagai kritis ini, tidakkah kita perlu bertanya: apakah kita sudah berjalan ke arah masa depan yang tepat dan sungguh kita kehendaki bersama, dan apakah kita sudah memiliki bekal yang cukup untuk berjalan ke sana?
Pandemi, distopia, dan melankoli
Kita ingat pemandangan aneh selama lock down di bulan Maret atau April 2020. Kota-kota besar dunia yang biasanya ramai berubah menjadi supersepi, sunyi senyap dengan aroma dystopian yang kuat, lantaran meneyembulkan hadirnya sebuah tragedy besar. Beberapa minggu kemudian kota-kota kita kemudian ramai lagi. Namun, kali ini keramaian ini rapuh karena selalu terancam untuk berhenti juga dengan lock down dan pembatasan, seperti yang terjadi menjelang Natal 2020.
Bunyi sirene ambulans, para petugas berbaju hazmat di rumah sakit, juga petugas di kuburan massal, ternyata mesti menyeruak kembali ke dalam kesadaran kita. Optimisme kita dihancurkan oleh statistik harian: 300 ribu orang meninggal di USA, 100 kali lipat dari jumlah korban serangan 11 September! Juga data di Indonesia sampai akhir Desember 2020: hampir 700 ribu orang terinfeksi, dan lebih dari 20 ribu orang telah meninggal.
Covid-19 menjadi sangat personal, bukan lagi sebuah bahaya yang abstrak dan jauh, karena kita mengenal secara pribadi mereka yamg terinfeksi dan yang meninggal. Dan kita tidak tahu kapan dan bagaimana semua ini akan sungguh berakhir. Bagaimana pun juga Covid-19 belum ditemukan solusi permanennya. Vaksin sudah mulai ditemukan dan digunakan, tetapi virus ini pun sudah bermutasi. Pemulihan butuh waktu dan menjadi lebih kompleks, sebuah proses yang dibayang-bayangi oleh ketakutan dan kecemasan kolektif.
Perjalanan ke depan tidak sederhana yang kita kira. Kita menjadi sadar bahwa keramaian dan “normalitas” itu begitu fana. Kita tidak bisa menjadi “flanneaur”, sekedar pejalan santai kaki di kota-kota tertentu, yang kemudian bisa membeli souvenir dengan tilisan “I Love London,” atau “I Love New York,” bahkan “I Love Jogja.” Suasana dystopian di banyak sudut dunia ini mengundang rasa aneh, sedih, melankolia, dan keputusasaan, juga kebosanan akut. Barangkali seperti inilah perasaan huzun, melankonlia, yang dirasakan sastrawan Orhan Pamuk mengenai suasana kota Istambul. Istambul adalah sebuah kota besar yang menyisahkan kejayaan kekaisaran, tetapi kejayaan ini tertumpuk oleh reruntuhan (ruins) dan kemiskinan yang tidak elok. Semua penduduk Istambul didera perasaan ini, yaitu perasaan hancur dan kalah (Pamuk 2003; 90ff).
Di Jepang, perasaan mirip huzun ini terjadi sebelum Pandemi, terutama setelah kehancuran akibat gempa besar dan tragedi Fukhusima 2011. Cukup banyak keluarga kemudian mempertimbangkan lagi cara hidup mereka di kota, dan kemudian berpindah ke desa-des yang selama ini sudah hampir kosong karena ditinggal penduduknya. Hal yang sama terjadi di banyak pusat urban di dunia, termasuk New York City, San Fransisco dan Los Angeles.
Pandemi menjadi salah satu pemicu, tetapi bukan satu-satunya sebab. Tingginya angka kriminalitas, pelayanan publik yang buruk, pajak yang tinggi menjadi faktor lain yang penting. Di istana negara, 24 September 2020, Presiden Joko Widodo juga menengarai bahwa Pandemi Covid-19 telah menciptakan “ruralisasi” karena penduduk kota berbondong-bondong pindah ke desa untuk mencari pekerjaan dan penghidupan. Bagi Presiden Jokowi, pandemic ini bisa menjadi moment yang tepat untuk mereformasi ekonomi desa(https://www.medcom.id/nasioanl/politik/8koBL85b-jokowi-pandemi-covid-19-paksa-orang-kota-pindah-ke desa).
Pandemi dan pengharapan
Sebagai krisis global paling serius sejak Perang Dunia II, Pandemi Covid-19 mengundang banyak tanggapan, mulai dari nasionlisme kasar, obsesi pada pertumbuhan ekonomi, dan penyelesaian epidemologis, kritik pada globalisme, sampai tawaran ideologi “kepastian” oleh kelompok religius fundamentalis tertentu yang sering kali berbau fatalistik dan fideistik.
Melampui tawaran-tawaran ini kita membutuhkan kerangkah nilai yang lebih dasaria, yang bisa memberikan kita daya untuk terus kreatif dan terlibat dalam perjalanan sejarah. Pandemi ini menyadarkan kita akan kerapuhan manusia, tetapi juga kekuatan kebersamaan atau solidaritas. Dinamika Pandemi Covid-19 tetap berada dalam alur perjalanan sejarah manusia kea rah yang lebih baik. Pandemi ini bukan sebuah akhir perjalanan kemanusiaan yang tragis, melainkan sebagai sebuah waktu jedah istimewa untuk memikirkan makna (pause for the cause), termasuk soal masa depan dan pengharapan sebagai energi batin kita. Masa Pandemi bukanlah masa berhitung pertama -tama soal kerugian dan ketertinggalan, melainkan momen refleksi untuk membangun “pengharapan” dan imajinasi kolektif mengenai masa depan.
Filsuf Gabriel Marcel membedakan dua jenis pengharapan, yaitu pengharapan absolut (absolute hope) dan pengharapan akhir atau terukur (ultimate, aimed hope). Pengharapan absolut terhubungkan dengan orientasi atau cara pandang yang positif terhadap dunia, sebuah cara padang yang mengandung keterbukaan dan kesediaan rohani untuk menyogsong masa depan. Seorang pribadi yang memeiliki pengharapan absolut adalah pribadi yang tidak memiliki syarat atau batas, sehingga tidak akan menyerah dalam menghadapi keputusasaan eksistensial, yaitu ketiadaan makna hidup yang mendalam dan kegelapan masa depan.
Pengharapan absolut, memiliki unsur kepercayaan (faith) yang dasariah, bahkan terasa naif, pada masa depan, pada kemungkinan pembaruan (renewal), pada kebaikan asasi yang ada di balik seluruh fenomena kehidupan. Pengharapan ini muncul dalam sikap tetap setia dan menaruh percaya pada hidup ketika hidup itu tampak absurd dan tak bisa dipahami. Menurut Marcel, berpengharapan adalah menaruh kepercayaan pada realitas. Berpengharapan berarti juga mengatakan bahwa seluruh kenyataan itu memiliki kemampuan untuk mengatasi bahaya atau ancaman yang mau menghancurkannya.
Mengutip Vaclav Havel, David Halpin beragrumen bahwa pengharapan adalah sebuah orientasi dari roh, arah dasar hati manusia. Pengharapan bukanlah sebuah keyakinan bahwa keadaan akan menjadi sekedar baik, tetapi kepastian bahwa akan terbangun makna, apapun yang akhirnya terjadi (Havel 1990: 181; Halpin 2003: 17). Bagi Havel, pengharapan adalah sebuah dimensi jiwa manusia yang melampaui dunia yang dialami oleh manusia secara langsung. Begitu juga bagi Marcel, pengharapan lahir ketika manusia memperluas aktivitas sentralnya sebagai manusia, melampaui pengalaman dunia, ke dalam ranah Misteri (Marcel 1962: 33; Halpin 2013: 17).
Dalam pemikiran Marcel ini masa depan memang dibangun di atas perencanaan dan solusi teknis, tetapi masa depan adalah juga sebuah perjalanan menuju sebuah ranah di mana ada kejutan yang radikal dan tak bisa diduga. Adalah sehat bagi setiap individu, juga masyarakat, untuk memelihara ketegangan antara perencanaan ( apa yang bisa direncanakan, yang bisa diharapkan) dan apa yang tidak bisa direncanakan. Perjalanan hidup kita beserta dengan seluruh rencana ke depan tidak hanya instrumentalistik belaka untuk mewujudkan hal-hal yang kita rencanakan, melainkan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang tidak bisa kita duga dan rencanakan dengan rapi. Dengan demikian, eksistensi manusia menjadi tidak beku. Kita maju ke depan, tetapi tidak dengan obsesi kemajuan (progress) yang dipaksakan dan yang hanya mengandalkan perencanaan (planning) teknokratis belaka. Obsesi ini akan melahirkan pandangan yang sempit dan miskin terhadap cakrawala kehidupan yang lebih penuh.
Berhadapan dengan kemunduran, orang meratap karena merasa masa depannya terganggu. Gagasan “kemajuan” (the idea of progress) yang menjadi motor penggerak modernitas rupanya tertanam kuat dalam mentalitas manusia zaman sekarang. Kemajuan diusahakan dalam banyak bidang. Revolusi Industri 4.0 dan visi masyarakat 5.0 dirayakan dan hampir telah menjadi jargon kemajuan yang utama. Kita berbicara tentang sebuah era disrupsi yang harus ditanggapi secara radikal dengan langkah-langkah yang berani (bold). Kemudian muncul tawaran-tawaran “manajemen perubahan” (change manajement) yang menekankan radical change, creativity, agility.
Dan tiba-tiba pandemic Covid -19 menghantam dunia dalam intensitas dan durasi yang tidak terduga. Pertumbuhan (growth) tidak lagi bisa diandalkan, karena yang ada adalah realitas resesi. Namun masa Pandemi juga menjadi momen pemulihan bagi bumi. Pandemi Covid-19 tiba ketika perdebatan tentang masa depan planet menjadi panas dan politis. Pandemi ini mendesakkan sebua kesadaran akan masa depan kosmos ini sebagai bagian dari horizon kehidupan yang lebih luas dan mengarah pada pengharapan absolut (absolute hope). Karena, bagaimanapun juga, kosmos ini bagian dari Misteri, bagian dari The Unknown yang tidak bisa dikendalikan sepenuhnya oleh manusia.
Kosmos itu melampaui eksistensi manusia dan masyarakatnya, dan memiliki tujuan, finalitas, sendiri yang tidak bisa diukur dalam hubungannya dengan manusia saja (Bdk. Laudato Si). Kesadaran ini penting untuk melawan mentalitas teknokratis meng-instrumentalisasi alam semesta. Dengan memperhatikan catatan kritis terhadap teknokratisme ini, umat manusia tentu harus berbuat untuk masa depan kosmos, sebagai bagian dari kosmos, dengan perencanaan dan strategi yang berasal dari keterhubungan ini.
Ada memang kreativitas-kreativitas selama Pandemi, terutama diranah digital, termasuk work from home (WFH), pemelajaran jarak jauh (online leraning), dan sebagainya yang tampaknya memang masif, dan memberikan pengharapan yang terukur (aimed hope), namun bukan pengharapan absolut. Mengapa? Karena sebesar apapun inovasi teknologi digital, tidak akan bisa dan berhak memberikan kata akhir bagi makna dan perjalanan pengharapan umat manusia.
Seluruh implikasi dari perubahan dalam bidang teknologi seperti ini pun masih kita perdebatkan, persis dalam hubungannya dengan arah perjalanan manusia ke depan. Misalnya, apa implikasi dari WFH? Ternyata yang bisa melakukan WFH adalah para profesional di bidang pekerjaan tertentu yang cukup elite. Dalam masa krisis Pandemi, WFH justru memperlihatkan ketimpangan dalam masyarakat kita. Kita juga bisa bertanya, apa implikasi-implikasi terjauh dan terdalam ketika pendidikan menjadi daring? Pemelajaran jarak jauh yang massif (online leraning) jelas memberi kuasa yang lebih dahsyat lagi pada perusahan-perusahan besar teknologi di saat di mana kita mulai menyadari kekuatan surveillant capitalism (zuboff 2019).
Yuval Noah Harari memperingatkan: “Ketika kita membuat pilihan antara pelbagai alternatif, kita mesti bertanya pada diri sendiri bukan hanya mengenai bagaimana mengatasi ancaman yang mendesak, tetapi juga mengenai dunia semacam apa yang akan kita tinggalkan sesudah badai berlalu. Tentu, badai ini akan berlal, umat manusia akan bertahan, kebanyakan dari kita masih akan tetap hidup, namun kita semua akan hidup di dalam sebuah dunia yang berbeda.” (https//www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75).
Menurut Harari, dalam masa krisis ini kita menghadapi dua pasang pilihan besar, yaitu anatara pengawasan totalitarian (totalitarian surveillance) dan pemberdayaan warga (citizenship empowerment), dan antara isolasi atas dasar sentiment kebangsaan (nationalist isolation) dan solidaritas global.
Maka, kita dapat bertanya, apa sesungguhnya artinya segala inovasi dan “kemajuan”? Kalau masyrakat kita mengarah “ke depan”, sebetulnya mengarah ke mana, hari depan semacam apa yang sungguh kita inginkan bersama? Kemanusiaan dan komunitas kemanusiaan semacam apa yang kita rindukan? Siapa pihak yang akan memperoleh kuasa lebih besar dalam perencanaan masa depan ini? Masa depan itu membawa pelbagai kemungkinan. Dibutuhkan energi untuk mengarah ke masa depan, dan energi kolektif itu berhubungan erat dengan pengharapan. Kembali ke pemikiran Gabriel Marcel, pengharapan absolut (absulte hope) seperti apa yang kita bayangkan sebagai komunitas manusia global beserta planet yang kita huni?
Pengharapan absolut ini mungkin bisa dipertanyakan dan digugat karena tidak selalu langsung menghasilkan hal-hal yang konkret dan bisa diukur. Namun, pengharapan absolut ini sejatinya adalah tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak langsung terkait dengan prestasi atau pencapaian tertentu. Pengharapan absolut lebih mencerminkan kualitas diri, baik individu maupun komunitasnya, dan juga berfungsi membangun keberanian (courage), keteguhan (persistence) dan imajinasi. Karena, apa yang terbaik dalam diri kita sesungguhnya terletak dalam apa yang kita harapkan untuk kit, yaitu mau menjadi seperti apa kita di masa depan.
Pengharapan yang radikal
Jurgen Moltmann, seorang teolog Jerman, menawarkan pemahaman akan Tuhan sebagai “Yang akan Datang” (The Coming One). Ada-nya Tuhan itu terletak dalam sifatnya sebagai “yang akan datang” (erchestai). Maka, masa depan adalah cara Tuhan berhubungan dengan sejarah.
Moltman membedakan antara futurum dan adventus, dua konsep yang merujuk kepada masa depan tetapi berbeda satu sama lain. Masa depan sebagai futurum itu berkembang dari masa lalu. Sedangkan adventus adalah sebuah perubahan di dalam kondisi transendental dari waktu itu sendiri (time). Adventus adalah kedatangan yang membawa kejutan dan kebaruan yang tidak bisa diantisipasi dari masa lalu begitu saja. Masa depan sebagai adventus tidak terutama ditentukan oleh proses-proses historis, tetapi sebuah keterbukaan pada segala kemungkinan yang dibawah oleh “Dia yang akan datang”. Masa depan dalam arti ini memiliki kualitas sebagai penghakiman atas masa lalu. Masa depan itu punya kekuatan untuk mengakhiri masa lalu dan menyatakan keterbatasannya. Maka, adventus bukan sekedar perbaikan dari masa lalu, karena adventus itu selalu punya aspek “melebihi”. Dengan demikian, sejarah itu tidak berjalan secara linier belaka (Moltmann 1996: 25ff).
Para pemikir kontemporer, misalnya Slavoj Zizek dan Tery Eagleton, juga bergulat dengan tema pengharapan dan ketegangan antara masa depan dan masa kini (yang akan menjadi masa lalu), termasuk gagasan apokaliptik yang berhubungan dengan “arah terakhir dunia”. Bagi Zizek dan Eagleton, sajarah adalah sebuah proses yang terbuka, yang berkembang tidak dalam cara yang terpisah dari tindakan dan keputusan manusia. Dalam bukunya Living in the End Times (2011), Zizek mengidentifikasi empat gejala yang menandakan “akhir dunia” (apokalips) sekarang yaitu, krisis ekologis, revolusi biogenetis, ketidakseimbangan dalam sisitem kapitalis dan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin parah. Bagi Zizek, kapitalisme sudah di ambang kehancuran dan kita mesti bersiap menghadapi bencana global (global catastrophe). Maka adalah waktunya untuk melakukan pembebasan radikal dan pembangunan komunitas yang baru. Menurut Zizek, lebih baik mengikutu “Peristiwa (The Event) in, meskipun akan berakhir dalam bencana, daripada sekedar bertahan dalam pengharapan hedonistik akan sebuah masa depan yang begitu-begitu saja.
Zizek mengidentifikasi tiga versi apokaliptisme masa kini, yaitu geraka fundamentalisme Kristiani, gerakan New Age, dan kesuluruhan fenomena post-human yang bersifat tekno-digital (techno-digital-post human). Menurut Zizek, gerakan fundamentalisme Kristiani mungkin bisa diolok-olok, tetapi sebenarnya paling dekat dengan semangat pengharapan mileniarisme, yaitu pengharapan akan pembebasan dan transformasi masyarakat yang radikal (radical emancipatory logic). Justru dalam hal ini gerakan New Age dan post-human cacat pada akhirnya mengandaikan sebuah techno-gnosis yang tetap berpijak pada subyek modern yang otonom yang membuat keputusan bebas untuk bertindak (Sigurdson, 2012: 167). Apa kesalahan cara berpikir ini?
Seperti disarikan Sigurdson, cara berpikir ini mengandaikan bahwa si subjek itu sendiri berada di luar realitas yang harus berubah. Yang di andaikan berubah hanyalah realitas, sedangkan subjeknya sendiri hanya diandaikan mengubah realitas tanpa ikut berubah. Bagi Zizek, pemikiran ini tidak radikal karena “subjek” tetap tak tersentuh dan tak berubah di tengah segala perubahan biogenetis dan teknologis ini. Kalau demikian, realitas akhirnya hanya akan bermuara kembali kepada tata keteraturan yang lama. Sekali lagi, karena si subjek tidak berubah. (Sigurdson 2012: 167).
Apokaliptisisme yang ditawarkan Zizek adalah “materialisme Kristiani” yang mempertahankan komitmen absolut dan perjuangan politik yang penuh hasrat (passionate) dari apokaliptisme Kristiani, tetapi menolak unsur transendensi Ilahi dan menggantikannya dengan kontingensi (lawan transendensi) yang radikal. Bagi Zizek apokaliptisme Kristiani memiliki ciri khas, yaitu kepercayaan teguh bahwa tata sosial yang baru itu mungkin. Seperti pemikran Moltmann mengenai adventus di atas, menurut Zizek, apokaliptisisme Kristiani percaya teguh bahwa masa depan itu tidak semestinya hanya merupkan pengulangan dari apa yang sudah ada, seperti yang diapahami oleh gerakan seperti New Age dan liberalisme. Dengan demikian politik tidak harus menghindari “kekacuan” dan ketidakteraturan demi Realitas itu sendiri.
Sebaliknya, bagi Zizek, di pusat tradisi Kristiani terdapat sebuah proyek yang secara radikal berbeda, yaitu negativitas yang radikal yang tidak berakhir dalam sebuah kekosongan yang penuh kekacauan, tetapi membangun keteraturan baru yang mengubah kenyataan (Sigurdson 2012: 168). Keteraturan baru ini tidak hanya merupakan perubahan dalam titik-titik atau koordinat-koordinat dari system politik yang ada sekarang, melainkan perubahan dari koordinat-koordinat itu sendiri.
“Satu-satunya hal yang jelas adalah bahwa virus ini akan menggoncangkan setiap fondasi dari hidup kita, membuat penderitaan yang luar biasa dan juga persoalan ekonomi yang lebih berat dari pada The Great Depression. Tidak aka nada kehidupan normal kembali, normalitas baru akan dibangun di atas puing-puing hidup kita yang lama, atau kita akan menemukan diri di dalam barbanisme baru yang tanda-tandanya sudah sangat kelihatan. Tidak cukuplah kalau kita memperlakukan epidemi ini sebagai sebuah kecelakaan yang merugikan saja, untuk sekedar menyingkirkan segala persoalan yang ditimbulkan oleh epidemi ini, dan untuk kembali ke kehidupan normal yang dulu, dengan sedikit penyesuaian dalam bidang kesehatan. Kita harus bertanya: apa yang keliru dengan sistem kita sehingga kita terbukti tidak siap dengan bencana ini meskipun sudah diperingati oleh para ilmuwan sejak lama?” (Zizek 2020: 2-3).
Bagi Zizek, jelaslah bahwa mekanisme pasar dalam ekonomi neoliberal sebenarnya tidak lagi cukup untuk mengatasi kompleksitas Pandemi. Harus diperiksa kondisi-kondisi dan struktur sosial yang menyebabkan pandemi virus Corona ini terjadi dan menjadi malapetaka yang besar, beserta dengan segala ketimpangan dan ketidakadilan yang semakin terkuak.
Bangkit dalam Pandemi
Sejarah peradaban itu memiliki unsur tragis, yang tampak dalam “puing-puing,” para korban dari gerak sejarah itu sendiri. Meski banyak orang bisa mencapai tingkat kebahagiaan tertentu, atau meski akhirnya Virus Covid-19 akan menemukan solusinya, tetap muncul pertanyaan radikal: bagaimana dengan para korban yang telah mati dan dilindas oleh Virus ini? Kita bertanya tentang pengorbanan para dokter dan petugas kesehatan yang meninggal, juga para korban lainnya. Vaksin ditemukan dan Pandemi akan berakhir, tetapi bagaimana dengan nasib mereka ini?
Kesadaran akan luka sejarah ini tidak bisa ditutup dengan segala janji kemajuan dan solusi apa pun yang sering ditampilkan oleh ideologi yang jumawa dan triumfalis. Karena itu, melankoli di masa pandemi ini ada gunanya. Orhan Pamuk menyitir Robert Burton, “Segala kenikmatan lain adalah kosong. Tidak ada yang lebih manis daripada melankolia (all other pleasure empty, none are sweet as melancholy; Pamuk, 2006:103). Bagi Burton melankolia adalah pintu menuju happy solitude, keheningan yang membahagiakan, justru karena menguatkan kemampuan imajinasinya.
Keheneningan adalah esensi dari melankolia. Dan melankolia sebenarnya berhubungan dengan energi harapan. Menurut Al-Kindi (801-873), seorang filsuf Muslim, melankolia berasal dari kegagalan kita untuk mencapai kesatuan dengan orang lain. Dan Pandemi adalah undangan untuk mengarungi keheningan, menggunakan daya imjinasi dan pengharapan ke depan, baik pengharapan yang absolut, maupun pengharapan-pengharapan lain yang berjangka dekat.
*********************************
*Dr. A. Bagus Laksana, dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
*Sumber Tulisan Majalah BASIS Nomor 01-02, Tahun Ke-70, 2021