Oleh A. Sudiarja, S.J.
MENJELANG usianya yang ke-19, Benedetta Bianchi Porro, atas nama adik-adiknya dan seluruh keluarganya mengirimkan sepucuk surat untuk ulang tahun yang ke-56 dari ayahnya yang bekerja di kota lain. Bersama surat itu, Benedetta menyertakan foto dirinya, yang tampak cantik dan muda. Pada bagian bawah foto ia menulis “buat ayah” dan tanda tanagannya yang tegas.
Siapa yang mengira bahwa di balik wajah yang cantik dan ceria itu Benedetta menyimpan penderiataan yang hampir-hampir tak tertanggungkan? Surat ulang tahun ini mengungkapkan jeritan seorang remaja yang ingin bebas seperti teman lain, akan tetapi tidak dirasakannya. Apakah yang menekan hidupnya? Bukan ayahnya atau ibunya tetapi nasibnya.
Benedetta sejak dilahirkan menderita penyakit polio yang memaksanya menggunakan sepatu penyanngga yang berat. Tahun demi tahun, penyakitnya bukannya berkurang, melainkan memburuk. Baru kemudian diketahui bahwa hal itu disebabkan oleh peradangan syaraf. Foto itu rupanya memperlihatkan mekarnya bunga yang terakhir kali, sebab sesudah itu ia semakin layu. Pada usia 24 tahun, praktis ia harus meninggalkan segala-galanya, kuliahnya, masa depannya. Pelan-pelan ia kehilangan kepekaan indrianya, mula-mula kehilangan pendengarannya, kemudian penglihatannya, bahkan pencecap dan penciumannya. Seluruh tubuhnya menjadi lumpuh dan ia harus berbaring tanpa bisa merasakan apa-apa. Keadaan ini mengakibatkan krisis jiwa yang luar biasa.
Menjelang kematiannya pada usia 27 tahun, ia hanya mampu berkomunikasi lewat rabaan tangan ibunya dan lewat suaranya yang nyaris tak terdengar. Namun dari seluruh hidupnya yang penuh dengan penderitaan dan di tengah pergulatan jiwanya untuk menerima kenyataan yang pahit itu, ia ternyata memiliki kekaguman yang senantiasa dipendamnya, akan karunia kehidupan. Kekaguman itu dapat kita baca dari catatan hariannya yang ditulisnya dengan setia sejak ia berusia 8 tahun. Ia mempunyai harapan besar seperti ditulisnya dalam buku hariannya: “il dolore e il nostro pane, ma anche la nostra grande Speranza, il nostro riscatto” (penderitaan adalah makanan kita, tetapi juga pengharapan kita yang besar, yang kita berikan sebagai tebusan!)”.
Banyak orang yang mempunyai pengalaman dalam penderitaan, namun hanya sedikit saja yang mampu memaknai penderitannya. Viktor Frankl, seorang psikolog yang pernah mengalami penderitaan dalam kamp konsentrasi, menganggap bahwa kemampuan bertahan dalam penderitaan merupakan salah satu nilai yang tak kalah indahnya, di samping nilai kreativitas (ekspresi, produksi) dan nilai afektivitas (cinta, relasional). Akan tetapi rupanya tidak semua orang dipanggil untuk memperoleh nilai semacam ini. Hanya orang-orang yang pernah menderita, yang mampu memberi makna pada penderitaannya. Namun kita semua diajak untuk bisa memahami dan menghargai nilai-nilai penderitaan yang dialami oleh mereka.
************
*Sumber dari Buku Memahami Tuhan dalam Segala, A. Sudiarja, S.J., Penerbit Kanisius 2014.
Luar biasa sharenya Romo… semoga kami belajar to menerima penderitaan kami..