Oleh Robert Bala*
“MEMBACA adalah ibarat membuka jendela dunia. Sayangnya, meski ada kegemaran membaca pada rakyat NTT, mereka tidak memiliki bahan bacaan,” demikian ungkap P. Alex Beding, SVD. Ia juga melanjutkan, ”Jika tak ada jaringan komunikasi lewat pers, masyarakat kita akan ketinggalan informasi. Harus ada surat kabar yang bisa dibaca.” (Kompas, 24 Juni 2013).
Ungkapan ini tentu tidak saja lahir dari praksis hidup putera Lamalera, kelahiran 13 Januari 1924 yang adalah seorang pendidik (1959 – 1970) saat bekerja sebagai pembina di Seminari Menengah Mataloko dan saat bekerja langsung di dunia pers (1970 – 1984).
Lebih jauh, ungkapan keprihatinan seseorang yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan yang menyiapkan daya analisis siswa untuk lebih kreatif dalam proses pendidikan. Selanjutnya, ia mengimplisitkan harapan agar dunia pers sungguh hadir memberikan informasi yang mendidik karena itulah tugas yang penting untuk diemban.
Bukan Berita
Perhatian media pada masalah pendidikan, terkadang dipahami sekedar memasukan berita apa pun yang terjadi di dunia pendidikan, demikian tulis Donaciano Bartolome, dalam Periodismo Educativo, 2005.
Pemahaman demikian kerap mendatangkan kegamangan. Media hanya memuat berita ‘menarik’ tentang kegiatan yang dilaksanakan di sekolah. Itu pun kerap berita ditampilkan karena aneka kepentingan.
Yang lebih mencemaskan, ketika aneka berita yang ditampilkan adalah kasus yang terjadi di lingkungan sekolah. Media merasa hal itu penting untuk diekspose karena unik dan dapat menjadi booming.Kasus yang melanda guru, siswa, hingga fasilitas sekolah dianggap penting untuk diberitakan bukan karena penting tetapi karena unik tanpa ada pertimbangan tentang kadar substansi yang dimiliki dan pengaruhnya pada masyarakat.
Sayangnya, tanpa disadari, berita yang nota bene minim itu dapat menciptakan kesan tentang situasi ‘chaos’ dalam pendidikan. Bisa saja realitas yang ditampilkan itu faktual adanya. Tetapi tanpa disadari, model pemberitaannya bukannya memperbaiki tetapi malah menambah runyam permasalahan dan mengapa tidak dapat berpengaruh ke lingkup yang lebih luas.
Model pemberitaan yang terlalu menekankan ‘bad news as good news’ itu sendiri mengandung ironi pada media. Pemberitaan tentang hal negatif tentang seseorang seakan begitu penting padahal pembaca sendiri barangkali tidak mengenalnya ketika masih hidup. Di sini benar ketika G.K. Chesterton menulis: “Journalisme largely consists in saying “Lord Jonses is dead” to people who never knew Lord Jons was alive.”
Kenyataan inilah yang mendorong Bartolome untuk menempatkan nilai pers secara lebih luas. Ia mestinya tidak saja mencakup berita tetapi melingkupi hampir semua genre pers seperti: kronik, opini, repostase, maupun wawancara.
Melalui opini segar dengan pembahasan yang lugas tetapi ringan dan enak dibaca, pembaca diarahkan untuk memahami realitas pendidikan lebih jauh. Ia diajak untuk mencermati fenomen yang terjadi dan menentukan substansi dari sebuah permasalahan.
Demikian juga repostase berbobot yang menarik makna di balik peristiwa pendidikan yang nota bene menyentuh nurani kemanusiaan, menjadi sebuah berita. Kriteria yang mendasari tentu bukan sekedar ‘berita biasa’, tetapi sejauh mana ia memberi makna untuk membangun kemanusiaan yang lebih baik.
Membuat Berita
Realitas timpang dalam dunia pers mestinya menjadi tantangan bagaimana mengembangkan pendidikan sehingga sanggup menjadikan siswa sebagai pencipta informasi bermanfaat dan bukan sekedar konsumen pasif.
Keprihatinan ini telah menjadi pusat perhatian pedagog asal Brazil, Paolo Freire, dalam Pedagogia del Oprresso, 1970. Baginya, pendidikan telah salah kaprah karena memandang prosesnya bak sebuah bank, tempat dimana pengetahuan siswa disimpan atau ditabung ‘sebanyak-banyak’. Anak pun dijejali aneka pengetahuan, tetapi nyaris diberi kesempatan untuk berpikir secara ilmiah dalam lingkup ilmu pengetahuan.
Bisa dibayangkan kegalauan anak. Mereka yang sudah ‘dipaksakan’ hanya merekam informasi di sekolah kemudian diperparah oleh aneka berita tak mendidik yang diperoleh di masyarakat dan media massa. Sudah pasti sebuah kebingungan besar akan terjadi dengan rangkaian akibat yang tentu akan semakin panjang kalau diurai.
Kenyataan inilah yang perlu mendorong lingkup sekolah untuk mengembangkan sebuah pembelajaran yang lebih terbuka denagn menjadikan realitas kontekstual sebagai sumber ajar. Artinya semua kejadian tidak saja ditampilkan tetapi diolah sebagai sebuah teks besar (hyper text)yang bisa dikonsumsi sebagai media pembelajaran. Sumber ajar dalam konteks ini tentu saja lebih kaya dan bermakna ketimbang sekedar mengambil secara utuh dari buku teks.
George P. Landow menulis secara lengkap hal ini dalam Hypertex: the Convergence of Contemporary Critical Theory and Technology, 1992). Baginya, pembelajaran akan menjadi aktif dan kreatif akan muncul ketika sumber ajar yang didapatkan lebih kontekstual dan mengena realitas anak.
Dalam konteks pendidikan, iklim hypertext seperti ini meskipun penting, tetapi ia hanya sekedar batu loncatan. Ia hanyalah lingkup pasif-kondusif. Di baliknya tersimpan nuansa yang memberanikan siswa untuk lebih mengungkapkan diri lewat kualitas aktif seperti dengan menulis dan berbicara.
Dua elemen kreatif dimaksud, merupakan media bagi siswa untuk membuat berita yang bersumber dari dirinya. Ia tidak lagi menjadi konsumen pasif yang menikmati atau bahkan menjadi korban dari aneka berita tetapi sanggup membuat berita sendiri.
Peluang ini menjadi sangat besar di era digital seperti sekarang ini. Para siswa dapat mengungkapkan aneka pikiran yang bermanfaat melalui media sosial. Tentu diharapkan, dengan bantuan metode pendidikan yang baik, mereka tidak saja ‘berkicau’ dalam ungkapan-ungkapan lisan tak berbobot tetapi lebih dari itu menjadikan sesuatu yang lebih bermakna lewat pembicaraan dan terutama tulisan yang bermanfaat.
Jadi Identitas
Bagaimana mengejawantahkan pers mendidik dalam konteks aktual berinspirasi pada kesaksian hidup tokoh pers Alex Beding?
Pertama, merujuk pada tendensi pers yang tidak mendidik, kita bisa mengecualikan Nusa Indah sebagai penerbit yang tampil beda. Ia itdak hanya menyampaikan berita, tetapi pada pesan yang sungguh bemranfaat. Apalagi didasari keyakinan bahwa yang disamapikan itu adalah Sabda yang menghidupkan, hal mana melekat pada spiritualitas ‘verbita’ yang dimiliki SVD. P. Alex Beding, SVD menekankan hal itu secara nyata melalui moto ‘in verbo tuo’, disampaikan dalam Sabda-Nya.
Penerjemahan karya berbobot merupakan jawaban yang sangat tepat. Jelasnya, yang disampaikan adalah karya terpilih yang secara internasional teruji. Masyarakat terpencil di Flores pun disajikan karya-karya berkualitas.
Secara pribadi, semenjak SD, saya sangat terkesan dan akhirnya membiasakan diri membaca cerita bersambung di DIAN tentang “Tenggelamnya Kapal Bismarck”. Ruang cakrawala kita ‘dibiasakan’ untuk memikirkan sesuatu yang besar dan ikut merasakan operasi sekelas Rhein übung.
Kedua, menghadirkan berita berbobot demi mengatasi sekedar ‘berita’ butuh proses aktualisasi pesan agar lebih mengena. Mengapa? Sebuah teks klasik bisa saja ditulis ‘in illo tempore’ alias pada waktu itu dengan konteks berbeda. Karena itu butuh proses hermeneutisasi yang memberinya konteks kekinian pada bacaan yang nota bene disusun jauh sebelumnya.
Proses inilah yang telah dilaksanakan melalui media massa seperti Dian, Kunang-Kunang, dan Flores Pos kini. Penerbitan sebagai ‘induk’ diaktualisir melalui media yang bisa dinikmati lebih ringan oleh pembaca.
Tetapi kita juga sadar bahwa proses yang bisa diramu secara tepat pada masanya P. Alex Beding, SVD, kurang diaktulisir lagi. Tak heran, media yang sudah ada nyaris bisa bergulat dengan perubahan yang terjadi. Akibatnya sudah pasti. Media seperti Dian dan Kunang-Kunang kini sudah ‘mangkat’ karena tidak diadakan pembaharuan pada waktu yang tepat.
Ketiga, jiwa pers yang melekat pada P. Alex Beding, SVD dan rasa haus pembaca NTT untuk mendapatkan bahan bacaan berbobot mestinya menjadi sebuah jalan masuk untuk meluaskan pendidikan jurnalisme sejak bangku sekolah.
Harus diakui, di daerah keras, kering, dan garang seperti NTT, telah menanamkan jiwa sastra dalam diri leluhur untuk selalu merangkum pesan lewat aneka pantun dan syair. hal itu pula telah menginspirasi lahirnya penulis hebat asal NTT yang sangat disegani di dunia nasional bahkan internasional.
Sayangnya peluang ini belum dilihat sebagai sebuah produk unggulan yang menjadikan orang NTT beda dari orang lain. Karenanya, ketika kemampuan ‘alamiah’ ini dikondisikan melalui pelatihan jurnalisme malah pendidikan jurnalisme yang masuk dalam kurikulum maka semangat itu akan sekaligus menjadi sebuah identitas bagi pendidikan NTT.
Kita lalu bisa berandai, hadiah paling penting bagi P. Alex Bading, SVD bukannya sanjungannya sebagai pribadi tetapi bagaimana pikiran dan keteladananya dapat diteruskan melalui pers mendidik yang lahir dari putera-puteri terdidik dan kelak akan mendidik masyarakat lewat informasi yang lebih mendidik.
Dalam konteks ini kita paham, pers mendidik di tengah realitas yang tidak mendidik hanya bisa dibangun sekarang lewat penidikan yang menunjang kreativitas. Hanya dengan demikian identitas diri ini dapat dikembangkan secara lebih positif.
—————————————————————————-
*Robert Bala, Alumnus pada Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol, Kolumnis pada Harian Kompas
*Sumber Tulisan dari Buku Yang Terpanggil yang Melayani – 70 thn P. Alex Beding, SVD, Nusa Indah, 2014