Oleh Mgr Dr Paulinus Yan Ola, MSF, Uskup Tanjung Selor, Kalimantan Utara
Sejak awal Desember Kota Solo diselimuti aneka warna lampu yang memanjakan mata di senja dan malam hari. Sebuah romantisme perayaan Natal dibangun. Ia mirip apa yang terlihat di kota-kota besar dunia, termasuk kota Roma. Dalam ritus tahunan ini, manusia berharap Allah menyapa dalam doa, pujian, dan kegembiraan.
Romantisme dan harapan akan kasih Allah mendapat konteksnya karena Natal tahun ini dalam situasi yang tampak kelam. Ada peperangan dan konflik berkepanjangan. Ada gempa bumi dan letusan gunung api. Natal dibayang-bayangi berita mencemaskan tentang kemungkinan memburuknya kondisi ekonomi di tataran mondial sebagai dampak perang Rusia Ukraina, pengetatan moneter global dan perlambatan ekonomi China (Economist Intelligence Unit, 2022).
Indonesia pun diprediksi bisa mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kelesuan perdagangan, pemutusan hubungan kerja, dan melemahnya daya beli masyarakat, bisa terjadi bila tidak diantisipasi (Kompas, 05/12/2022).
Namun, kita percaya Natal bukanlah sekadar ritus penghibur keputus-asaan. Melalui Yesus umat Kristiani mengimani bahwa kegelapan dunia diterangi oleh Allah sendiri. Tuhan datang melawat umatNya. Dalam kegelapan dan ketakutan manusia, Natal memancarkan harapan baru di tengah kesuraman hidup.
Kedamaian yang dirindukan, yang tampak tak kunjung tercapai bukan suatu impian kosong. Ia merupakan sebuah janji Allah yang dinubuatkan dan dapat tercapai kendati belum sempurna. Perayaan Natal membangkitkan kembali percikan harapan akan kehidupan yang damai dan lebih manusiawi.
Harapan akan perubahan hidup itu tidak terjadi seketika. Kehadiran Allah dalam diri Yesus yang tinggal di antara manusia bukan untuk mengambil alih tanggung jawab manusia. Diperlukan keterlibatan manusia dalam menciptakan kondisi yang dirindukan itu agar terwujud secara bertahap. Tindakan Allah dalam diri Yesus terwujud melalui keterlibatan manusia beriman.
Menanggapi dengan kasih
Perang dan berbagai konflik yang dialami menjadi indikasi kuat bagi orang Kristiani yang merayakan Natal untuk menanggapinya. Allah yang diimani orang Kristiani, melalui Yesus selalu menunjuk “kasih” sebagai jalan perjuangan.
Itulah sebabnya dalam suratnya kepada bangsa Ukraina yang menjadi korban peperangan, Paus Fransiskus meratapi kegagalan untuk mengasihi. Melihat para korban perang Paus Fransiskus mengatakan, “Di dalam diri masing-masing mereka, seluruh umat manusia menderita kekalahan.” (Surat Paus Fransiskus, 24 November 2022).
Menanggapi berbagai situasi di atas, dalam perspektif rohani, Natal tahun ini mendorong Gereja-Gereja di Indonesia untuk merenungkan kisah tiga orang bijaksana yang dalam kisah Alkitab mengunjungi Yesus yang baru dilahirkan. Mereka mau menyembah Yesus sebagai “Raja” dan hal itu membangkitkan kepanikan dan kegelisahan Raja Herodes sebagai penguasa setempat.
Motif politik kekuasaan mendorong Herodes untuk berpura-pura menjadi pula penyembah Raja yang baru lahir. Tiga orang bijaksana dari Timur ingin ditunggangi Herodes dengan mengorek informasi agar dapat “menghabisi” Yesus, bayi yang dilihat sebagai “musuh” dan lawan politiknya.
Niat busuk Herodes tidak sampai terlaksana karena Allah mengarahkan ketiga orang bijaksana dari Timur itu kembali ke tempat asalnya melalui jalan lain tanpa menemui lagi Herodes. Itulah Tema Natal Nasional tahun ini, “…pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Matius 2:12).
Pesan rohani
Ada beberapa pesan rohani dari kisah Alkitab di atas. Pertama, adalah ajakan untuk merintis jalan-jalan baru setelah perjumpaan dengan Yesus dalam peristiwa Natal.
Natal bukanlah sekadar seremoni emosional yang mengarah pada pemuasan kesenangan superfisial dan hedonistis. Ia menyangkut perintisan jalan-jalan baru pengorbanan diri agar lahir harapan-harapan baru dan realitas baru menuju kebaikan bersama warga-bangsa.
Yesus bukanlah alasan untuk berfoya-foya dalam sebuah romantisme kosong. Ia menjadi panggilan mengikuti pembaruan rohani Yesus melalui “revolusi kasih” yang membawaNya pada kematian di kayu Salib.
Pesan kedua adalah, perlunya dihentikan penggunaan agama sebagai “kendaraan” untuk berbagai kepentingan perebutan kekuasaan maupun motif ekonomi dan keuntungan pribadi seperti dilakukan Herodes. Agama jangan digunakan sebagai sarana kekerasan untuk kepentingan pribadi.
Semua agama dipanggil menjalankan “revolusi kasih” karena “kebencian bukanlah hakikat agama.”
Diskursus politik dan eskalasi ketegangan sosial menjelang Pemilihan Umum hendaknya steril dari instrumentalisasi agama. Semua agama dipanggil menjalankan “revolusi kasih” karena “kencian bukanlah hakikat agama.”
Ketiga, “revolusi kasih” yakni pengorbanan diri yang dipilih Yesus perlu dilanjutkan sebagai jalan membangun kesejahteraan umum. Caranya adalah melawan “ketidakpedulian.” Ada globalisasi ketidakpedulian yang menyebabkan dunia berada dalam keterpurukan (Paus Fransiskus, 2015).
Ketidakpedulian yang sangat besar ditandai oleh aneka bentuk pertikaian yang berbasis keinginan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri dan mengabaikan orang lain.
Natal memperlihatkan bahwa Allah peduli dan memanggil manusia untuk peduli. Di sana ada bentuk “pengosongan diri” yang berpuncak pada kasih yang total, agape. Bentuknya adalah “salib.” Kayu silang itu adalah tanda kepedulian Allah yang paling tinggi yakni kasih Yesus yang tersalib.
Natal membawa panggilan etis-spiritual bagi yang merayakannya untuk mengambil bagian dalam kepedulian Allah terhadap penderitaan manusia. Ia bukan perayaan untuk kesenangan pribadi, bukan kendaraan politik kekuasaan apalagi pelampiasan kesenangan hedonis semata.
Natal dengan demikian bukanlah sekadar sebuah ritus emosional kosong. Ia mengungkap kasih Allah sekaligus panggilan kepada manusia untuk mengasihi sampai mengorbankan diri demi kehidupan bersama. Situasi suram manusia tidak untuk diratapi tetapi menjadi kesempatan untuk mewujudkan kasih.
Selamat Hari Raya Natal.
***************************************************
Sumber Kompas 24 Desember 2022